Menabur Garam Di Atas Luka
Pagi yang tak begitu cerah ini, membuat siapa saja harus rela melanjutkan aktivitasnya. Kepalanya yang berdenyut nyeri, membuat Risa menarik kursi makan untuk duduk kembali. Seharusnya ia berangkat ke kantor saat ini, berjumpa dengan yang lainnya dan berbagi cerita dengan Nada.
Mereka berdua sudah dekat sejak dulu, Nada adalah sahabat terbaiknya. Ia memijat kepalanya yang berdenyut nyeri kembali, kehamilannya selama ini tidak bermasalah, mengapa hari ini kepalanya begitu nyeri.
"Risa, kamu baik-baik aja?" tanya Arya, suami Risa.
"Aku baik, Mas. Kamu harus ke rumah mama kamu, 'kan? Pergi aja, nanti Mbak Nada yang jemput aku."
Arya mengangguk, lalu ia berlalu pergi menuju kediaman orang tuanya. Menikahnya mereka karena campur tangan Nada. Risa bersiap-siap untuk berangkat kerja, sebentar lagi Nada akan tiba menjemputnya.
Mobil warna putih memasuki pelataran rumah kontrakannya, ia melambaikan tangan pada pemilik mobil. Berjalan dengan hati-hati untuk masuk ke mobil. Ia memeluk Nada lebih dulu, dan memberikan satu kotak kue kesukaan Nada, yang sengaja ia beli pagi tadi.
"Bumil sudah siap? Kita berangkat!" seru Nada.
Mereka berdua bercerita tentang bahagianya jaman masih sekolah menengah atas dulu, berdua menghabiskan jam kosong, terkadang bolos diam-diam saat bosan dengan salah satu pelajaran saat itu. Tertawa bersama, serasa beban hidupnya tak ada.
Dalam hati kecil Nada, ia menangis. Dari semalam suaminya belum juga pulang. Ia mencoba menghubunginya, namun nomornya tak aktif. Ia ingin bicara serius dengan Amdrawan, terkait ibunya yang tiba-tiba melabrak Nada di kantor, menginjak-injak harga diri Nada di mata teman-teman kantornya.
"Mbak, aku rasanya pingin cuti cepat-cepat, enaknya kapan ya?" tanya Risa, mampu mengejutkan Nada yang sedang melamun.
"Gimana Ris? Aku tadi lagi fokus lihat jalan." Risa tersenyum.
"Aku mau cuti, capek mbak bawa bayi-bayi di sini." Nada tersenyum, ia membelai perut besar Risa, tak ada yang menyangka jika Risa hamil anak kembar.
"Mendekati aja Ris, biar nanti aku ikutan jagain si kembar." Risa mengangguk setuju.
Nada termenung sejenak, andaikan ia punya anak seperti yang dialami Risa, betapa bahagianya ia. Sayangnya itu hanya angan-angan. Nada menepis segala-galanya tentang anak, ia akan memilih mengadopsi anak saja, dari pada ia tak punya.
***
Mobil yang dikendarai Arya melaju dengan kecepatan sedang, melewati kota Boyolali, tujuannya adalah Semarang. Kota kelahirannya, ia ingin bertemu dengan kedua orang tuanya. Bercengkrama dengan mengkisahkan tentang kehamilan Risa. Meskipun keduanya tak setuju dengan pernikahan Arya dan Risa, namun cinta mengalahkan segalanya.
Arya berhasil meyakinkan kedua orang tuanya, jika Risa adalah wanita yang sempurna untuk dijadikan istri. Tak ada sanggahan atau apapun itu dari orang tua Arya. Tetapi mereka memilih tak menemui Risa. Hal itu membuat Arya mengalah. Ia yang menemui kedua orang tuanya tanpa Risa.
Mobil Arya telah sampai di kediaman kedua orang tuanya. Di sana ibunya membuka tangan lebar-lebar ingin memeluk Arya. Anak semata wayangnya yang kini menjadi suami orang. Mereka bercengkrama sebentar lalu masuk ke ruang tamu.
"Kamu agak kurusan,Nak. Apa dia nggak perhatikan kamu?" sindiran ibunya membuat Arya mengurut dada.
"Ma, jangan gitu dong! Risa nggak salah, aku aja yang lagi nggak suka makan banyak." Ibunya melengos.
"Belain aja istri kamu itu, kenapa dia nggak pergi ke sini aja? Kenapa, nggak berani sama mama?" Arya hanya tersenyum, ia berniat ingin mengajak kedua orang tuanya bertemu dengan Risa.
"Risa lagi hamil besar Ma, nggak bisa perjalanan jauh seperti ini. Apalagi anak aku kembar," ucap Arya bahagia.
"Ya Tuhan, beneran Nak? Ayo Ma, kita ke sana aja lihat Risa. Papa pingin buru-buru lihat cucu kembar, papa."
Tak ada sahutan lagi, tapi ia bahagia mendapatkan cucu kembar. Anak kembar yang dulu sangat ia idam-idamkan, pupus sudah. Saudara kembar Arya telah tiada, setelah mereka lahir. Mengalami gagal jantung, membuat ibu Arya sedih. Perjuangannya selama sembilan bulan mengandung, harus kecewa menerima takdir Tuhan.
