Chapter. 5

"Jadi, lu sama Rara nggak ada omongan lagi setelah lu bikin dia bete?" tanya Tomo sambil mengambil duduk di kursi kosong depan meja kerja.

Gue melirik singkat pada Tomo sambil terus scroll iPad buat persiapan presentasi minggu depan. "Gue nggak merasa bikin dia bete."

"Padahal anaknya baek dan ramah," celetuk Tomo yang bikin gue sepenuhnya menatapnya.

"Lu udah kenalan sama dia?" tanya gue langsung.

"Ya kenalan lah, orang kalau doi pulang gawe selalu pas-pasan gue lagi ngerokok di depan," jawab Tomo. "Anaknya lucu, trus kayak polos-polos manja gitu."

"Fak! Lu demen sama dia?" seru gue jijik.

"Sekedar kesan, Cuk. Gue masih demen tante-tante genit yang jarang dipake sama laki karena sering ditinggal," balas Tomo santuy dan langsung terkekeh geli saat gue berdecak malas.

"Masih maen sama janda itu?" tanya gue.

"Kalau lagi sama-sama sempet dan butuh, ya kita mabar," jawab Tomo.

"Enak banget genjotannya?"

"Skill-nya lumayan dan selalu berhasil bikin gue puas meski udah sebulan nggak ngecrot."

Gue terkekeh dan menatap Tomo bangga. Emang nggak ada akhlak tuh orang kalo ngomongin soal tante simpenannya. Tomo cuma sekedar bersenang-senang lewat adu sange sama tante kesepian tanpa maksud buat jadi simpenan mereka. Kalo lagi pengen, doi siap. Kalo nggak, jutaan alasan pun dilemparkan.

"Seminggu tinggal bareng, sejauh ini nggak ada obrolan apa-apa karena doi selalu di kamar. Kayaknya udah makan diluar sebelum pulang kesini," cerita gue kemudian.

"Coba dong sesekali ajak ngobrol. Menurut gue, anaknya cukup asik, nggak yang cupu gitu," usul Tomo yang bikin gue mengangkat alis.

"Kenapa harus?" tanya gue nyolot.

"Kenapa nggak? Tinggal bareng ya harus temenan lah. Kalo perlu, ajak mabar," jawab Tomo yang langsung gue sambit pake pulpen tapi langsung ditangkap olehnya.

"Newbie bukan maenan gue!" cetus gue sengit.

"Kayaknya juga dia nggak suka sama cowok modelan kayak lu. No offense, Dude, dari yang gue liat sih, doi masih segel dan terlalu muluk kalo cari cowok," balas Tomo sotoy.

"Gue juga nggak minat," sahut gue sambil meringis saat membayangkan sosok Rara dalam benak.

Nggak seksi. Nggak menarik. Nggak berkesan. Biasa banget dan nggak ada nilai ekstra di mata gue.

"Jadiin maenan nggak ada salahnya, daripada bosen. Toh lu sama Nancy juga udah kelar, kan?" cetus Tomo yang bikin gue auto mendengus.

"Maenan itu ada banyak diluaran, nggak mesti beli di pinggiran selagi gue bisa beli di toko."

"Ini bukan pinggiran, tapi limited edition dan rare punya."

"Kalo lu demen, lu ambil aja. Gue nggak."

Tomo ngakak. "Bukan tipe tapi boleh juga gue cobain."

Gue cuma geleng-geleng kepala menanggapi omongan Tomo yang gue yakini cuma bercanda. Hari ini nggak ada meeting, jadi gue ngetem aja di kantor sampe jam delapan malam. Tomo udah cabut sejak setengah jam yang lalu dan dua admin udah pamit pulang.

Setelah kelarin kerjaan, gue langsung keluar dan menutup pintu kantor berpapasan dengan Rara yang baru aja sampe ke lantai dua. Doi cuma lirik singkat dan lanjut naik tangga ke lantai tiga. Liatinnya kayak ngeliat setan penunggu trus cuekin aja kayak nggak liat apa-apa. Sue.

