Chapter. 10
Written by. Sheliu
Kalau boleh jujur, aku jadi bingung banget sekarang. Semua karena semalam aku minta tolong sama Zozo buat angkat telepon dari Tante Rika. Zozo jadi lebih judes dan justru merasa harus lebih kesal daripada aku dengan marah-marah nggak jelas dan memaksa untuk anterin aku ke kantor hari ini.
Berulang kali, Zozo bahas soal omongan Tante Rika yang memang nggak enak banget didengar tapi aku nggak tahu harus merespon seperti apa. Antara kaget dan terharu karena ada yang bisa membela aku sampai segitunya dimana aku nggak pernah dibela seperti itu. Makanya, aku bingung banget.
Seharusnya aku yang lebih kesal dan bisa marah seperti Zozo saat ini tapi aku nggak sanggup lakukan itu semua. Tubuhku masih lemas, perut sudah bisa menerima makanan tapi tetap kembung dan sesekali nyeri, dan aku sangat capek sekali. Aku masih butuh istirahat dan dokter bilang aku harus bedrest minimal dua minggu. Tapi baru juga seminggu, rasanya nggak bisa lanjut istirahat karena sepertinya keadaan kantor nggak menjadi lebih baik.
Dari Kak Dea, aku tahu kalau Om Rian dan Tante Rika terus berargumen, entah itu soal pekerjaan, anak, dan termasuk aku. Selain urusan keluarga, aku juga capek menghadapi suasana kantor yang nggak pernah kondusif gara-gara urusan personal dari mereka. Kalau soal kerjaan, semua baik-baik aja dan aku bisa menyelesaikannya tanpa ada keluhan. Teman kerja pun semuanya baik, hanya saja nggak dengan bos suami istri yang terus membuat kami merasa nggak tenang karena urusan pribadi mereka yang dibawa-bawa ke pekerjaan.
Misalkan mereka ribut soal anak, mereka akan mencari pelampiasan dengan mencari-cari kesalahan kami yang sebenarnya itu bukan masalah tapi dijadikan masalah. Belum lagi jika mereka sedang perang dingin, maka kami yang berada secara kebetulan di dekat mereka akan jadi penyambung lidah untuk komunikasi mereka yang bisa dibilang cibiran buat satu sama lain.
Ya Lord, hidup aku harus kayak gini banget? Aku salah apa sih sampai harus ngalamin masalah bertubi-tubi? Nggak di rumah sendiri, nggak di kantor. Aku pengen nangis tapi udah nggak bisa nangis. Yang aku rasain cuma capek aja dan butuh istirahat tapi nggak bisa.
"Rara, kamu sudah sembuh?" tanya Om Rian yang sukses membuyarkan pikiranku.
Aku sama sekali nggak sadar kalau sudah sampai di depan kantorku yang sebenarnya adalah rumah tinggal yang berada di ujung jalan kecil dimana sisi depannya diberi bangku panjang yang berfungsi sebagai ruang tunggu para kurir untuk menunggu tugas pengiriman paket dan tiket dari para staff ticketing.
"Udah," jawabku dan berbarengan dengan celetukan sinis dari arah belakangku. Itu Zozo.
"Belom!" ucap Zozo.
Tatapan Om Rian melirik ke belakangku dan aku hanya bisa menghela napas sambil memutar tubuh untuk menatap Zozo yang sedang melihat Om Rian dengan ekspresi judes. Bisa dibilang, Zozo kayak mau perang.
"Kamu siapa?" tanya Om Rian.
Aku hendak menjawab tapi Zozo sudah lebih dulu menyeletuk. "Zozo-nya Rara."
Apa katanya barusan? Zozo-nya Rara? Kenapa aku kayak denger nama peliharaan kesayangan aku tapi aku nggak punya peliharaan, ya?
"Zozo?" Om Rian bergumam sambil melirik ke arahku.
Aku cuma bisa mengangguk mengiyakan walau masih bingung harus jawab apa.
"Pacar?" tanya Om Rian lagi dengan ekspresi curiga.
Tiba-tiba aku ditarik ke belakang sama Zozo supaya bisa berdiri bersebelahan. Beberapa kurir yang lagi duduk di bangku panjang memperhatikan kami, belum lagi ada staff marketing yang sudah ada di dalam. Ugh, malu banget rasanya.
