2. Kamu dan Aku.

Rissa bukan tipe manusia yang suka bangun telat, tapi juga bukan termasuk yang suka bangun pagi. Biasanya dia bangun sesuai dengan jam kerja, bila ada kerjaan yang menuntutnya harus masuk kantor pada pagi hari, maka ia bisa bangun pagi. Namun tak berlaku untuk hari libur. Ia bisa tidur sampai jam sembilan lalu bermalas-malasan di ranjangnya sambil membaca buku.

Ketika di hari libur itu ia bangun jam 5 pagi dan ikut membangunkan Benny yang sedang tak ada job make up, teman serumahnya itu mengomel dalam keadaan setengah sadar.

"Aku mau tidur," kata Benny dengan mata masih terpejam.

"Aku butuh bantuanmu. Aku ada janji penting."

Benny yang sedang terbaring lalu duduk tapi mata masih terpejam. "Ini libur, Beib!" Kemudian ia berbaring lagi.

"Please, aku butuh make up tipis. Aku mau lari pagi."

"Pergi ... aku butuh tidur."

Rissa tak juga menyerah, ia duduk di ranjang lalu menggoncang-goncang badan Benny. "Yoklah, bantu aku sekali, please. Nanti aku bilang baik-baik tentangmu sama klienku, semuanya."

Benny tetap memejamkan matanya. "Aku kurang tidur. Minta tolong sama Nora saja, sana." Rissa tetap saja mengguncang tubuh Benny sampai pria itu harus mengibas-ngibaskan tangannya untuk menjauhkan tangan yang mengganggu tidurnya.

"Kau tau Nora nggak sebaik dirimu. Beda level. Yoklah, Ben. Aku ada janji kencan. Masa aku lusuh begini," rayu Rissa. Dia tahu kalau Benny paling tak bisa melihat wajah lusuh dan kuyu. Sengaja ia memancing dengan kata yang bisa mentriger emosinya.

"Kencan? Sama kecoak? Dua tahun aku kenal kamu, nggak pernah kencan. Kau jomblo abadi," tukas Benny sadis. Tapi setidaknya kali ini ia duduk dan matanya terbuka.

"Kencan sama cowok, Ben. Masa aku nggak bisa dapat cowok baik kaya kamu?"

Benny malah menguap dan menunjukkan ekpresi bosan. Dia sudah terbiasa disebut paling baik, paling ganteng oleh kedua teman serumahnya hanya karena mereka butuh bantuannya dan dia dapat diandalkan, entah itu untuk tukar gas atau angkat galon minum.

"Apa yang kau lakukan?" pekik Rissa ketika Benny bangkit dari ranjang tanpa memakai baju. Dia baru sadar kalau pria itu tidur telanjang ketika selimutnya tersingkap. Lalu dengan ekspresi bosan dan masih mengantuk, Benny menjawab, "Lain kali jangan masuk kamar cowok sembarangan. Biarpun kita serumah, aku nggak mau dituntut tanggung jawab sama tante girang sepertimu."

"Kurang ajar!" Rissa meraih bantal, tapi sebelum bantal itu dilemparkannya kepada Benny, lelaki itu berteriak, "Stop! Kalau kau lakukan itu, aku nggak mau bantuin kamu make up. Biar saja kau berwajah lusuh dan tetap nggak laku-laku semala sisa hidupmu. Meskipun aku nggak percaya kau punya kencan pagi ini."

"Shup up!"

"Baju apa yang kau pakai? Itu? Yang kau pakai sekarang? Percayalah, Beib, nggak sampai lima menit cowokmu bakal minta putus."

Rissa melihat diri sendiri. Menurutnya tak yang salah dengan bajunya. Baju kaus biasa dengan logo salah satu brand olah raga dengan legging warna hitam.

"Di ruko depan kompleks kalo libur gini, banyak yang jalan pagi. Cewek-cewek cakep sepedaan dengan penampilan bak selebgram."

Rissa meringis dan berkata, "Apa hubungannya denganku?"

"Cowokmu bakal lebih suka melototi mereka daripada melihatmu," jawab Benny lagi-lagi dengan nada yang kejam. Rissa mulai meragukan pilihan pakaiannya. Otaknya mulai memetakan pakaian apa yang ada di lemarinya yang cocok dipakainya sekarang untuk menggantikan yang ada di badannya.

"Aku ganti baju dulu."

"Jangan kelamaan!"

Rissa baru saja hendak balik ke kamarnya, ketika telepon genggamnya berbunyi dengan suara Pamungkas menyanyikan bagian reff to the bone. Wanita itu memberi isyarat agar Benny diam.

"Adrian."

"Aku ada di depan rumahmu. Keluarlah."

"Sekarang? Kau sudah ada di depan?"