"Lu masih bete sama gue?" tanya gue langsung sambil ngikutin Rara naik tangga.

"Kamu nanyeak?" balas Rara yang bikin gue auto keki.

"Gue serius," sahut gue cepat.

Rara berhenti saat tiba di lantai tiga dan berbalik untuk berhadapan dengan gue yang masih berada di dua anak tangga terakhir. Posisi kami jadi sama tinggi.

"Kamu bertanya-tanya?" tanya Rara dengan nada menyindir dan ekspresi yang nyebelin.

"Ra!" seru gue nggak senang.

Rara terdiam dan menatap gue dengan sorot mata yang kayaknya kesel banget. Gue juga. Kenapa kurcaci gembel macam Rara nggak punya rasa nggak enak ati sama yang punya rumah? Meski dia bayar sewa, senggaknya hargai keberadaan gue dengan bersikap sopan.

"Gue nggak bete, tapi gue males aja ngeliat lu. Tapi kalo gue tetap kayak gini, itu juga nggak nyelesain masalah. Nambah masalah malah iya, kayak gini contohnya," ucap Rara yang kembali jalan dan gue yang auto lanjut naik tangga terakhir.

Biasanya, Rara akan langsung ke kamar tapi kali ini nggak. Doi berjalan ke meja makan dan menaruh sekantung makanan. Dari belakang, gue memperhatikan penampilannya yang persis kayak anak SMP yang baru aja main dari rumah tetangga. Atasan model sailor dengan rok lipat selutut dan mini backpack berwarna krem. Gue masih nggak percaya kalo doi udah kerja.

"Gue ada beli nasi goreng yang lagi viral di deket kantor," ucap Rara sambil melepas backpack-nya dan menaruh di kursi kosong yang ada di sebelahnya.

"Trus?" tanya gue curiga.

Rara menoleh dan menatap gue dengan ekspresi menilai. "Gue ada beliin lu juga. Kalo mau, silakan makan. Kalo nggak, juga nggak papa. Bisa gue taro kulkas buat gue panasin besok pagi sebagai menu makan siang."

"Sori bukannya curiga tapi kenapa lu mau beliin makanan buat gue?" tanya gue sambil duduk di kursi tepat di sebrang Rara.

"Lu udah curiga," koreksi Rara dengan ekspresi datar. "But that's okay, gue nggak tersinggung. Gue beliin lu makanan karena gue liat isi kulkas lu kosong dan lu terlalu sibuk even cuma buat makan. Lagian juga, gue hanya berniat sopan karena kepengen nasi goreng, tapi tahu kalo gue nggak tinggal sendirian, so bought one more portion wont hurt anybody."

Gue kicep. Meski doi jarang kuar kamar, tapi gue salut kalo doi menyadari apa yang terjadi. Kesibukan menyita segalanya, termasuk jam makan. Gue memang kayak gitu, kalo udah fokus sama kerjaan, urusan lainnya nggak bakalan kepegang. Even Tomo nggak pernah ribet soal urusan makan gue, tapi Rara? Hmm.

"Oke, gue makan karena gue laper," putus gue saat melihat Rara mengeluarkan sebungkus nasi goreng dari kantung plastiknya.

Rara melirik singkat dan membuka sebungkus nasi goreng itu. Tadinya gue pikir itu buat dia, tapi ternyata doi bukain nasi goreng itu buat kasih gue, juga ambilin sendok garpu buat gue. Kayaknya nih kurcaci mulai ngajak damai dengan sok baek kayak gini.

"Gue bisa ambil sendiri," celetuk gue spontan.

"Gue tahu, tapi ini sekalian ambil, jadi nggak usah mikir terlalu berlebihan karena gue nggak lagi ngajak damai atau caper," balas Rara santuy sambil menaruh sendok garpu di nasi goreng, lalu kembali duduk di kursinya dengan membuka nasi gorengnya sendiri.

"Gue..."