"Dia Zozo, Om. Temen serumah yang..."
"Kamu serumah sama cowok? Astaga, Rara! Pantas orangtua kamu kuatir dan Om kamu terus tanyain keberadaan kamu ke saya!" sela Om Rian kaget dan terlihat nggak percaya.
"Aku..."
"Bener kan apa yang gue bilang, hah?" tiba-tiba suara Tante Rika terdengar melengking dari dalam dan dia muncul dengan tatapan bengis.
Om Rian berdecak nggak suka dan melihatnya dengan tatapan yang sama. Sekarang, suami istri itu tampak saling melotot sambil menyilangkan tangan. Aku dan para staff yang melihat hal seperti itu langsung mendesah malas. Aku menoleh pada Zozo dan dia kasih ekspresi yang berbeda. Zozo terlihat senang dan sepertinya dia melebarkan cengiran di sana, malahan sudah mengeluarkan hape sambil mengarahkannya pada mereka. Dasar orang bermental sinetron!
"Apa sih maunya lu?" decak Om Rian yang membuatku langsung menoleh kembali pada mereka.
"Maunya gue adalah lu ngaku kalau emang ada main sama dia!" balas Tante Rika sambil menunjuk kasar ke arahku. "Lu bisa lihat sendiri kalau dia aja kabur dari rumah dan tinggal sama laki-laki yang nggak jelas, dan ada kemungkinan kalau dia emang gatel mepetin lu biar kita ribut terus!"
Mataku melebar dan menatap Tante Rika seiring dengan rasa nyeri yang semakin menyesakkan dada. Tanpa melihat pun, aku yakin semua sedang melihatku sekarang.
"Kita sering ribut bukan karena Rara tapi karena lu yang jadi sumber masalah dan terus cari gara-gara!" ujar Om Rian dengan nada tinggi sambil menunjuk-nunjuk ke Tante Rika.
"Gue yang jadi masalah?" seru Tante Rika sambil melotot galak dan mendongakkan wajah ke arah Om Rian yang menjulang tinggi.
"Iya!" seru Om Rian nggak mau kalah.
"Gue selalu disalahkan dan dia yang selalu dibela sama lu!" tuding Tante Rika dengan nada melengking.
"Gue bukan membela tapi karena dia nggak salah! Lu yang halu!" balas Om Rian sambil menangkup dagu Tante Rika dengan kasar yang sukses membuatku berbalik untuk nggak mau melihat adegan kasar itu.
Aku bisa merasakan satu tangan merangkul punggungku dan menarikku mendekat untuk memeluk. Deg! Ini adalah kedua kalinya aku deket sama Zozo. Yang pertama adalah waktu Zozo... peluk aku. Oh dear, aku spontan mendorong pelan dan berbalik untuk nggak melihat muka Zozo tapi justru melihat sebuah adegan aksi saling pukul dari suami istri yang membuat para kurir beranjak untuk memisahkan keduanya.
Berbagai sumpah serapah, hinaan, juga caci maki terdengar dari keduanya. Om Rian mendapatkan cakaran di kedua pipi sedangkan Tante Rika mendapati sudut bibirnya yang berdarah. Kepalaku terasa pusing saat melihat dan mendengar apa yang terjadi saat ini.
Tidak berapa lama, Kak Dea datang dengan ekspresi biasa saja sambil melihatku dengan sorot mata penuh tanya. Hendak bersuara pada Kak Dea, aku tersentak sambil mengernyit saat aku merasa sebuah tarikan kuat dari sisi kiri di rambutku. Damn, rambutku dijambak sampai aku hampir terjatuh.
Tanganku spontan mencengkeram sebuah tangan yang ternyata itu Tante Rika yang sedang menjambak rambutku. Dia menggeram marah dan menatapku berang.
"Dasar cewek gatel! Nggak tahu diri kamu yah, dikasih kerjaan dan digaji dengan baik tapi begini kamu balas saya, hah? Kamu juga harus tahu gimana sakitnya jadi saya! Jangan mau enaknya aja kegatelan ambil laki orang cuma buat supaya kamu hidup enak!" maki Tante Rika dimana beberapa orang kembali menariknya agar menjauh dariku.