"Lihatlah dari jendela."

Rissa buru-buru menuju jendela kamar dan menyingkap tirainya. Benny mengikutinya karena rasa penasaran. Sosok tinggi Adrian berdiri di dekat lampu jalan kompleks, kepalanya mendongak melihat ke arah jendela lantai dua, seakan ia tahu kalau Rissa ada di jendela, tangan kirinya menggenggam telepon, sedangkan tangan kanan memberi isyarat pada Rissa agar segera turun.

"Waw! Ini ganteng, lho," komentar Benny dengan mata menyipit. Rissa menutup kembali tirai jendela membuat Benny merasa terganggu karena masih ingin menilai pria yang sedang menunggu di bawa sana.

"Apaan sih, Nenek Tua!"

"Gara-gara kau kebanyakan ngomong, aku nggak sempat dandan. Mati! Rambutku berantakan. Mana sempat ganti baju," pekik Rissa panik.

"Ada yang datang!" Dalam keadaan panik, Nora masuk ke dalam kamar Benny. Ia masih menguap ketika mengintip dari jendela. Seketika kantuknya hilang ketika melihat sosok lelaki di depan rumah.

"Oh ya, ampun! Cowok siapa itu pagi-pagi buta sudah nongkrong di depan rumah orang. Ganteng maksimal."

"Cowoknya Nenek Tua," jawab Benny seenaknya. Nora mendelik, menatap Rissa seakan tak percaya.

"Itu cowok yang kemarin kau temui? Orang yang dipasangkan denganmu dalam aplikasi jodoh?" tanya Nora. Rissa mengangguk.

"Aplikasi apa? Jodoh? Maksudmu apa?"

"Aku mau ganti baju. Kata Babang Benny, bajuku jelek," kata Rissa buru-buru ingin meninggalkan kamar Benny menuju kamarnya yang letaknya berseberangan, tapi Nora mencegahnya.

"Buat apa ganti baju? Bajumu nggak salah! Jangan biarkan Si Tampan itu berdiri menunggu terlalu lama," kata Nora cepat.

"Ajak masuk saja," usul Benny. Nora menggeleng. Dipegangnya kedua bahu temannya lalu i berbisik, "Nggak baik membiarkan cowok menunggu. Sana pergi! Percaya diri adalah penampilanmu, baju ini hanya luaran saja. Ayo!" Didorongnya Nora keluar dari pintu kamar supaya Benny tak lagi menyanggah ucapannya.

Rissa berjalan seperti robot menuju lantai satu rumah, membuka pintu dan disambut oleh si pemilik senyuman hangat itu.

"Hai!"

"Hai!" balas Rissa canggung. Pagi itu, Adrian mengenakan kaus Adidas putih dengan strip tiga garis yang khas dengan celana berwarna hitam yang mengingatkannya pada jersey bola kesayangan Benny.

"Kalau kalian berdua terus mematung di situ, kurasa patung di depan kompleks bisa ganti profesi," celetuk Benny dengan nada tak sabar. Rissa membalikkan badannya, menoleh pada Benny yang sedang pura-pura bosan di samping pintu. Di belakangnya berdiri Nora yang sedang menahan tawa.

"Yuk, jalan," ajak Adrian. Ia lalu berpaling kepada Benny dan berkata, "Aku parkir mobilku di depan, ya."

Benny menyeringai, "Boleh." Adrian sempat melirik Nora dengan ekor matanya seolah wanita itu mengingatkannya pada suatu hal. Namun hal itu masuk akal bagi Rissa karena teman wanitanya itu adalah MC dan penyanyi di kota itu dan sering berbagai acara mengisi acara.

Sebelum mulai jalan, Rissa melihat Adrian menyetel jam tangannya, ia tahu kalau orang yang rutin berolah-raga sering menggunakan smart band seperti yang dipakai pria itu untuk menghitung langkah kaki. Dirinya yang bukan pemuja olah raga sama sekali tidak mengerti untuk apa langkah dihitung.

"Kau tinggal di kompleks ini, sering jalan pagi?" tanya Adrian. Rissa menggeleng. "Aku jarang bangun pagi. Maaf," jawab Rissa pelan. Ia ingin jujur, jika ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, daripada Adrian akan merasa dibohongi.

"Aku kadang ke sini, diajak temanku lari di sini. Seandainya kau jalan pagi, aku rasa kita tak memerlukan aplikasi jodoh," kata Adrian. Rissa tertawa, membayangkan keduanya bertemu di depan kompleks ruko, kemungkinan mereka berpapasan ketika membeli kopi, lalu kopi yang dipesan olehnya tertukar dengan kopi pesanan Adrian.

