CHAPTER 14
Written by She_Liu
Kalau nggak karena aku nganggur, aku nggak bakalan mau dikasih kerjaan dadakan kayak gini. Zozo maksa aku buat ikut dia ke Bali. Aku sampai belum sempat untuk protes tapi dia langsung main beli tiket pesawat pulang pergi atas namaku dengan pesawat yang sama kayak dia.
"Gue kasih lu gaji per project. Misalkan project kali ini lolos, gue kasih satu persen! Gede, kan? Gue yakin lebih gede dari gaji bulanan lu sebelumnya," janji Zozo.
Aku tergiur, ya jelas lah, karena aku nggak punya pegangan selain Tuhan, juga belum dapet kerjaan jadinya terpaksa ngangguk walau berat hati. Selain karena aku nggak dikasih kesempatan buat protes, aku juga takut banget naik pesawat. Aku takut ketinggian, juga takut pesawatnya kenapa-napa.
Katanya rapat dimulai jam 10 waktu Bali, jadi kami berangkat jam setengah lima subuh untuk mengejar pesawat jam enam. Semalam, kami kerja sampai jam satu, jadinya masih kurang tidur banget dan kepalaku cukup berat.
Sepanjang perjalanan, aku tegang. Takut, ngantuk, bingung, semua jadi satu. Terakhir kali naik pesawat kayaknya masih SMP dan itu aja aku nangis di sepanjang penerbangan. Kalau sekarang aku pake nangis, rasanya udah ketuaan dan malu-maluin banget.
Tiba di bandara, aku makin tegang dan bawaannya kepengen pipis mulu. Aku dan Zozo masing-masing tenteng satu koper kabin buat bawaan sendiri. Well, koper yang aku tenteng itu pinjaman dari Zozo karena aku nggak punya koper kecil begini. Zozo bilang kalau taruh bagasi bakalan buang waktu jadi kami tarik sendiri aja dan taruh di kabin.
"Lu stress?" tanya Zozo yang buat aku menoleh padanya saat kami sudah duduk di boarding room.
"Stres?" tanyaku bingung.
"Lu takut terbang?" tanya Zozo lagi.
Aku terdiam dan mengabaikan tatapan Zozo yang sudah pasti akan mengejekku. Takut naik pesawat itu kebanyakan diremehkan oleh banyak orang. Bukan pengecut atau overthinking, tapi yang namanya tiap orang itu berbeda dan memiliki ketakutan dalam porsi yang beda juga, jadinya aku malas banget hadapi orang yang meremehkan.
Tersentak, aku langsung menoleh pada Zozo dengan waswas karena tangannya tiba-tiba menggenggam satu tanganku yang dingin. Tatapan Zozo terlihat serius dan memperhatikan aku yang bikin salah tingkah.
"Lu nggak usah takut, ada gue. Nggak bakalan terjadi apa-apa selama lu bisa kontrol pikiran lu. Jangan lupa juga berdoa," ujar Zozo pelan.
Aku merasa tenang karena ternyata Zozo nggak mengejekku tapi memaklumi.
"Tapi gue takut," cicitku.
"Apa yang terjadi dalam hidup udah diatur sama Tuhan. Segala sesuatu dipermudah pun juga bukan satu kebetulan, sama halnya kek kemarin dimana gue nggak bisa kerjain urusan admin dan ada lu yang bantuin gue, juga isi porsi Tomo sekarang. Gue yakin kalau kita lagi susah, Tuhan tolong," ujar Zozo lagi.
Aku cukup bingung dan heran lihat Zozo kayak gini, semakin membuatku kelabakan.
"Zo, kita bakalan mati ya? Kok lu ngomong pake bawa-bawa Tuhan?" tanyaku yang membuat Zozo berdecak kesal sambil melepas tanganku. Emosi banget kayaknya.
"Capek banget jadi Zozo," omelnya.
Aku menghela napas dan membetulkan posisi duduk sambil menaruh satu tangan di dadaku yang masih bergemuruh kencang. Aku berusaha mengalihkan perhatian tapi tetap aja isi pikiranku malah kemana-mana.
Kembali ke toilet untuk kesekian kali, aku merasa mual dengan kedua tangan berkeringat. Nggak nyaman banget pokoknya. Begitu aku kembali ke ruang tunggu, panggilan untuk masuk pesawat sudah terdengar dimana Zozo sudah beranjak dari kursi sambil menatapku dengan ekspresi tengilnya yang nyebelin.
"Lu hamil?" tembaknya yang membuatku kaget.
"Pertanyaan macam apa itu?" balasku kesal.
"Daritadi bolak balik sambil owek-owek gitu," hardiknya galak.
Aku berdecak sebal. "Misalkan gue hamil. Itu juga pasti sama lu karena satu-satunya cowok yang deket dan serumah sama gue itu cuma lu!"
"Idih! Ngomong sembarangan! Isian otak lu udah kayak embak-embak sebelah yang liatin gue pas lu bolak balik ke toilet! Suudzonin gue hamilin anak orang!" omelnya.
"Emangnya dia ngomong gitu sama lu?" tanyaku ketus.
"Nggak perlu ngomong juga udah keliatan dari muka julidnya!" jawabnya judes.
"Yang suudzon itu lu! Lagian, peduli banget apa kata orang sampe diliatin mukanya gitu," sewotku.
"Daripada liatin lu yang stress bolak balik ke toilet karena naik pesawat."
"Makanya jangan dadakan!"
"Gue juga baru kepikiran soal rekrut lu jadi asisten semalem! Kalau pake rencana, otomatis lu nggak bakalan masuk dalam daftar!"