Zozo membantuku untuk mencengkeram tangan Tante Rika sambil melotot padanya dan Om Rian melakukan hal yang sama pada Tante Rika, yaitu menjambak rambutnya.
"Gue udah bilang kalau Rara nggak ada hubungannya soal kita yang suka ribut! Lepasin, gak?" seru Om Rian yang nggak peduli dengan erangan kesakitan Tante Rika.
"Sumpah yah, lu bisa kerja disini bener-bener kuat mental karena punya bos sakit jiwa semua," desis Zozo geram sambil melepaskan tangan Tante Rika dari rambutku dan menarikku ke belakang dimana dia berhadapan langsung dengan Tante Rika dan Om Rian sekarang.
Aku sudah terisak dan Kak Dea sudah ada disampingku untuk memeluk sambil berbisik sabar padaku. Aku nggak tahu harus gimana karena udah terlalu sakit banget rasanya. Setiap kata-kata Tante Rika menusuk sampai aku sesak tapi nggak bisa dibiarkan kayak begitu.
"Nama gue, Zozo!" ucap Zozo dengan nada tinggi sehingga membuat Om Rian dan Tante Rika yang masih berargumen langsung terdiam dan menoleh ke arahnya.
"Saya nggak peduli!" bentak Tante Rika galak.
"Yeah, gue juga sama sekali nggak peduli tapi apa yang lu lakuin ke Rara, termasuk omongan lu yang kasar dan nggak beradab udah kerekam di hape gue!" balas Zozo sambil merangkul bahuku dan aku menatapnya kaget.
"APA?" seru Tante Rika dan Om Rian bersamaan.
"Nggak perlu kaget, santai aja," balas Zozo dengan nada malas. "Aksi berantem lu sejak awal bisa gue jadikan tuntutan dengan merusak ketenangan dan kenyamanan banyak orang. Don't you see? Muka semua karyawan lu udah kayak stress gitu! Dan tuduhan, hinaan, pokoknya semua bacotan lu bisa gue jadikan tuntutan sebagai fitnah dan pencemaran nama baik."
Hening. Semuanya terdiam sambil menatap Zozo yang terlihat puas disana. Nggak ada yang bersuara sampai akhirnya Om Rian yang maju dan menatap Zozo serius.
"Apa maunya kamu? Kamu bermaksud untuk mengancam saya?" tanya Om Rian dingin.
"Gue nggak mau apa-apa karena bukan urusan gue. Tapi hinaan bini lu ke Rara yang gue nggak terima. Lu urus bini lu, jaga bacotnya, jangan sembarangan ngomongin orang kalau dia memang nggak sebagus itu jadi cewek. Gue juga kasian sama lu yang bisa-bisanya milih cewek comberan kayak gini jadi bini," jawab Zozo dengan muka tanpa dosa.
Ya Lord, aku cuma bisa nahan napas tapi Kak Dea berbisik gemas ke kuping aku. "Gila, cowok ini keren banget. Lu harus bersyukur dapetin kampret kayak gini. Mulutnya pedes kayak ulekan yang suka geprekin ayam."
"Bangsat kamu!" maki Tante Rika yang langsung mendapat desisan geram dari Om Rian.
"Kalau lu masih belum bisa jaga mulut, kalau dia benar-benar perkarain lu ke polisi, gue nggak akan mau bantu sama sekali!" cetus Om Rian geram.
Tante Rika langsung diam dan Zozo hanya berdecak pelan.
"Gue cuma serahin keputusan apapun ke Rara karena ini urusannya," ucap Zozo sambil menoleh padaku dengan sorot mata tajam seolah memperingatkan. "It's now or never."
Ucapan itu pernah diucapkan Zozo saat memberiku dukungan setelah pelukan itu. Terkadang kita sering merasa takut untuk memutuskan dan mencoba hal baru, tapi dengan terus merasa takut maka kita nggak akan bisa maju dan terus berada dalam satu lingkupan yang semakin menenggelamkan kita.