"Aku akan menghapus aplikasi itu, Rissa. Dengan begitu aku hanya fokus denganmu," kata Adrian. Langkah kakinya lebar, karena kakinya yang panjang, Rissa terpaksa harus berjalan agak cepat supaya bisa berjalan di sampingnya.

"Jalanku terlalu cepat, ya?" tanya Adrian. Ia menyadari kalau wanita di sampingnya sekarang mulai berlari-lari kecil. Rissa menyeringai ditanya olehnya.

"Bilang kalau aku terlalu cepat. Kebiasaan seorang jombloer," canda lelaki itu. Rissa tertawa, sekarang ia mulai mengerti bagaimana cara aplikasi jodoh itu bekerja, Madam pasti mempertemukan dua orang yang setipe, sama-sama kaku dan canggung, bahkan canda garing juga dianggap lucu.

"Sudah berapa lama kau menyandang status jomblo?"

Adrian berpikir sedetik, lalu menjawab pada detik kedua. "Cukup lama. Sampai aku lupa bagian menyenangkan waktu pacaran adalah melihat teman wanitamu tertawa dengan candaanmu."

Rissa takjub, karena pria itu memiliki pemikiran yang sama dengannya. Hatinya berdegup tak karuan memandangi pria yang sedang berjalan di sampingnya. "Aku sebenarnya tak pernah berharap terlalu tinggi ketika mendaftar pada aplikasi itu."

Adrian menoleh, Rissa berhenti melangkah. Keduanya berhadap-hadapan dan satu hal yang disadari wanita itu kalau ia terlalu pendek dibandingkan Adrian.

"Ya, Ris. Kau mestinya lebih berharap," katanya lirih. Rissa memandang wajah Adrian dengan mata berkilat-kilat.

"Kalau kau terus memandangiku dengan tatapan mengagumi, Ris, aku yakin sekali tak sampai tiga bulan kau sudah jatuh cinta padaku."

"Iya, mungkin saja," jawab Rissa tenang padahal hatinya hampir saja copot.

Jalan selama tiga puluh menit, Adrian kemudian bertanya pada Rissa, "Mau coba lari sepuluh menit?"

Rissa menyanggupinya sebab ia kuatir Adrian akan bosan jika hanya berjalan terus sementara mereka sudah kehilangan arah obrolan. Jangan sampai perkiraan Benny kalau lelaki itu akan melirik selebgram lain terjadi.

Sepuluh detik pertama, ia lari dengan seluruh tenaganya, karena beranggapan kalau lari itu aktivitas yang gampang. Detik kesebelas sampai duapuluh, ia mulai kelelahan dan detik berikutnya kehilangan nafas, diliriknya Adrian yang masih segar-bugar. Pria itu berkata, "Atur napas, Ris. Kalau mau lari jarak jauh, kau tak perlu menggunakan semua kekuatanmu. Lari saja pelan, atur detak jantungnya sampai di zona aman."

Rissa masih mengatur nafasnya. Dia tak sanggup lagi dan berhenti dengan kedua tangan berada di pinggang. Adrian lari-lari di tempat. "Kata orang, jantung akan berdetak lebih cepat kalau berada di dekat orang yang kau sukai."

Rissa mengibaskan tangannya, ingin tertawa tapi terlalu sesak. "Ako... tak ... mau lari lagi."

"Kapok?"

Ingin mengangguk tapi malu, jadi pertanyaan Adrian dibiarkan saja tanpa dijawab.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk menghabiskan waktu bersama selayaknya orang pacaran?" tanya Adrian. Ia tak lagi lari-lari di tempat, tapi berhenti total.

"Benny memakai ruang tamu kami untuk nonton berdua dengan pacarnya. Nora travelling berdua menikmati kuliner di kota lain," jawab Rissa.

"Mari kita lakukan."

Travelling berdua dengan Adrian, mimpi pun Rissa tak pernah. Tapi ia ingin melakukannya, pasti menyenangkan pergi menikmati kuliner. Selama ini ia telah bekerja keras mengumpulkan uang untuk travelling, tapi tak pernah dilakukan. Alasannya ia tak memiliki teman untuk jalan, Nora sendiri lebih sering pergi dengan pacarnya. Kalau dipikir-pikir, untuk apa uang yang tersimpan dalam rekeningnya selama ini. Mamanya tak pernah mau menerima bila diberi hadiah uang, adiknya juga punya karir yang bagus. Jadi selama ini ia hanya menumpuk hasil keringatnya di bank.

"Baik, sesekali kita pergi," kata Rissa menyanggupi. Adrian meraih tangannya, menggenggamnya, lalu mereka kembali berjalan santai.

"Kalau ada saatnya aku berjalan terlalu cepat dan meninggalkanmu, Ris, kau tak perlu berlari mengejarku. Kau hanya perlu memanggilku dan mengingatkanku. Bisa?"

