Chapter 7

Kamar Rara bagus tapi nyakitin mata. Kenapa cewek harus banget nunjukin diri kalau dirinya cewek lewat dari kamar atau barang yang dia pake? Heran. Tapi gue nggak mau banyak bacot karena urusan sama kaum bibir dua itu nggak bakalan menang. Daripada rese, mendingan gue iyain aja.

Makan nasi capcay bareng malam ini adalah diluar rencana. Tadinya mau pulang besok, tapi gue nggak tega juga kalo kurcaci gembel ini bersihin rumah sendirian. Dan bener aje, tuh cewek bakalan benjol sekepala kalo gue nggak tarik buat menjauh. Laci haram jadah yang paling anti gue buka itu dibuka sama doi. Laci yang isinya botol minum dari berbagai varian cewek yang dulu pernah deket, temen sange, sampe simpenan orang.

"Katanya pulang besok, kenapa jadinya hari ini?" tanya Rara sambil ngunyah.

Gue menoleh pada Rara yang makin tenggelam pake piyama kegedean. Meski begitu, gue akui kalo doi punya dada yang busty. Soalnya tadi pas narik doi dari kursi, tangan gue nggak sengaja neken dadanya. Lumayan banget.

"Urusan gue udah kelar. Kenapa? Lu nggak suka?" balas gue dengan satu alis terangkat.

Dia mengangkat wajah dan menatap gue dengan ekspresi mencibir. "Gue cuma nanya kenapa harus sinis gitu sih? Heran banget."

"Bukan sinis, tapi heran aja kenapa harus pake nanya? Ini kan rumah gue, ya bebas lah kapan aja gue mau balik," sahut gue langsung.

Rara mengerutkan kening sambil menatap gue diam. Kami saling tatap selama beberapa saat, lalu Rara memutuskan tatapan dengan menunduk pada nasi capcay-nya. Tuh cewek kenapa rada aneh daritadi?

"Gimana? Enak gak nasinya?" tanya gue untuk memecahkan keheningan karena gue merasa sendiri tapi nggak sendiri.

"Enak," jawab Rara sambil menusuk wortel dan menyuap diri tanpa melihat ke arah gue.

"Makasi karena udah pegang omongan dengan jaga rumah ini tetap bersih," ujar gue serius.

Rara mendongak lagi dan menatap gue kayak nggak nyangka gue bakal ngomong kayak gitu. Ya kalo boleh jujur memang gue sama Tomo jarang banget bersig-bersih di area tengah dan dapur. Beresin kamar sendiri aja kalo bener-bener udah nggak enak banget diinjek lantainya. Kali ini lantainya merasa bersih yang kalo lu melangkah kayak ada yang cekit-cekit gitu.

"Gue punya ide," ucapnya kemudian.

Alis gue terangkat sambil membetulkan posisi duduk buat menatap lebih dekat tapi doi justru auto menjauh sambil melotot sebal.

"Kenapa?" tanya gue sensi.

"Perlu banget deket-deket?" tanya Rara judes.

"Ini nggak deket, masih ada jarak," jawab gue sambil menunjuk jarak yang kurang lebih setengah meter.

"Ini namanya udah nggak berjarak. Terlalu deket dan gue nggak nyaman," balas Rara sambil memundurkan kursi dan menatap cemberut.

"Heh? Cewek dimana-mana juga pada demen deket sama gue! Ada yang salah sama diri lu yang frigid kayak gitu. Lu nggak doyan cowok?" sahut gue yang makin sensi. Emangnya gue sumber penyakit yang mesti dijauhin?

"Gue nggak dimana-mana dan adanya disini doang. Nggak mau deket sama lu bukan berarti gue nggak doyan cowok."

"Trus apa? Lu norak karena nggak pernah deket sama cowok?"

Rara kicep. Gue yakin banget kalo cewek itu bener-bener belum kenal sama yang namanya cowok. Hmm, gue jadi penasaran apa yang bikin doi bisa keluar dari rumah dan pindah buat sewa kamar trus tinggal serumah sama cowok.

"Itu bukan urusan lu. Gue punya ide," tegas Rara.

Gue diem aja sambil memperhatikan Rara yang keliatan grogi. Apa karena kecapekan sampe berubah sikap gitu? Doi emang keliatan sedikit pucat tapi masih seger karena abis mandi.

"Gimana kalo lu yang stok bahan makanan, sedangkan gue tugasnya masak dan bersih-bersih rumah?" ujar Rara kemudian.

Gue masih diam sambil mencerna. Bersih-bersih rumah dan masak? Kedengarannya boleh juga. Nggak ada yang salah soal itu.

"Termasuk bersihin kamar gue?" tanya gue untuk memastikan.

