Si Kembar Tambatan Hati
Ombak kecil menghampiri kaki mungil yang berada di bibir pantai. Ia tertawa kecil, ketika ombak itu datang menghampiri kakinya kembali. Ia melambaikan tangannya ke arah wanita paruh baya yang menghampirinya.
"Ayo, makan dulu, nanti kita main air lagi ya, sama Tommi juga." Gadis itu mengangguk.
Menerima uluran tangannya dan berjalan bersama menuju tikar yang sengaja ia gelar tadi. Gadis itu kembali berlari untuk mengejar adik lelakinya yang tiba-tiba datang menarik hidungnya. Mereka berlari mengitari tikar warna hijau.
"Tommi, Nada, ayo sudah larinya. Sekarang makan dulu, nanti main sama ayah di pantai." Keduanya bersorak gembira.
Mereka makan dengan riang, sesekali bercanda bersama. Hingga ibunya memegang dadanya nyeri. Semuanya panik. Nada menarik Tommi agar menyingkir dan membantu ayahnya untuk membereskan segala perlengkapan makan kembali ke keranjang. Ayah menggendong ibu menuju mobil yang terparkir di tempat parkir. Nada dan Tommi berlari bergandengan menyusul di belakangnya.
Nada memegang kepala ibunya dan Tommi memegangi kakinya agar tidak jatuh karena guncangan. Mobil ayah melaju kencang, mengejar waktu demi keselamatan ibu. Mobil ayah tiba di pelataran rumah sakit terdekat. Ayah kembali menggendong ibu menuju IGD, meninggalkan Tommi yang menangis takut bersama Nada di dalam mobil.
"Ayo, gandeng tangan mbak, kalau kamu takut juga, cengkram tangan mbak yang erat. Mbak nggak papa kok, asal kamu akan jadi lelaki kuat nantinya." Tommi mengangguk.
Mereka turun dan berjalan sendiri menuju ruang IGD, Tommi memegang tangan Nada erat, ia tak menyukai bau rumah sakit. Terlalu seram baginya berada di sini. Mereka berjumpa dengan ayah, menunggu di bangku panjang. Tommi mencengangkan tangan Nada kembali, kala dokter datang menghampiri.
"Maaf, nyawa ibu tak dapat tertolong," ucapnya.
Tommi menangis tergugu di tempat, ia mencengkram erat sekali tangan Nada, membuatnya meringis kesakitan. Tapi tak kunjung ia lepas, membiarkan Tommi agar ia bisa meluapkan rasa sedihnya. Nada bahkan membawa Tommi ke pelukannya. Ia akan menjaga Tommi seterusnya.
"Mbak nggak akan ninggalin kamu, ada mbak di sini," ucap Nada.
***
"Dan aku juga nggak akan pernah ninggalin Mbak di sini. Bodo amat mau ini malam juga, aku akan di sini," kekeh Tommi.
Baru saja jenazah Risa dikebumikan, tetapi Nada tak kunjung juga pergi dari sana. Ia terus meratapi nasibnya. Kehilangan sahabat, kehilangan cinta dan mendapatkan hadiah bayi kembar dari Risa. Semuanya terlalu mendadak terjadi hari ini.
Akhirnya Nada menyerah, ia berdiri dan memeluk Tommi erat. Ia butuh sandaran untuk mencurahkan segalanya dengan Tommi.
"Ayo pulang dulu, nanti kita bahas semuanya di rumah."
Tadi saat bekerja, ia mendapatkan kabar dari Nada jika Risa meninggal, tapi Tommi curiga saat menghampiri Nada di pemakaman. Tak ada Andrawan, hanya seorang lelaki yang terus menerus berada di sisi Nada tanpa berbicara. Rumah tangga kakaknya tidak baik-baik saja.
Tommi sengaja mengajak lelaki itu berkenalan, akhirnya ia mengatakan jika ia adalah atasan Nada di kantor, sekaligus niatnya untuk meminang Nada terucapkan tanpa beban. Tommi merasa ada yang ganjal.
Bagaimana bisa kakaknya masih berstatus istri Andrawan, tetapi sudah dipinang oleh Raja. Tommi mengabaikan Raja, ia memilih terus mendampingi Nada.
Motor Tommi melaju dengan kecepatan sedang, menuju rumah orang tuanya. Tommi mengajak Nada ke kemar lamanya, karena ayahnya sudah beristirahat saat ini.
"Mbak, bersih-bersih dulu aja. Nanti kita bicara ya!" Nada mengangguk.
Tommi keluar kamar, ia melangkah menuju dapur. Memasak makanan kesukaan kakaknya, ayam kecap. Setelah semua selesai, ia berlalu untuk membersihkan diri.
Setelah selesai, ia menata semuanya di meja makan. Nada memeluk Tommi dari belakang, ia merindukan suasana rumah ini, rindu dengan kasih sayang Tommi dan ayahnya.
"Mbak, yuk duduk dulu." Nada berlalu duduk.
Ia mulai menceritakan segalanya, dimulai dari wasiat Risa tentang si kembar, Andrawan yang selingkuh dan memberikannya talak. Semuanya terasa jelas di telinga Tommi.
"Lalu, Raja itu siapa?"
"Dia lelaki yang akan menjadi kakak ipar Mas Andrawan." Tommi tertawa keras, menertawakan takdir mantan kakak iparnya itu.
"Tapi memang kenapa Mbak harus tutupin kalau dia mandul? Kenapa harus Mbak yang nanggung?" tanya Tommi.
