Hadiah Dari Suamiku
Hujan di bulan Agustus, turun dengan derasnya. Membasahi jalan raya pagi ini. Membuat sang surya tak menampakkan dirinya di ufuk timur. Lalu lalang beberapa orang memakai mantel hujan dan membawa payung melewati rumah bernuansa minimalis itu. Penghuninya belum nampak untuk melakukan kegiatan pagi ini. Beberapa penjual makanan keliling langganannya berteriak di depan pagar, namun tak ada sahutan sama sekali.
Putri Arunada, biasa dipanggil Nada. Baru saja selesai menyiapkan bekal untuknya pergi ke kantor. Memandang kalender duduk yang ia letakkan di dekat televisi, ada helaan napas panjang. Sebentar lagi mereka anniversary pernikahannya dengan Andrawan. Sayangnya Andrawan sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Ia bergegas pergi, jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Perjalanan ke kantor memakan waktu sekitar satu jam.
"Mbak, saya tinggal ke kantor ya! Kalau suami saya telepon, bilang aja nanti saya telepon dia balik," ucap Nada ke asisten rumah tangganya.
"Baik Bu," jawabnya.
Nada berlalu dengan menenteng tas laptop berwarna biru tua, menuju mobil pribadinya berwarna putih. Melaju dengan kecepatan sedang, menembus hujan deras pagi ini.
Pikiran Nada berkecamuk, belum ada kabar tentang suaminya dari kemarin sore. Perjalanan dinas menuju luar kota, membuat mereka terpisah selama beberapa hari.
Pernikahan mereka bukanlah seumur jagung, hampir tahun keempat mereka bersama. Namun, belum ada tanda-tanda Nada hamil. Berbagai macam obat, ramuan bahkan apapun itu agar dirinya dapat hamil, telah dilakukan. Namun Tuhan berkehendak lain. Sampai saat ini dirinya belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Ponselnya berdering, menampilkan nama Dokter Windi, spOG. Nada menekan tombol jawab.
"Halo Nad, ini aku Windi." Nada tersenyum.
"Ya, Mbak? Gimana?" tanyanya antusias.
"Sore ini kamu ke tempatku ya! Kita tes dulu kesuburanmu, setelah itu baru si Andrawan."
Tes kesuburan, belum pernah terpikirkan olehnya. Beberapa hari lalu Windi mendengarkan keluh kesah Nada tentang dirinya yang tak kunjung hamil. Windi menawarkannya untuk tes kesuburan lebih dulu. Ia tak tega melihat perempuan setangguh Nada harus terluka tentang omongan tantenya, ibu dari Andrawan.
"Iya Mbak, pulang kerja ya! Aku masih banyak kerjaan hari ini." Setelah mendapatkan persetujuan, Windi menutup panggilannya.
Bayangan Nada tentang kehamilan, ada di depan mata. Ia harus membahagiakan suaminya, bagaimanapun caranya. Ia tersenyum, tak sabar untuk menemui Windi sore nanti.
***
Windi berkali-kali membaca hasil pemeriksaan tentang Nada, sekali lagi tak ada masalah tentang kesuburannya. Lalu mengapa sampai saat ini ia belum juga hamil. Satu kemungkinan yang bermasalah, Andrawan. Windi mencoba menghubungi Andrawan, namun tak ada jawaban.
"Hasil pemeriksaan kamu bagus. Nggak ada masalah sama sekali, loh." Windi terdiam beberapa saat. "Lain waktu aku ingin Andrawan juga periksa. Siapa tahu memang ada yang bermasalah dari dia."
Nada tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya bisa diam, bagaimana caranya mengajak Andrawan untuk menjalani pemeriksaan ini. Nada pamit undur diri. Dirinya harus segera pulang dan menenangkan diri. Dilajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya yang senggang sore ini.