"Diem aja bisa, gak? Gue cuma kepengen makan tanpa adanya adu bacot nggak jelas kayak kemarin. Masih belajar sopan sama yang tuaan nih, jangan nanti kalo lu mulai bikin kesel karena bacotan lu, gue yang dianggap kurang ajar padahal lu yang mulai duluan," sela Rara sinis.

Gue cuma nyengir sambil mulai nyendok nasi goreng. Hmmm, not bad.

"Ini yang jadi viral apanya?" tanya gue sambil ngunyah.

"Dari food blogger yang katanya kalau dia yang masarin pasti jadi viral dan emang rame banget tadi. Parah antriannya," jawab Rara sambil makan dengan ekspresi cemberut.

"Jadi lu beli karena diviralin sama dia?" tanya gue balik.

Rara ngangguk. "Tapi B aja."

"Lu udah pernah cobain nasgor yang di Menteng? Yang adanya di komplekan tapi nggak sampe jam delapan udah abis," tanya gue lagi.

Rara menggeleng. "Maenan terjauh gue ya deket kantor sama mall. Mana ada maen sampe sejauh itu?"

"Emang rumah lu dimana? Luar Jakarta?" tanya gue lagi.

"Nggak, area pusat."

"Deket kantor?"

"Sejam."

"Terus kenapa pindah sampe kesini? Bukannya lebih jauh dari kantor?"

"Ganti suasana."

"Oke. Next time, gue beliin yang di Menteng. Itu enak banget, dibandingkan dengan yang lu beli hari ini, nggak ada apa-apanya."

"Makasi."

"Sama-sama."

Meski cuma obrolan ringan, tapi gue baru sadar kalo itu adalah momen pertama kami bisa ngobrol sambil makan bareng sebagai temen satu rumah. Dan gue udah bisa mengerti apa yang Tomo maksud dengan asik soal Rara.

"Btw, weekend ini gue mau masukin beberapa barang, boleh?" tanya Rara kemudian.

"Apa?" tanya gue sambil memasukkan suapan terakhir dalam mulut.

"Gue pengen nata ulang kamar yang gue pake," jawab Rara. "Ada beberapa hal yang pengen gue masukin ke kamar since gue akan tinggal disini selama setahun kedepan."

"I think kamar lu udah cukup komplit."

"Gue butuh sofa dan meja, juga kulkas kecil buat taro minuman."

Gue auto angkat kepala buat liatin Rara yang udah menatap gue. "Ada kulkas disini, trus ada sofa disana, ngapain lagi lu bawa buat penuhin kamar?"

"Emangnya nggak boleh? Gue sewa kamar itu tandanya gue bebas ngapain aja, kan?"

"Iya, sih, tapi..."

"Gue cuma pengen bikin nyaman sama diri sendiri untuk tempat yang gue tempati dengan uang hasil sendiri meski masih sewa," sela Rara sambil melipat dua tangannya di dada seolah lagi presentasi keseriusannya.

Gue diem sambil nyimak bacotannya soal keinginan diri buat punya kamar yang bisa dipake buat ngetem seharian, buat kerja, buat ngapain aja termasuk coli. Yang terakhir itu cuma tebakan gue aja karena gue liat mukanya bukan tipikal yang sangean, tapi lebih ke cewek eibiji yang kalo liat cowok telanjang dada aja pake tutup muka sambil ngomong 'ih apaan sih?'

"Oke, kalo gitu lu urus sendiri buat masukin barangnya. Dan jangan bikin berantakan! Gue nggak mau rumah ini kotor, apalagi berdebu. Jadi, gue mau lu beresin dan bersihin seperti semula," tegas gue.

Rara tersenyum lebar sambil manggut-manggut dan mengacungkan dua jempolnya ke arah gue. "Beres!"

Saat gue liat doi kayak gitu, gue auto buang muka sambil beranjak berdiri untuk buang bungkusan nasi goreng dan taruh sendok garpu ke sink. Gue nggak liat ke arah doi lagi karena langsung masuk ke kamar sambil ngebatin dalam hati. Tuh cewek kalo senyum bisa manis juga.

Been busy lately but always remember you. 😘

010323 (21.00)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top