5. Rasa itu Ada




"Nanti saya kirimkan pilihan wallpapernya ke WA-nya Bapak," tukas Adrian mengakhiri pertemuan sore itu dengan Pak Brata. Pria itu adalah pengusaha yang sibuk, dia ingin menemui Adrian di penghujung hari sambil meninjau rumah yang desainnya diarsiteki oleh pemuda itu.

"Kau ambil saja keputusan, Nak. Bapak juga nggak tahu selera putri Bapak seperti apa," kata Pak Brata dengan nada menyesal. Adrian sedikitnya mengerti alasannya karena pria tua ini ingin memberikan kejutan untuk putrinya.

"Akan saya kirimkan supaya Bapak tahu gambarannya."

"Kau buru-buru, Nak?"

"Agak buru-buru, Pak. Saya ingin menemui pacar saya," aku Adrian. Sejak menjalani hubungan pacaran, tak ada hari di mana ia absen menemui Rissa. Wajah cantik wanita itu selalu membuatnya ingin selalu bertemu. Ia merasa pasti semua itu dikarenakan sudah terlalu lama menjomblo sampai membuat tingkahnya seperti anak remaja di mabuk cinta.

"Oh, mau ketemu pacar. Ya sudah, lanjut saja, Nak," kata Pak Brata sambil tersenyum mengijinkan Adrian pergi lebih dulu. Ia mengurungkan niatnya untuk mengajak Adrian makan malam bersamanya.

"Duluan ya, Pak," pamitnya kemudian masuk ke mobil Honda CRV-nya. Ia melajukan mobilnya lalu menghubungi Rissa melalui ponsel yang terhubung dengan layar LCD. Suara Rissa terdengar menyapanya dengan kata halo beberapa detik kemudian.

"Hai, Calon Istri." Rissa diam beberapa detik dan Adrian bisa membayangkan ekspresi wanita itu di pikirannya. Wajahnya pasti memerah dan bibirnya tersenyum.

"Bukannya kamu bilang akan sibuk sampai malam? Kenapa telepon sekarang?"

"Kangen, boleh?" tanya Adrian dengan suara khasnya. Kakinya menginjak gas agar bisa tiba secepatnya di cluster rumahnya Rissa.

"Kau di tempat proyek?"

"Hampir sampai di depan rumahmu."

"Aku masih di kantor."

"Aku jemput sekarang. Kau sudah siap?"

"Masih ada yang harus kubereskan. Sedikit. Aku akan siap dalam waktu dua puluh menit. Kita mau ke mana memangnya?"

Adrian belum memikirkan mau ke mana, ia hanya ingin bertemu dengan Rissa, itu saja. Dirinya merasa harus menemui wanita itu.

Mau ke mana?

"Aku jemput saja. Kita makan malam. Oke?"

"Baik. Aku siapkan kerjaan dulu."

"Aku tutup teleponnya sekarang. Santai saja, selesaikan kerjaanmu."

Adrian menutup teleponnya sambil tersenyum. Ia telah bertekad untuk membuat Rissa menyukainya dan bersedia menerima lamarannya. Tak ada alasan baginya untuk mencari calon istri yang lain karena sudah merasa klop dengan wanita itu. Ia hanya mengandalkan otaknya yang terlalu berpikiran logis. Arissa juga adalah wanita yang sudah dewasa dan tentunya juga menginginkan sebuah ikatan pernikahan. Kalau tidak, tentunya ia tak akan menggunakan aplikasi perjodohan.

Adrian memang tak ingin menghabiskan waktu untuk pacaran apalagi pengalaman di masa lampau kalau ia pernah gagal membina hubungan sampai tahap pernikahan. Ditambah lagi mamanya juga menginginkan kalau ia segera memiliki pasangan.

Buat apa juga menghabiskan waktu dengan pacaran? Bahkan dengan orang yang sudah saling mengenal dari dulu, tapi akhirnya juga tak mengenakkan, pikirnya sebelum akhirnya memutuskan untuk memasukkan data-data dan persyaratannya di aplikasi itu.

Rissa sudah menunggu di depan kantor WO-nya ketika mobil Adrian tiba. Dua orang temannya menunggu bersamanya. Lelaki itu bahkan sempat melihat kalau temannya menggoda wanita itu ketika ia tiba.

"Kapan kau akan mengenalkannya pada kami?" goda salah satu temannya yang kedengaran oleh Adrian ketika lelaki itu menurunkan kaca mobil.

