Ombak Menerpa Karang

Angin laut berhembus dengan kencangnya, menerbangkan sisa pashmina Nada yang ada di belakang kepala. Hatinya tiba-tiba berdenyut nyeri, tak tahu bagaimana ia harus meneruskan kehidupan pernikahan ini seperti apa?

Ia duduk di tepi pantai, dengan kaki telanjang. Membiarkan ombak kecil menerpa kulit halusnya. Air matanya menetes menuruni pipi, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Bagaimana bisa suaminya tanpa beban mengutarakan isi hatinya ingin menikah lagi, demi mendapatkan keturunan.

Andaikan ia berbicara sejujurnya, bagaimana perasaan Andrawan? Yang jelas, Nada tak ingin menyakiti hatinya. Entah ia yang bodoh atau Andrawan yang tak peka? Terlalu berat untuk merubah keadaan yang sudah terjadi.

Pandangannya tertuju pada ombak yang terus menerpa batu karang, yang tetap berdiri kokoh, di tepi lautan. Jika diibaratkan batu karang itu ia, akankah dirinya tetap bisa berdiri tegak menghadapi ombak? Ia tak yakin.

"Gue bunuh lo!" teriakan itu membuat Nada terlonjak kaget.

Suasana pantai yang awalnya sepi, hanya ada dirinya meratapi kesedihan. Tiba-tiba ada suara seperti itu dari belakangnya. Nada ingin berlalu pergi, namun terlambat. Lelaki itu sudah duduk di sampingnya.

"Gue lagi ada masalah, gue butuh pelampiasan kekesalan gue!" ucapnya lancar tanpa beban.

Nada bergeser sedikit demi sedikit untuk menjauh dari lelaki itu. "Mbak!" serunya, membuat Nada terperanjat kaget.

"S-saya?" Lelaki itu mengangguk.

"Kalau ada teman kamu yang tega menusuk dari belakang? Apa yang bakalan kamu buat?" tanyanya.

"Racun, eh, bukan. Pergi aja!" jawab Nada takut.

Lelaki itu tertawa tanpa beban. Entah apa yang ditertawakan dari jawaban Nada itu. Ia juga tak tahu.

"Gue nggak ngerti, maksud lo tentang pergi gimana?"

Nada menghela napas dalam-dalam, agar asmanya tak tiba-tiba kambuh. Ia meremas pasir karena gugup. Tak biasanya ia seperti ini. Berdekatan dengan lelaki lain.

"Pergi itu lebih baik, dari pada dekat tapi membunuh orang." Sekali lagi lelaki itu tertawa terbahak-bahak dengan jawaban Nada.

"Gue Raja, lo?"

"Arunada. Maaf saya permisi!"

Nada berlari meninggalkan Bagaskara yang berteriak memanggil namanya dengan lantang. Sekali lagi ia tertawa memandang wanita seunik Nada.

***

Perempuan berpakaian sopan itu berlari menghampiri Nada yang sedang berbincang dengan atasannya. Perempuan itu menunduk takut, tak berani menjeda percakapan mereka berdua.

"Kalau gitu, saya pergi dulu, ya! Makasih sarannya, Nad." Lelaki itu berlalu pergi.

"Mbak, maaf ganggu." Nada mengangguk. "Risa dilabrak sama ibu-ibu, Mbak. Katanya beliau cari, Mbak."

Mereka berdua berjalan dengan cepat menuju lobi kantor. Di sana berdiri dengan jumawa, ibu mertuanya sedang melabrak Risa habis-habisan.

"Panggilkan Nada sekarang! Kamu itu budek apa gimana?" Sekali lagi teriakan itu membuat Nada terus beristighfar berkali-kali dalam hati.

"Mama, ada apa?" tanya Nada hati-hati. "Maaf ya, Risa."

Tiba-tiba satu tamparan itu mendarat di pipinya dengan sempurna. Nada terperangah, beberapa karyawati berteriak tak terima Nada mendapatkan perlakuan seperti itu.

"Kamu malu, 'kan? Anak saya lebih malu punya istri seperti kamu!" ucapnya berapi-api. "Perempuan nggak berguna! Pergi dari kehidupan anak saya!"

"Kalau itu mau Mama, silakan! Saya ikhlas melepasnya. Tapi tidak dengan cara seperti ini, memalukan saya di mata teman-teman yang lain. Tolong hargai saya sedikit saja, walaupun itu bukan dari hati."