"Ya."

Saat melewati sebuah rumah bercat putih yang sudah selesai dibangun, langkah Rissa terhenti, ia mengagumi arsitektur depan rumah itu, tampak seperti bangunan bergaya klasik dengan taman mungil berbukit di depannya dan kolam ikan kecil, meskipun kolamnya masih belum terisi ikan.

"Kenapa?" tanya Adrian.

"Aku suka arsitektur rumahnya," jawab Rissa.

"Oh, aku yang bangun. Kau sudah tahu 'kan, aku tukang bangunan? Ada kolam ikan di bagian belakang. Sayang aku tinggalkan kuncinya di kantor, kalau tidak aku bisa bawa kau masuk untuk melihat-lihat."

Rissa melepaskan tangannya dari genggaman Adrian lalu berjalan mendekati rumah itu. Kepalanya melongok melalui jendela. Adrian segera menyusulnya.

"Aku penasaran."

"Penasaran rumahnya atau karena tahu aku arsiteknya?"

"Kedua-duanya," jawab Rissa, tetap saja sibuk melongokkan kepalanya untuk mengintip isi rumah. Perabotnya belum ada tapi dia tak dapat melihat kolam ikan yang dikatakan Adrian.

"Pemiliknya bilang nanti rumah ini akan dihadiahkan putrinya. Dia sengaja tak mengatakan apa-apa soal rumah ini pada anaknya," kata Adrian.

"Hadiah kejutan untuk putrinya."

"Hm ..."

"Dia pasti putri kesayangan," ujar Rissa. Dalam hati mengakui kalau dirinya iri, papanya tak pernah punya perhatian kepadanya. Yang papanya pikirkan hanya anak-anak dari istrinya yang sekarang. Bahkan Rissa pernah meminta kehadirannya sewaktu wisuda, tapi ia hanya merasakan kekecewaan.

"Lain kali aku ke sini, aku bawa kuncinya, supaya kau bisa lihat-lihat isi rumahnya," janji Adrian. Rissa tersenyum tipis. "Ah, nggak perlu. Aku cuma sekedar mengaguminya. Apalagi sekarang aku tahu kalau desainernya adalah Adrian Wicaksono."

"Kalau dalam tiga bulan kau menerima lamaranku, kau bisa menempati rumah yang mirip ini." Janji Adrian ini malah membuat Rissa terbahak. "Aku tergiur. Sekarang lamarannya naik kelas bertambah satu rumah. Kelihatan matre, ya."

"Tidak juga," kata Adrian sambil menggeleng. "Itu realistis. Memang mau diajak tinggal di mana istriku kalau tidak ditawari rumah?"

"Sebentar ..." kata Rissa begitu mendengar telepon genggamnya berbunyi. Dirogohnya saku di sekitaran paha karena legging yang dikenakannya memiliki saku khusus untuk menyimpan barang seperti kunci atau telepon genggam. Tertera nama Mama di layar.

"Hai, Ma."

"Aku ada di kosmu. Kata Nora kau sedang jalan pagi. Sejak kapan anak Mama jadi suka bangun pagi?" Suara Mama yang bernada lembut terdengar di telepon. Mamanya tetap saja mengatakan rumah yang disewa pertahun bersama dua orang sahabatnya itu sebagi rumah kos.

"Mama kenapa nggak bilang mau datang? Aku kan bisa menunggu Mama."

"Kalau sudah selesai jalan pagi, ayo balik. Mama bawa sarapan, nih."

"Oh ok, Ma."

"Pacarnya sekalian dibawa."

"Ma ..."

Telepon sudah diputus oleh Raras, mamanya Rissa sehingga terdengar bunyi tut tut berkepanjangan.

"Ada apa?" tanya Adrian ketika melihat Rissa masih bengong menatapi layar telepon genggam. Wanita itu bingung bagaimana menyampaikannya kepada Adrian kalau mamanya ingin bertemu.

"Mamaku datang. Dia menunggu di rumah, tapi ... dia menyuruhku mengajakmu," jawab Rissa. Adrian mengangguk lalu berkata, "Kalau begitu, ayo kita kembali. Aku juga ingin bertemu dengan keluargamu."

Rissa mengerjap-ngerjapkan matanya, tak menyangka kalau Adrian segampang itu menyanggupi. Bertemu dengan mamanya pada pertemuan kedua bukan hal yang sering terjadi pada setiap hubungan. Tapi hubungan mereka juga bukanlah hubungan yang umum. Dua orang asing yang bertemu dalam sebuah aplikasi jodoh lalu memutuskan pacaran dalam waktu tiga bulan bukan juga peristiwa yang lazim. Mamanya pasti akan syok kalau tahu begitulah cara mereka berkenalan.

Benang Merah Jodoh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top