"Temanmu ikut bersama kita?" tanya Adrian. Rissa menggeleng. "Tidak. Mereka sudah memesan taxi online."

"Kita mau makan di mana?"

"Ah, kemarin Liam bilang dia baru makan di cafe baru. Dia pamer foto-fotonya jadi aku cukup penasaran dan ingin mencobanya."

"Di mana itu?"

"Kalau boleh jujur, aku lebih tertarik sama tempatnya daripada menunya," jawab Adrian. Rissa tertawa dan menjawab, "Entah kenapa aku tidak merasa heran."

Ya, pikir Adrian. Kadang ketika bersama, ia selalu merasa demikian. Ada yang tak perlu diutarakan dan Rissa sudah bisa membacanya. Mereka berdua, suka atau tidak, harus mengakui kalau ini yang namanya sefrekuensi.

"Apa nama cafenya? Mau lihat menunya," kata Rissa sambil mengeluarkan ponsel. Lalu ia cemberut melihat telepon genggamnya kehabisan daya.

"Aku kirimkan posisinya di google map ke WA sekarang, ya."

Rissa menggeleng sambil menunjukkan teleponnya. "Handphone-ku mati. Pinjam punyamu."

Adrian tersenyum samar lalu bilang, "Charge saja. Tuh ada di sana."

Wanita itu harus menunggu beberapa lama telepon genggamnya bisa menyala kembali. Lalu segera mengecek posisi di google map posisi kafe yang sudah dikirimkan oleh Adrian kepadanya.

"Ah, ini. Nora kemarin juga lagi pamer foto. Tapi aku yakin dia lebih suka foto-foto."

"Oh penyanyi idolanya Liam," kata Adrian sambil tergelak. "Aku merasa mereka berdua sangat cocok."

Rissa menggeleng. "Sama sekali nggak. Nora sudah punya pacar. Mereka berdua sudah pacaran setahun. Pacarnya dokter gigi dan dia sangat baik."

"Liam juga baik," balas Adrian.

"Apa kita akan bertengkar karena kau tim Liam dan aku tim pacarnya Nora?" tanya Rissa sambil melirik Adrian yang di sampingnya dengan kesal. Adrian malah tertawa.

"Ya, tidaklah. Hanya saja ... pacaran setahun juga bukan jaminan kalau mereka berjodoh. Ada orang yang sudah saling mengenal sejak kecil dan dijodohkan, tapi kemudian mereka bisa berpisah dan bertemu dengan jodohnya," kata Adrian.

"Ya, tampaknya aku akan mengatur agar kita bisa pergi berempat supaya kau tau bagaimana serasinya Nora dan pacarnya itu." protes Rissa.

"Sama sekali tak perlu. Karena ... aku tak suka bepergian dengan orang yang kukenal dekat," tolak Adrian tetap menatap lurus ke jalan.

"Lalu kenapa kau mau bertemu denganku?"

"Kau masih ingin membahas ini? Artinya kita kembali ke titik awal."

"500 meter ke depan, belok kanan. Tujuan Anda ada di sebelah kanan." Suara dari GPS mobil memotong kalimat Adrian.

Rissa sama sekali tak menyangka kalau ia akan bertemu dengan kenalannya di kafe itu. Ketika ia sedang menggagumi interior kafe yang bergaya shabby chic, Winda, salah satu teman sekolahnya menyapanya.

"Halo Arissa," sapanya ramah.

"Winda? Hey!"

"Sudah lama tak melihatmu sejak ..."

"Aku jarang ngumpul sama kalian dan ..."

"Kau tak suka ada di grup sekolah yang berisik. Ini ..." Winda melirik Adrian yang berdiri di samping Rissa. Beberapa detik menatap lelaki itu seperti sedang mengingat kalau ia pernah melihatnya di suatu tempat. Namun kemudian ia menyerah ketika suaminya yang sudah duduk pada salah satu kursi kafe memanggilnya untuk segera bergabung. Sementara Rissa menganggap kalau temannya ini hanya sekedar penasaran. Ia bisa memakluminya. Salah satu alasan dirinya keluar dari grup alumni adalah bosan ditanya sudah punya pacar dan sibuk memasangkan dengan teman sengkatan yang sama-sama belum menikah. Winda salah satu teman yang suka menjodohkannya.

"Kau belum ganti nomor WA 'kan Ris? Nanti aku hubungi, ya. Kami di grup sering ketemu, kecuali kamu."