Ibu mertuanya tertawa terbahak-bahak, ia menghargai Nada. Tak ada dalam kamus besar kehidupan keluarganya. Ia kembali mendekati Nada, menarik kerudung Nada dengan remeh.

"Saya menghargai kamu? Perempuan miskin dan dari keluarga yang tidak terpandang kok minta dihargai? Ngaca dong!"

"Dari dulu saya nggak pernah setuju anak saya harus menikah sama kamu! Pakai kerudung cuma buat gaya-gayaan. Percuma kamu pakai kerudung, kalau hati kamu nggak bersih!"

Makian demi makian menjalari hatinya. Nada hanya bisa terdiam  tanpa ada balasan kata ataupun perbuatan darinya. Nada ikhlas lahir batin dimaki seperti itu oleh mertuanya, ia yakin, suatu hari nanti ibu mertuanya akan menyesal.

***

"Aku nggak mau nanggung malu perbuatan kamu!" Lelaki itu melepas jasnya karena merasa gerah. "Terserah kamu gimana, yang jelas, anak itu harus ada bapaknya saat lahir nanti!"

Perempuan itu hanya bisa menangis, ia sangat bodoh telah percaya pada seorang lelaki hanya dengan buaian kalimat cinta. Sudah dua minggu sejak kejadian itu, lelaki yang ia bela di depan kakaknya telah pergi meninggalkan ia dan calon buah hatinya. Kurang apalagi apesnya saat ini.

Ia berlalu pergi, menyambar tas jinjing warna merah di nakas. Entah akan ke mana tujuannya saat ini, yang penting ia harus mencari cara agar menikah dengan seseorang, demi anaknya kelak. Jika digugurkan, ia akan berdosa berkali-kali lipat.

Tujuannya di salah satu klub malam, entah mengapa ia berhenti di sini. Ia melangkah begitu saja tanpa beban, menyapa beberapa teman satu jiwanya. Mereka duduk bersama yang lain, memesan minuman yang berbau alkohol.

"Ratu, kenalin dong. Ini Andrawan, cowok yang pernah ngejar-ngejar lo dulu. Inget nggak?" ucap temannya.

Ratu, gadis yang kini tengah bingung memikirkan bagaimana mendapatkan calon ayah untuk anaknya, kini terjawab sudah. Andrawan akan ia buat sebagaimana mestinya agar ia bisa diakui hamil anaknya. Idenya akan segera terlaksana sebentar lagi.

Ratu tersenyum dan berbincang dengan Andrawan, seolah mereka akrab. Andrawan berpamitan ke toilet, ia segera melancarkan aksinya. Menaburkan sesuatu ke dalam gelas Andrawan. Andrawan tiba dari toilet, Ratu segera menyuruhnya minum hingga tandas. Menunggu reaksi obat yang ia tabur, Ratu mulai beringsut mendekat, ia mengecup rahang Andrawan dengan sensual, tangannya membelai dada bidang Andrawan yang tertutup kemeja hijau. Ia harus berhasil.

Andrawan membalas kecupan itu di bibir Ratu dengan penuh gairah. Hingga ia tak pikir panjang, memesan ruangan di tempat ini hanya untuk berdua saja. Saat Andrawan melepas semua pakaiannya, ia limbung ke kasur dan tak sadarkan diri. Taktiknya berhasil, ia akan membuat drama esok pagi. Seakan perlakuan semalam itu fatal.

Ratu melanjutkan membuka pakaian Andrawan dengan lincah, ia tata sedemikian rupa agar terlihat sempurna. Ia kemudian tidur hanya memakai pakaian dalam saja, ini agar terlihat natural. Tak sabar ia menanti esok pagi.

Menit telah berjalan berganti dengan jam. Waktu yang berputar begitu cepatnya, pagi hari telah menjelang. Ratu mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali, ini sudah pagi hari. Andrawan mulai melakukan pergerakan, Ratu memposisikan dirinya untuk duduk, ia segera mencari obat tetes mata, agar terlihat menangis.

Suara tangis Ratu dibuat sehisteris mungkin, membuat Andrawan terbangun dari tidurnya. Ia kaget jika satu kamar dengan Ratu. Bahkan mereka sama-sama telanjang bulat. Andrawan menghela napas berat. Tak menyangka akan seperti ini.

"Maaf, tapi saya akan bertanggung jawab. saya janji!" ucapnya gugup. "Saya akan membicarakan ini dengan istri saya

Ratu hanya diam, apa ia akan menjadi perusak rumah tangga orang? Tapi jika ia melepaskan Andrawan, bagaimana nasib anak yang ia kandung?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top