Prolog

"Ci, itu apa?" Mei Ling menggoyangkan lengan kakak perempuannya, Ai, yang sedang memakai make up.

"Apa?" Ai menolehkan kepalanya lalu memperhatikan adiknya yang masih berumur lima tahun. Mei menunjuk ke arah kedua orang tua mereka yang kini tengah bercengkrama di ruang keluarga.

"Yang merah-merah itu." Mei lagi-lagi menunjuk ke arah kedua orang tua mereka.

"Yang mana?" Ai mengkerutkan keningnya tidak mengerti.

"Yang melilit di jari kelingking Papa sama Mama."

"Cici nggak ngerti." Ai lalu melihat ke arah neneknya yang sedang menjahit di sudut ruangan, ia lalu memutar badan adiknya dan mendorongnya pelan mendekati neneknya. "Coba tanya ke Popo. Cici buru-buru, mau pergi sama teman."

Mei Ling menghela nafas panjang melihat kakaknya yang kini sudah beranjak remaja lebih memilih menghabiskan waktunya bersama teman-temannya dibanding bermain bersamanya. Mei lalu berjalan mendekati neneknya, Lauren. Tidak seperti Mei Ling dan Ai yang diberi nama Tionghoa, neneknya memiliki nama yang kebarat-baratan akibat lahir di jaman penjajahan Belanda dulu. "Popo, itu apa sih yang melilit di tangan Mama sama Papa?"

Perkataan Mei Ling membuat Lauren menghentikan kegiatan menjahitnya. "Kamu bisa lihat benang yang ada di jari kelingking Mama sama Papa?"

"Iya, Po." Mei mengangguk semangat. Akhirnya ada juga orang yang mengerti apa yang berusaha ia katakan.

"Itu namanya benang merah." Lauren berbisik pelan di telinga Mei.

"Benang merah?" Mei menatap Lauren tidak mengerti.

"Iya." Lauren lalu mengambil seutas benang merah dari kotak jahitnya lalu melilitkannya di jari kelingking Mei. "Ini benang jodoh. Benang ini menghubungkan jodoh setiap manusia, sejauh manapun ia berada."

"Oh! Karena itu Mama sama Papa pakai benang yah? Karena mereka berjodoh?"

"Iya." Lauren mengangguk kemudian berbisik lagi. "Kamu bisa lihat benang di tangan Cici kamu?"

Mei Ling menyipitkan matanya lalu menyadari benang merah yang melilit di jari kelilingking kakaknya. Sepertinya Ai tidak menyadari kalau ia juga mengenakan benang merah. "Iya, tapi kok benangnya Cici panjang sekali?"

"Itu karena jodohnya Cici mu masih jauh." Lauren berbisik lagi.

Mei Ling lalu mengambil tangan Lauren dan memeriksa tangan keriput neneknya itu. "Popo juga punya benang merah! Tapi kok benangnya putus?"

"Itu karena Akong sudah tidak ada lagi di dunia ini." Mata Lauren berkaca-kaca begitu teringat suaminya juga sisa benang merah yang melilit di jari kelingkingnya.

Mei kemudian memeriksa tangannya lalu mendesah kecewa melihat satu-satunya benang yang melilit di jarinya hanyalah benang yang neneknya berikan kepadanya. Bukan benang istimewa yang bercahaya seperti milik kedua orang tuanya atau benang panjang seperti milik kakaknya. "Benang merah Mei mana?"

"Kamu tidak bisa melihat benang merahmu sendiri, Mei. Itu satu-satunya kekurangan orang yang bisa melihat benang merah." Lauren tersenyum kepada cucunya itu. Usia Mei Ling baru lima tahun, tapi ia jelas gadis yang pintar.

"Jadi Mei nggak bakalan punya jodoh?" Mei Ling merajuk kesal. Sebenarnya dia tidak tau jodoh itu apa, tapi pasti punya jodoh itu menyenangkan seperti mama dan papa misalnya.

"Kamu harus menunggunya datang kepadamu." Lauren tertawa kecil melihat wajah Mei yang semakin cemberut. "Suatu hari Mei juga bakal punya kok."

Sejak saat itu, Mei Ling menunggu jodohnya datang dengan sabar.

***

Dictionary

Cici atau Cece artinya kakak perempuan.

Popo artinya nenek perempuan dari pihak ibu.

Akong artinya kakek dari pihak ibu.

MEI artinya permata merah sedangkan LING artinya pintar atau cerdas. Jadi arti nama Mei Ling yang sebenarnya adalah permata merah yang cerdas.

AI artinya mencintai. Jadi arti nama Ai yang sebenarnya adalah cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top