"Karena mbak ingin tahu, sejauh mana ia mencintai mbak. Ternyata Allah sayang sama mbak. Menghadiahkan si kembar, di tengah mbak kehilangan cinta."
Tommi hanya tertawa, bagaimana bisa kebodohan Andrawan terlihat jelas baginya. Bagaimana bisa berhubungan badan tiga hari, tapi sudah bisa membuahkan hasil dua Minggu. Rasanya Tommi ingin menertawakan kebodohan Andrawan yang nyata.
"Besok, aku bantuin Mbak ke pengadilan agama untuk ajukan surat cerai, dan urus segala surat-surat buat si kembar." Nada mengangguk.
***
Hari ini ia memilih mengambil cuti beberapa hari untuk mempersiapkan segalanya. Ia pulang ke rumah itu ditemani Tommi, untuk mengambil segala keperluannya. Ia bertemu dengan Ratu yang sengaja datang menemui Andrawan. Tommi mengernyit bingung, ia pernah bertemu dengan Ratu, tapi di mana ia lupa.
Andrawan menyerahkan surat gugatan cerai pada Nada, tanpa banyak bicara langsung ia tanda tangani dan menyerahkannya kembali pada Andrawan. Ia melirik Ratu yang tersenyum lebar, sembari tangannya mengusap perut.
"Aku ke sini cuma mau ambil barang-barangku. Nanti ada jasa angkut yang ke sini ambil." Andrawan hanya mengangguk.
"Bu, Ibu nggak kembali ke sini?" Nada menggeleng, "apa saya boleh ikut sama Ibu, Pak?"
"Boleh 'kan, Mas? Aku butuh jasa baby sitter buat anak-anakku." Andrawan hanya mengangguk.
Tapi ia kembali diam, apa tadi anak? Nada sudah punya anak? Dari mana ia punya anak, selama ini Nada mandul. Ia meninggalkan Ratu sendirian di ruang tengah, mengikuti Nada menuju kamar mereka, yang sebentar lagi Nada tak akan tinggal di sini. Ia sebenarnya enggan melepaskan Nada, tetapi ia sedikit terluka karena Nada dekat calon kakak iparnya.
Andrawan hanya memandang Nada berat, bagaimana bisa selanjutnya ia akan menjalani hidup ini. Mereka tak akan lagi bersama. Nada tersenyum bersama asisten rumah tangganya tanpa beban. Astaga berbeda sekali dengannya. Ia terluka dalam, ia tak ingin berpisah dengan Nada, tapi bagaimana dengan Ratu.
"Mbak, kita ke rumah sakit sekarang!" ajak Tommi. Nada mengangguk setuju.
"Mas, aku tinggal ya, nanti ada yang ambil barangku."
Tak ada kecupan perpisahan, atau kecup tangan seperti yang dilakukan Nada. Semuanya terasa hambar. Apa ini nyata berpisah dengannya? Tapi mengapa hanya itu kalimat yang diucapkan, apa tak ada secuil rasa sayang untuknya?
***
Hari ini Ratu dan Andrawan berada di rumah sakit, pernikahan mereka akan berlangsung dua Minggu lagi. Menemani Ratu periksa kehamilan, ada sisi hati Andrawan yang entah bagaimana ia merasa sepi. Memang Ratu datang setiap hari, tapi ia merindukan Nada.
Setelah selesai dan dinyatakan bayi Ratu sehat, mereka undur diri. Ratu memeluk lengan Andrawan, ia bahagia anaknya nanti mendapatkan seorang ayah. Ia tak peduli walau rumah tangga Andrawan hancur, yang terpenting ia tak sampai melahirkan tanpa suami.
Langkah Andrawan terhenti, kala melihat Nada bersama bayi dalam gendongannya. Andrawa melepaskan tangan Ratu, ia mengejar Nada yang terlihat sangat bahagia.
"Nada!" seru Andrawan.
Langkah Nada berhenti, ia memandang Andrawan bingung, ada apa mantan suaminya itu berhenti. Ia menaruh bayi itu ke dalam kereta dorong bayi dengan hati-hati. Andrawan terus memperhatikannya, ada dua bayi dengan wajah sama.
"Anak siapa?" Pertanyaan bodoh dari Andrawan, membuat Nada ingin tertawa.
"Anak akulah, kenalin dong Mas. Ini Zayn dia laki-laki dan itu Zahwa perempuan." Nada berjongkok dan melambaikan kedua tangan mungil mereka, "halo Om!" Dengan menirukan suara anak kecil.
Apa tadi, Om? Andrawan dipanggil Om? Apa tidak ada panggilan lainnya? Misalkan ayah, papa atau semacamnya itu. Apa itu tidak berlaku?
"Aku balik dulu ya, Mas. Kasihan anak-anak aku nanti kepanasan." Andrawan tertegun, "oh iya, besok sidang pertama kita, kamu jangan lupa datang, ah, jangan datang deh, biar kita cepet pisahnya. Bye Mas."
Napas Andrawan terasa berat, kenyataan apa ini yang menghantam dirinya? Mereka sebentar lagi akan berpisah, tapi tak ada raut wajah Nada yang menggambarkan jika ia sedih atau memohon jangan cerai. Tak merasa kesepian sama sekali. Membuat Andrawan yang kini dirundung kesedihan mendalam.
Nad, apa aku tidak pantas lagi kembali sama kamu?
***
Bagaimana pemirsa? Bolehkah Andrawan kembali sama Nada?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top