Ia tak ingin bertemu dengan Risa, rasanya Risa tak pantas menjadi menantunya. Risa bukanlah wanita yang sempurna, ia hanya gadis yatim piatu yang kejatuhan durian runtuh, menikah dengan Arya. Pemuda tampan yang banyak diidam-idamkan oleh kaum hawa.
Keputusan sepihak sang suami, membuatnya harus rela ikut ke Yogyakarta, meskipun tak ingin pergi. Mereka kini berada di mobil bertiga. Arya sangat bahagia, ini pertama kalinya kedua orang tuanya mau bertemu dengan Risa. Ia mengabarkan berita gembira ini melalui telepon pada Risa.
"Istri kamu tuh, harusnya yang temuin mama. Sudah tahu kita yang tua, kenapa malah repot-repot dibawa ke sana?" ucapnya tiba-tiba. Padahal panggilan dengan Risa masih berlangsung. "Papa juga, kenapa sih, main ngikut aja? Masih ada hari esok tahu!"
"Sudah nggak becus urus suami, masih aja ngerepotin. Kamu kurus kering gini, ngapain aja dia? Hamil kok manja. Harusnya dia ingat statusnya cuma anak yatim piatu!" imbuhnya lagi.
"Mama! Jangan ngomong gitu, Risa wanita yang baik, Ma. Dia nggak pernah kecewain aku sedikit pun," bela Arya.
"Halah mulut kamu! Ketularan Risa ya? Dasar kamu!" Arya hanya diam, ia segera meletakkan ponselnya di saku baju. "Nanti kalau sudah sampai, mama nggak mau nginep di kontrakan kalian. Risih!"
Hati siapa yang tak sakit mendengar segala bentuk cacian untuknya secara terang-terangan. Risa yang masih setia mendengarkan bentuk caci maki dari ibu mertuanya, hanua bisa mengurut dada. Menangis, sudah ia lakukan sejak tadi. Duduk termenung di ruangan Nada, menceritakan segalanya.
Mobil yang dilajukan Arya mendadak kencang, ia merasa telinganya panas mendengar rentetan kalimat tak baik dari ibunya untuk Risa. Ia kecewa, sakit hati juga. Andaikan hari ini ia tak pulang untuk menemui kedua orang tuanya, mungkin hal ini tak akan terjadi. Andaikan ia tak menawarkan untuk mengajak kedua orang tuanya ikut ke Jogja, mungkin ia tak akan mendengarkan kalimat itu.
Mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki wilayah Yogyakarta. Tak menyangka jika kecepatan mengemudinya berhasil membawanya sampai lebih cepat. Namun tiba di perbatasan kabupaten Sleman, mobilnya harus mengalami kecelakaan beruntun. Sebuah truk dari arah berlawanan, menabrak mini bus di depannya, hingga mobilnya yang baru saja tiba di belakang mini bus warna hitam, terkena imbas. Bagian depan mobil Arya rusak parah.
***
Ponsel Risa berdering nyaring, terdapat nomor tak dikenal. Ia segera menggesernya. "Halo?"
"Dengan Ibu Risa, istri dari Pak Arya?"
"Ya? Ini dengan siapa ya?"
"Kami dari rumah sakit Ibu, ingin mengabarkan jika Pak Arya beserta rombongan mengalami kecelakaan beruntun. Sekarang ada di rumah ingin sehat."
"Baik, saya akan ke sana segera." Risa bergegas untuk pulang.
Ia mengabarkan Nada perihal ini, akhirnya Nada mengantarkan Risa menuju rumah sakit yang disebutkan tadi. Pikiran Nada Arya mungkin terluka agak berat. Ia terus menenangkan Risa, agar bayinya tak ada apa-apa.
Mobil Nada tiba di halaman rumah sakit, mereka berjalan menuju resepsionis. Menyebutkan nama Arya dan nama kedua mertuanya. Mereka diantarkan menuju ruang ICU. Di sana Arya tergolek lemah tak berdaya bersama kedua orang tuanya. Lutut Risa terasa lemas, ia tak menyangka jika luka Arya akan sebanyak itu.
Nada membawa Risa untuk duduk agar tenang. Ia membelai lengan Risa lembut. Mencoba memberi kekuatan agar Risa tetap kuat, menghadapi kejadian ini. Ponselnya berdering, tertera nama Andrawan di sana. Ia menggeser tombol jawab, lalu menempelkan ke telinga kanan.
"Nad, kamu di mana?" tanyanya.
"Di rumah sakit, Mas. Suami Risa kecelakaan. Kamu sudah pulang?"
"Sudah. Nad, aku sudah menemukan wanita itu ... aku dan dia bahkan sudah tidur bersama," ucapnya tanpa dosa
Nada hanya diam tanpa kata. Baginya ini terlalu mendadak dan sakit, tak ada hal yang tak wajar di dunia ini. Namum, perkataan ini sungguh tak tepat dengan suasana saat ini. Nada terlalu terluka dalam atas tindakan suaminya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top