"Masih sama," jawab Rissa sekedar basa-basi. Kalaupun diundang masuk ke grup, pasti akan ditolaknya.

Sementara Adrian ketika Rissa mengobrol ringan dengan Winda sedang menerima telepon dari Liam.

"Pacarmu?" bisik Winda pelan. Belum sempat dijawab, Adrian sudah selesai dengan pembicaraan teleponnya dan membuat Winda tahu diri.

"Ya, sudah. Nanti aku hubungi," katanya. Namun, ketika ia mengangguk pada Adrian, ia masih mencoba mengingat di mana pernah bertemu dengan pria ini.

Ketika Rissa melihat menu, disadarinya kalau Adrian sedang menatapinya diam-diam, sampai ia merasa canggung. "Katanya lapar, kenapa masih tetap memandangku? Apa dengan melihat wajahku kau merasa kenyang?" sindirnya walaupun dalam hatinya bergemuruh juga.

"Tadinya aku lapar. Sekarang ... aku ingin menatapmu saja. Aku kangen berat."

Rissa terdiam mendengar jawaban manis keluar dari mulut pria ini. Dia yang berwajah kaku, biasa berkata-kata dengan bahasa yang sama datarnya bisa mengucapkan kalimat gombal.

Ya sudahlah, pikir Rissa. Lamar aku sekarang juga, kita menikah yuk.

Wanita itu masih berusaha menenangkan diri ketika Adrian bicara soal hari-harinya yang meleleahkan sepanjang hari. Suaranya yang bernada rendah bagaikan mendengarkan penyanyi jazz yang sedang mengadakan konser.

"Lalu aku baca chat dari tantemu," kata Adrian. Saat itu pramusaji sedang mengantarkan pesanan mereka, mencegah Rissa untuk bertanya lebih lanjut tentang alasan tantenya menghubungi pria itu. Namun, begitu pramusaji pergi, bahkan belum sempat menikmati makan malamnya, pertanyaan Rissa sudah tak terbendung.

"Ngapain Tante menghubungimu? Kok, bisa tau nomormu? Tante reseh, ya?" tanyanya bertubi-tubi. Dia tak menduga kalau Adrian akan tertawa dan menggeleng.

"Tantemu sama sekali tidak reseh, Rissa. Dia minta nomor teleponku waktu di rumahmu, dan kenapa kau selalu resah bila ada hubungannya dengan Tante?" tanya Adrian dengan nada hati-hati.

"Aku tidak resah. Hanya saja aku terlalu kuatir kalau Tante Veni bisa membuatmu merasa tak nyaman. Dia terlalu bersikap hati-hati melindungiku," jawab Rissa.

"Dia melindungimu dari apa?" Pertanyaan dari Adrian ini membuat Rissa sadar kalau ia mulai mengungkapkan sisi lain dari keluarganya, juga bagian dari masa lalunya yang membuatnya sampai saat ini masih menutup hatinya.

"Itu ... ah, sudahlah. Nanti akan kubahas." Rissa menarik piring berisi stik daging sapi import itu lebih dekat lagi, walaupun jaraknya sudah pas. Ia melakukannya supaya Adrian tak lagi bertanya.

"Dia hanya mengingatkan aku agar menghadiri ulang tahun Papa-mu." Adrian menjelaskan tanpa diminta. Rissa menarik nafas lega mendengar penjelasannya.

"Ah iya. Pestanya Sabtu ini. Aku jemput, ya," kata wanita itu sambil tersenyum. Adrian berdehem sebentar lalu berkata, "Tak salah? Aku yang dijemput? Kalau begini, apa aku kelihatan jantan?"

Lagi-lagi guyonan yang garing, tetapi tetap saja membuat Rissa tertawa. Sepertinya dia mulai memperhitungkan Adrian adalah calon suami yang layak.

Benang Merah Jodoh.

Satu-satunya yang membuat Rissa merasa ada yang kurang dalam diri Adrian adalah dia sering telat atau malah sebaliknya, ketika sedang pergi berdua, pria itu sering minta ijin buru-buru pulang, Entah itu masih sedang nonton film di cinema atau di rumah kontrakan, filmnya belum habis, Adrian kadang sudah mau pulang. Sampai Nora sendiri yang ikhlas melipir ke kamar juga ikut geleng-geleng kepala. Namun, sebagai teman ia berusaha untuk tak terlalu kepo dengan urusan Arissa.