"Ya udah, cancel aja kalau gitu!"
"Nggak bisa! Kita udah deal!"
Aku nggak mau balas Zozo lagi karena makin lama makin nyebelin. Menarik koper dengan kasar, aku mengikuti antrian orang yang berbaris untuk menuju pesawat dengan Zozo yang ada di belakangku.
Menarik napas dalam-dalam, aku menyerahkan kertas boarding pass pada petugas dan menerima sobekan kertas itu sambil melangkah dengan lunglai. Aku tersentak saat ada rangkulan di bahu yang membuatku mempercepat langkah karena rangkulan itu seolah menyeretku untuk lebih cepat.
"Jalan lelet gitu bikin orang di belakang lu jadi keki, salah satunya gue!" tukas Zozo yang merangkul bahu sambil menyeret kopernya dengan cepat.
Aku tergopoh-gopoh mengikuti Zozo sambil menarik koper dan kami sudah masuk ke pesawat dengan berjalan perlahan di koridor untuk mengantri ke bangku kami. Di barisan nomor sembilan, tepat di samping jendela adalah kursi kami. Kami berdua duduk bersisian dengan satu bangku kosong di samping Zozo.
Setelah memakai seatbelt, yang aku rasakan cuma tegang. Aku kayak menggigil kedinginan karena memang suhu pesawat dingin banget. Aku menengadah saat melihat tangan Zozo naik ke atas kepalaku yang ternyata dia matiin AC yang mengarah padaku.
"Nggak bakalan terjadi apa-apa, Ra," ucapnya pelan sambil menoleh padaku dan mengangkat sandaran tangan sehingga nggak ada pembatas diantara kami.
"Gue tahu lu takut tapi lu harus lawan rasa takut lu dengan alamin hal ini. Lawan rasa takut lu dengan sedikit rasa berani dan yakin kalau lu bakalan baik-baik aja," lanjut Zozo sambil bergeser untuk mendekat padaku.
Meraih satu tanganku dalam genggamannya, tanganku yang dingin kini terasa hangat dalam tangan besarnya. Aku masih menatap Zozo dalam diam karena nggak bisa mencerna apa yang sedang terjadi sekarang karena dia membagongkan. Aku sering banget mikir kalau Zozo itu punya dua kepribadian karena suka berubah-ubah tergantung mood.
Satu telingaku dipasangkan earphone Bluetooth-nya yang sedaritadi dipakainya dan langsung berkumandang lagu 'Just Another Phase' by the Moffatts, salah satu lagu kesukaanku yang ternyata ada dalam playlist Zozo.
It's just another phase that I'll go through
This time I'm sure that I'll lose you
Place my bets on all the jacks and queens
Probability being that it seems
"Lagu ini yang bikin gue terhibur karena nggak semua hal dalam hidup perlu diseriusin, cukup dilewatin aja karena setiap hal ada fasenya. Entah lu senang atau nggak, pahit atau manis, suka atau duka, yah dijalanin aja, tergantung darimana lu tanggepinnya," tambah Zozo dengan ekspresinya yang serius.
"Hidup itu emang banyak takutnya, tapi juga banyak pelajarannya. Takut boleh, tapi jangan keterusan sampe jadi ketakutan. Kita harus ambil pelajaran yang bisa dijadiin pengalaman. Kalau lu fokus sama takut, lu nggak akan bisa nikmatin perjalanan hidup lu padahal banyak yang bisa lu syukuri dan lihat pemandangan indahnya," ujar Zozo sambil mengulaskan senyum miring yang membuatnya terlihat lebih tengil.
Aku merengut sambil menatapnya lirih. "Zo, kita beneran bakalan mati ya? Kok lu ngomong kayak pesan terakhir gitu sih?"
Zozo menghela napas dan berdecak pelan sambil mengarahkan kepalaku untuk melihat ke arah jendela pesawat yang sudah menampilkan pemandangan laut dan awan diluar sana. Nggak terasa kalau pesawat yang kami tumpangi sudah naik dan semakin tinggi. Melihat kesemuanya itu, napasku tertahan dan spontan bergeser mundur tapi Zozo menahan tubuhku untuk tetap mengarah ke jendela dan melihat di sana.
"Kita nggak mati, tapi kita terbang. Kita dikasih kesempatan untuk melihat seperti apa dunia dari atas. Waktu di bawah, nggak keliatan karena kita fokus sama apa yang disekeliling tanpa nikmatin hidupnya. Tapi di atas, as you can see, the beauty that you can see from this high. Anggap aja sebagai pengingat kalau sesekali di atas nggak ada salahnya, tetap diingatin kalau ada naik pasti turun," bisik Zozo tepat di telinga saat kami sama-sama menatap ke luar jendela.
Awan putih yang menghias langit biru, batasan daratan, lautan, dan langit yang seimbang, lalu kemudian semakin naik dan berubah menjadi sekelompok awan putih yang ada disekeliling kami.
"Jadi, semua hanya sementara," balasku dengan suara tercekat dan menoleh pada Zozo yang mukanya deket banget sama aku sampai kami berdua sama-sama tersentak tapi nggak menjauh dan tetap pada posisi kayak gitu.
Tak lama kemudian, Zozo mengangguk dan memberikan senyuman yang nggak kayak biasanya. Senyuman tulus, hangat, dan tatapannya dalam.
"Ya, semuanya sementara. Kita naik untuk turun, jatuh untuk bangkit, dan terbang untuk membumi."
Damn it, aku naksir Zozo.
240723 (22.30)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top