Pagar rumahnya terbuka, di sana sudah terparkir mobil berwarna hitam, milik suaminya. Nada bergegas keluar dan sedikit mempercepat langkahnya untuk menghampiri Andrawan, yang sudah berdiri di ambang pintu. Nada tersenyum dan mengamit tangan Andrawan untuk ia cium. Andrawan tersenyum dan mengajaknya masuk ke ruang tengah. Di sana sudah ada ibu mertuanya sedang berkunjung.
"Baru pulang? Jam berapa ini? Kamu nggak bisa menghargai suamimu ya?" Kalimat sindiran itu yang pertama kali menyapanya.
Nada hanya tersenyum, sekuat hati ia pertahankan agar tidak meneriaki ibu mertuanya. Nada maju selangkah dan menyalami Siti dengan sopan, walaupun Siti menarik tangannya dengan cepat. Nada hanya tersenyum menanggapinya. Ia pamit untuk ke kamar mandi. Langkahnya belum juga menjauh, sudah terdengar kembali kalimat yang merusak telinganya.
"Mau sampai kapan kamu pertahankan hubungan sama dia? Lihat, sampai sekarang kamu belum juga punya anak! Apa kamu nggak pingin punya anak?"
"Ma, jangan gitu dong. Aku sama Nada juga lagi berusaha, kita mau ke Mbak Windi buat program kehamilan," jawab Andrawan.
"Ya sudah, kalau memang hasilnya mengecewakan ... kalian pisah aja. Kamu cari perempuan lain. Mama yakin, kalau Nada itu mandul!"
Nada hanya beristighfar dalam hati. Hatinya tak sekuat baru karang yang masih berdiri kokoh, walaupun diterjang ombak berkali-kali lipat dahsyatnya. Nada mempercepat langkahnya agar sampai kamar, ia menutup pintu dengan pelan dan luruh ke lantai. Ia menangis tanpa suara, betapa kejamnya lidah ibu mertuanya itu. Ia tak pernah mengeluh walaupun harus disuruh ini itu, jika keluarga dari suaminya berkumpul. Bahkan Nada tak takut jika uangnya habis, jika ibu mertuanya meminta ini itu. Tapi balasan memang lebih kejam. Tak ada balasan yang benar-benar tulus. Ibu mertua memang tak sama dengan ibu kandung.
***
Hujan turun dengan derasnya, mengguyur kota gudeg. Ia bergeming di balik jendela kamar, ada satu hatinya yang tiba-tiba merasakan sepi. Tinggal menunggu hitungan jam, ia akan menikah dengan lelaki pilihannya sendiri, Andrawan. Lelaki yang bekerja di salah satu perusahaan swasta. Mereka bertemu saat kantor melaksanakan outbound di luar kota. Tak sengaja mereka dijadikan satu kelompok. Nada tertawa jika mengingat pertemuan tak terduga mereka dan berakhir akan menuju ke pelaminan.
Nada membuka album foto miliknya, yang tergeletak di laci. Ada beberapa foto kenangannya bersama almarhumah ibunya. Ibunya memang tak dapat hadir, tapi dapat merasakan jika anaknya bahagia dari surga sana. Nada membalik lembar berikutnya, foto wisudanya bersama ayah tercinta, mereka terlihat bahagia. Namun, berbeda hal dengan saat ini, ayahnya jatuh sakit. Sejak mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu, hingga mengalami kelumpuhan total. Hanya bisa berbicara, namun tak dapat melakukan apa-apa sendiri. Selama ini hanya Nada yang merawat ayahnya, dibantu dengan adik satu-satunya.
"Mbak, mau makan nggak? Aku yang masak nih!" seruan adik lelakinya terdengar dari dapur.
Nada keluar dari kamar dan menghampiri Tommy. Lelaki berusia dua puluhan itu memakai celemek berwarna hijau, sedang membawa beberapa piring menuju meja makan. Fettucini carbonara, masih mengepul uapnya. Tomi juga membawa serta dua cangkir coklat panas di sana, sebagai pelepas dahaga.
"Mbak, mulai minggu depan aku sudah mulai kerja magang di restoran bintang lima." Nada memegang tangan Tommy, dia terharu.
"Semangat ya, Dek. Semoga kamu bisa seterusnya bekerja di sana." Tommy mengangguk.