Kening Rara berkerut sambil menatap gue skeptis. "Gue bukan nawarin diri jadi babu. Ini win-win solution. Lagi pula, gue juga nggak perlu masak karena di kamar udah punya kulkas sendiri tapi daripada gue harus beli kompor dan perlengkapan dapur, rasanya jauh lebih ribet."

"Gue yang stok makanan, bahan masakan, gas, listrik, maintenance, plus laundry, tapi lu sekalian bersihin kamar gue," ujar gue langsung.

Rara kicep dan lihatin gue pake ekspresi horror, dan sebelum dia ngebacot, gue langsung kasih tambahan biar nggak bisa nolak.

"Gue nggak akan pake aturan macam-macam. Lu bebas ngapain aja kecuali masuk kamar gue tanpa permisi selain bersih-bersih. Seperti yang kita ketahui kalo uang sewa itu cuma sebatas kamar aja, right?" tambah gue mantap.

Gue bukan orang yang terlalu bersih, tapi juga nggak suka liat kotor. Ngeliat Rara yang begitu apik dalam bersihin rumah hari ini, rasanya nggak ada salahnya buat mendayagunakan, toh doi yang mulai duluan buat ngide.

"Trial dulu deh," ucap Rara akhirnya. Yes!

"Nggak apa-apa, gue yakin lu bakalan suka karena dalam hal ini, kita sama-sama untung, nggak rugi sama sekali," balas gue santai.

"Gue tuh curiga kalo kamar lu kayak kandang ayam deh. Gue alergi debu,trus gue gelian liat kotoran!" desis Rara sambil menatap curiga.

"Jangan sembarangan! Biar gue jarang bersihin kamar, nggak berarti kamar gue kotor. Gue kalo lagi bersih-bersih, lantai aja kalah kinclong! Cuma sering nggak mood aja buat ngebersihin," elak gue serius.

Rara masih menatap gue dengan curiga, terlihat berpikir dan memicingkan mata dengan tajam. "Gue liat kondisi kamar lu dulu, baru gue putusin."

Gue berdecak sambil beranjak tanpa mengalihkan tatapan. "Sini! Stop dulu makannya dan lihat kamar gue!"

Rara pun ikut beranjak dan mengikuti gue yang mulai berjalan menuju kamar. Membuka pintu dan melebarkannya, gue membiarkan Rara masuk sambil melihat-lihat. Doi nggak bersuara, hanya berjalan sambil melihat sekeliling kamar, lalu menuju ke kamar mandi. Gue bersidekap sambil bersandar di pintu untuk menunggu doi yang akhirnya keluar dari situ.

"See?" celetuk gue sambil mengangkat kedua alis.

Rara mengerutkan bibirnya sambil mengangguk. "Oke, gue trial dulu."

"Nggak ada yang perlu lu kuatirin karena kamar gue bersih, kan? Kenapa harus pake trial?"

"Bukan soal kamarnya, tapi orangnya. Gue nggak bisa kalo lu terlalu rese karena menurut pengamatan gue, lu itu ribet! Jadi, gue mau mastiin apa yang gue kerjain itu sesuai atau nggak sama lu," ucap Rara tegas sambil berjalan melewati gue.

"Gue yakin udah sesuai dari apa yang terlihat sekarang," balas gue bersikeras.

Rara berbalik dan menatap tajam. "Satu bulan!"

"Deal!" sahut gue langsung.

"Oke."

"Kalo gitu, ayo kita belanja."

"Hah? Belanja apa?"

"Isi kulkas! Kan lu tahu sendiri kalo kulkas dan bahan makanan lagi kosong. Mumpung gue bisa sekarang."

"Tapi gue capek dan baru aja mandi."

"Sekalian capeknya. Gue juga baru balik, jadi sama aja capeknya kayak lu."

"Gue baru mau selonjoran abis makan."

"Sama! Tapi besok kita butuh susu dan sereal, belum lagi lu kudu masak, kan?"

"Kenapa gue harus masak?"

"Buat bekal makan siang."

"Kenapa gue jadi harus bikin bekal sekarang?"

"Lumayan buat irit duit makan, kan?"

Rara kicep. Omongan gue barusan kayaknya bikin doi mikir. Sebenarnya, gue bener-bener males urus rumah dan makan. Gue juga bukan orang yang mudah percaya sama orang tapi bukan berarti gue langsung percaya sama Rara. Cuma doi bakalan tinggal disini selama setaon dan gue yakin kalo doi nggak berani macam-macam. So...

"Lima menit! Gue ganti baju dulu," cetus Rara ngambek sambil berbalik ke kamarnya.

Yes!

270323 (22.30)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top