Sama seperti aku mutusin untuk keluar dari rumah demi mendapatkan kebebasan hidup tanpa perlu dibedakan, kupikir ini juga saatnya aku perlu melakukan sesuatu untuk diri sendiri tanpa perlu dituduh dan diperlakukan semena-mena lewat hinaan oleh karena posisiku yang lemah.
Aku menoleh pada Kak Dea dengan tatapan lirih dan dia mengangguk saja seolah memahami. Dengan sisa keberanian yang ada, aku menatap Om Rian dan Tante Rika bergantian.
"Sebelumnya aku ucapin makasi karena Om dan Tante udah kasih kesempatan aku buat bekerja di sini," ucapku sambil membungkuk tanda penghormatan bagi mereka. "Tapi, aku juga punya batasan sebagai manusia."
"Kamu nggak ada salah, dan nggak pernah salah, Ra," balas Om Rian langsung.
Aku menarik napas panjang karena ucapan Om Rian membuat Tante Rika semakin menatapku benci. Aku nggak mau terus dibela karena anggapan Tante Rika itu beda meski sebenarnya aku nggak salah.
"Terima kasih, Om," sahutku cepat. "Tapi aku udah bikin suasana semakin nggak nyaman. Jadi, demi kebaikan semua, aku resign dari sini."
"APA?" seru Om Rian dan Kak Dea bersamaan.
"Ra, lu kan tahu gue mau resign bulan ini karena mau nikah. Lu kaga ada, siapa yang bakalan isi posisi accounting? Gue..." ucapan Kak Dea terhenti saat mendengar desisan geram dari Zozo.
"Silakan resign! Saya terima dengan senang hati!" sahut Tante Rika ketus.
"Tapi saya tetap resign ya, Pak, Bu. Hari ini juga saya resign nggak usah tunggu sampe akhir bulan," balas Kak Dea ketus.
"Loh? Kenapa jadi kamu ikut resign hari ini, Dea?" tanya Om Rian kaget.
"Kami udah cukup gila, Pak. Bisa kerja dengan waras aja udah alhamdulilah. Ini saya udah mau nikah jadinya kena trigger soal rumah tangga bakalan semrawut macam Bapak dan Ibu begini," jawab Kak Dea.
"Biang kerok kan si Rara? Sekarang Dea jadi ikut-ikutan main resign hari ini juga!" cetus Tante Rika yang semakin menjadi.
Aku sudah tidak punya kesabaran yang membuat diriku perlu menahan diri lagi. Kebencian Tante Rika seolah nggak pada tempatnya. Jadi sebelum dia kembali menyerangku dengan ucapannya, maka aku perlu memberinya kesempatan untuk merasa lebih menderita di hari terakhir aku melihatnya saat ini.
"Tante Rika," panggilku dengan senyuman yang dipaksakan dan bisa melihatnya menatapku penuh dengan kebencian dan amarah di sana. "Apa Tante akan minta maaf sama saya sekarang karena terus fitnah saya kayak gitu?"
"Saya nggak sudi! Kamu yang jadi pelakor, biang kerok, dan bikin semuanya jadi kacau! Bagian mananya saya harus minta maaf, hah? Kamu mau minta maaf pun saya nggak akan terima! Saya nggak sudi. Saya sakit hati!" seru Tante Rika yang mulai kembali dengan tantrum yang membuatku habis kesabarannya.
"Oke, kalau gitu untuk semua yang terjadi hari ini ada dalam rekaman hape Zozo," ujarku sambil menatap Zozo yang kini melihatku dengan senyum setengah yang puas di sana. "Zo, ajukan tuntutan untuk Tante Rika. Semuanya yang ada disini bisa jadi saksi karena semua tersorot lewat kamera, kan?"
"Sure!" seru Zozo senang.
"Heh? Kamu berani-beraninya mau tuntut saya, hah?" seru Tante Rika yang hendak mendekatiku tapi langsung ditahan oleh Om Rian.
Aku tersenyum sambil menatap Tante Rika dingin. "Iya, saya berani. Dan saya pastikan saat Tante minta maaf dan mohon ampun sama saya nanti, itu nggak akan Tante dapatkan."
Setelah itu, aku menarik tangan Zozo, berpamitan pada Kak Dea, lalu meninggalkan kantor itu untuk selamanya.
110523 (12.30)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top