"Yang bener, kita berdua seharusnya punya restoran sendiri, Mbak." Nada mengamini niat baik Tommy.
Kedekatan mereka berdua memang patut diacungi jempol. Mereka rela merawat ayahnya ber sama-sama. Dalam hati Nada merasakan ketakutan. Takut jika esok pagi, Andrawan akan berubah pikiran dan batal menikah. Rasa takut itu tentunya ada, namun ia tak berani mengungkapkan kepada Tommy.
Tommy menepuk punggung tangan kakaknya. Ia tersenyum untuk menguatkan kakaknya yang terlihat rapuh. Nada mengalihkan tatapan tajam Tommy, ia tak sanggup untuk menceritakan kebimbangan yang dirasakannya. Tommy menarik kursinya maju sedikit, ia menopang dagunya dengan satu tangan, dan menghadap Nada yang salah tingkah.
"Mbak, kalau memang ada masalah, sini kita cerita bareng. Aku nggak akan bisa baca hati dan pikiran, Mbak." Nada termangu. Apakah tak apa menceritakan tentang kebimbangan hatinya.
"Mbak, takut ... takut kalau Mas Andra, berubah pikiran." Tommy mengernyit bingung.
Nada menarik napas panjang, ia menggenggam jemari Tommy yang ada di meja makan. Ia butuh kekuatan. "Dulu, sebelum Mas Andra kenal sama mbak, dia pernah gagal nikah."
Tommy diam dan mendengarkan secara jelas cerita yang disampaikan oleh Nada. Andrawan pernah gagal menikah karena ibunya tak menyetujui calon mempelai yang berasal dari keluarga biasa saja. Tak ada pangkat atau apapun dari keluarga mereka. Andrawan membatalkan pernikahannya begitu saja, tanpa peduli bagaimana rasa sakit dan malu luar biasa yang dihadapi oleh calon mempelai dan keluarga. Hanya ada uang ganti rugi yang diberikan oleh pihak keluarga Andrawan.
Jika ibunya sudah berkata tidak, Andrawan akan menurutinya. Untuk urusan pernikahan Nada kali ini, ibunya hanya terserah apa mau Andrawan. Kali ini ibunya membebaskan pilihan padanya. Walaupun mereka tak pernah menemui Nada dan keluarganya. Ada rasa takut jika masa lalu Andrawan akan terulang padanya kembali. Tommy memeluk kakak perempuannya dengan erat. Ia tak akan pernah tinggal diam, jika perempuan yang paling ia sayangi dan dijaga baik-baik, harus terluka. Jangan harap hidup Andrawan tenang.
Waktu terus berputar, hingga sang surya menyapa dengan elok dari timur. Nada sudah rapi dengan kebaya berwarna putih, dengan jilbab senada. Hatinya belum tenang sampai saat ini. Belum ada kabar dari Andrawan pagi ini. Subuh tadi ia mengirim pesan untuk Andrawan, namun sampai saat ini tak ada respon apapun.
Suara salam dari pintu depan, membuatnya terperanjat. Mengintip dari kamar, ia melihat Andrawan sedang berjabat tangan dengan Tommy dan mengalami ayahnya yang duduk diam di kursi roda. Hatinya merasa lega. Pernikahannya tetap berlanjut. Nada kembali ke meja rias, ia memoles bedak tipis, agar riasannya tetap sempurna.
"Mbak, udah siap belum? Itu Mas Andra sudah datang." Nada mengangguk, lalu memeluk Tommy dengan erat. Dia bahagia, pernikahan ini tak jadi batal.
Tommy menggandeng Nada menuju kursi, mengantarnya duduk bersebelahan dengan Andrawan. Tommy duduk berhadapan dengan Andrawan dan menjabat tangannya. Mengucapkan kalimat ijab qobul dan diikuti dengan suara Andrawan. Kalimat sah dari para saksi, membuat pernikahan mereka telah sah di mata agama dan negara. Setelah ini akan ada kehidupan baru yang akan ia lalui bersama Andrawan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top