Semua ini terjadi lagi ketika Adrian berjanji untuk menjemputnya untuk pergi ke pesta keluarga Papa-nya Arissa, pria itu menghubunginya lewat chatting mengabarkan kalau ia akan terlambat.

Maaf, Sayang. Bisakah kau pergi sendiri. Aku akan menyusul Nanti setelah urusanku beres.

Rissa menarik nafas panjang, merasa usahanya untuk berdandan dan memadupadankan baju menjadi sia-sia. Memang bukan berarti Adrian tak akan datang, ia bilang akan menyusul, tetapi juga tak berarti pasti muncul. Entah alasan apa yang membuat pria itu sampai bisa begini, padahal ia sudah berjanji sebelumnya.

"Ada apa, Ris?" tanya Nora. Teman serumahnya itu masuk ke kamarnya mengenakan piyamanya yang sudah bulukan sambil memakan kerupuk pedas kesukaannya. Ia membaca ada yang tak beres dengan ekspresi Rissa.

"Aku sepertinya harus pergi sendiri. Adrian tak bisa menjemputku." Berusaha untuk tidak kecewa, berusaha untuk tidak sedih, tetapi suaranya tetap bergetar. Semuanya itu terbaca oleh Nora. Diletakkannya cemilannya yang tak sehat di meja rias. Lalu ia mengelap tangannya yang berlepotan minyak.

"Yuk, kuantar sampai ke sana!" katanya sambil menarik lengan Rissa dengan terburu-buru.

"Ke mana?" tanya Rissa bingung.

"Ke pesta Papamu."

"Aku bisa pesan taksi online."

Walaupun protes 5 Km panjangannya, tetap saja Rissa diantar sampai di depan kafe Kenangan, tempat papanya mengadakan pesta keluarga.

"Aku jemput kalau sudah siap," pesan Nora. Gadis ini bahkan tak sempat mengganti baju piyamanya dengan baju yang pantas dan rambutnya berantakan, tetapi ia rela mengantar sampai ke sini.

"Tak perlu, aku bisa pesan ..." Rissa menutup mulut dengan jarinya ketika melihat Nora mendelik padanya, seolah tatapannya bisa mengatakan awas kalau pulang naik taksi online.

"Aku pulang dulu. Bye bye!"

Rissa masih belum bisa memikirkan alasan yang akan diberikan jika Tante Veni bertanya soal Adrian. Ia pikir seandainya waktu itu mereka tak bertemu di rumah kontrakan, maka masalah mala mini tak akan pernah terjadi.

Ke mana sebenarnya lelaki itu, pikir Rissa galau. Sampai ia tak menyadari kalau adiknya  berdiri di belakangnya, menepuk pundaknya pelan.

"Melamun, Kakak Cantik?"

Rissa kaget dan balas memukul bahu Hendrik sampai pria itu mengaduh kesakitan. Dulu, bertahun-tahun lalu ketika melewatkan masa kecil mereka di kota kecil, keduanya hanya bergantung pada seorang ibu ketika seorang ayah yang seharusnya melindungi malah meninggalkan mereka. Kini adiknya telah tumbuh menjadi pria yang dewasa dan akan segera menikah.

"Hai, Kak. Cantik sekali malam ini. Eh, kata Hendrik, Kakak akan bawa pasangan? Mana Kak?" tanya Siska, calon adik iparnya. Wanita yang usianya lebih tua setahun dari Hendrik ini telah dianggap teman oleh Rissa, sehingga gaya bicaranya juga seperti teman.

Rissa menarik lengan Siska dan berbisik, "Ini yang harus aku bicarakan dengan kalian berdua. Temanku itu untuk suatu alasan, belum bisa datang. Bisakah kalian berdua membantuku, alihkan perhatian Tante Veni jika dia bertanya. Atau kalau Papa sudah tahu soal Adrian Wicaksono dan ingin tanya tentang keberadaannya, tolong buat Papa dan Tante Veni sibuk. Pokoknya, jangan ada yang bertanya tentang Adrian," tukas Rissa panjang. Hendrik menjentikkan tangannya dan berkata, "Oke!"

"Tapi siapa Adrian Wicaksono sebenarnya?" tanya Siska, wanita berambut panjang dan bermata lebar itu. Rissa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil berkata, "Aku jelaskan Nanti."

"Oke, gampang!"

Benang Merah Jodoh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top