4. Kuning

Jerawat. Sebuah jerawat merah besar nemplok di hidung pesek Mei Ling. "Huaaaaa!" Mei Ling berteriak nyaring.

Mama berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Mei, sebuah sudip masih berada di tangannya. "Kenapa Mei? Pagi-pagi kok ribut?"

Ai yang menyadari kehebohan yang dilakukan adiknya hanya berjalan sambil lalu. "Jerawat, ma. Mei jerawatan sekarang karena jarang cuci muka."

"Ini gara-gara Cici suka cubitin hidung aku, ma." Mei mengeluh kesal. Jerawat merah nan besar yang nangkring di hidungnya tidak akan mudah di hilangkan. Mei meringis pelan, tidak mungkin ia menusuk jerawatnya, nanti yang ada jerawatnya semakin membesar dan iritasi. "Ma, gimana nih?"

Mama hanya menggoyangkan sudipnya lalu kembali ke dapur. "Tanya Cici mu sana, Mei."

"Ci," Mei menatap Ai yang hanya menyunggingkan senyum geli. "Tolongin Mei dong Ci."

"Biarin aja. Jangan di apa-apain, nanti iritasi." Mei mendengus kesal. Kalau itu dia juga tau. "Kenapa memangnya?" Ai menyipitkan matanya melihat tingkah Mei yang mencurigakan.

Mei melihat jaket Kak Rian yang sudah di cuci dan terlipat rapi diatas kasurnya. Apa Kak Rian bakal ilfeel yah melihat jerawat yang nangkring di hidung Mei? "Ci,"

"Udahlah. Nggak bakal ada yang perhatiin kok."

***

Mei berjalan melewati koridor sekolah dengan buku yang menutupi hidungnya. Menggelikan memang karena selama Porseni berlangsung kegiatan belajar mengajar di tiadakan, diganti oleh kegiatan Porseni. Tapi mau tak mau Mei harus menyembunyikan jerawat yang nangkring di hidungnya.

Pagi-pagi kelas sepuluh enam sudah ramai, sebuah film sudah terputar di proyektor. Mei segera melesat cepat menuju tempat duduknya sebelum ada yang menyadari tingkah anehnya.

"Meimei!" Duo tengil menyebalkan Arenza dan Dedi menyapanya begitu pantatnya menyentuh bangku. "Apaan tuh di hidung lo? Bisul?"

"Jerawat, tuyul!" Mei mendelik kesal. Percuma ia menutupi hidungnya menggunakan buku. Siapa yang bilang nggak bakal ada yang memperhatikan jerawat besar di hidung Mei Ling? Belum sampai semenit Mei Ling duduk di kursinya sudah ada duo tengil yang menganggu jerawat yang baru muncul di ujung hidungnya.

"Porseni sebentar lagi berakhir." Arenza duduk di kursi sebelah Mei sambil menghela nafas panjang mengabaikan tatapan sinis nan dramatis milik Mei.

"Bu Inge..." Dedi duduk di sebelah kiri Mei, meratapi nasib buruk yang berada di depan matanya. Salah sendiri menghina guru di depan umum! Mei merutuk di dalam hati.

"Minggir! Kursi gue!" Putri yang baru saja tiba mendorong ujung kursi yang Arenza tempati dengan kakinya, membuat Arenza segera berdiri dan mempersilahkan Putri duduk di kursinya.

"Silahkan Kanjeng Putri." Arenza nyengir lebar lalu menarik Dedi yang menjauh dari dua perempuan yang mungkin lagi PMS.

"Tumben nggak ikut bareng panitia Porseni yang lain Put." Mei berusaha keras untuk tidak menggosok hidungnya. Jerawat... Jerawat... Ulangnya di dalam hati.

"Gue nyerah, Meimei!" Putri mendesah keras lalu menelungkupkan wajahnya di atas meja. "Gue nggak mau jadi panitia Porseni lagi! Hewan di kebun binatang aja lebih gampang di urus dibanding teman kelas kita, Mei!"

"Emangnya lo pernah ngurusin hewan di kebun binatang, Put?"

Putri baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika ketua kelas sepuluh enam, Putu, berteriak nyaring dari depan pintu. "Putri! Lo jangan lari dari tanggung jawab dong Put! Di cariin Kak Taufan baru tau rasa!" Kak Taufan merupakan koordinator acara Porseni yang terkenal galak bukan main, apalagi untuk hal yang berhubungan dengan kegiatan yang ia bawahi.

"Iya iya, bentar!" Putri menghela nafas panjang. "Meimei..." Putri mencebik kesal sementara Mei hanya bisa memberikan tatapan simpatik.

"Porseni hari terakhir Put! Semangat!" Mei memberikan dua jempol kepada Putri. Putri berlalu dari hadapan Mei dengan wajah tertunduk lesu.

Mei menatap jaket Kak Rian yang terlipat rapi di dalam tasnya. Kapan yah Kak Rian datang mengambil jaketnya? Mei kembali teringat tindakan heroik nan gentleman Kak Rian kemarin ketika resleting roknya rusak.

"Adik-adik sepuluh enam, yang ingin mengikuti kegiatan BOS bisa datang mendaftar sekarang yah. Acaranya terbuka untuk umum." Baru saja Mei memikirkan kakak kelasnya itu ketika Kak Rian bersama anggota organisasi BTS datang memberikan pengumuman di depan kelas.

Mei baru tau kalau ternyata Kak Rian juga merupakan anggota BTS. BTS bukan singkatan dari Bangtan Boys, boy band asal Korea. BTS singkatan dari Bike To School. Sebuah organisasi yang dimana anggotanya lebih suka naik sepeda kemana-mana. Mei yang notabene nggak bisa naik sepeda hanya memperhatikan Kak Rian yang berdiri ganteng disebelah Kak Imran, ketua BTS.

Ganteng banget mak, Mei berseru di dalam hati melihat Kak Rian. Sudah ganteng, baik hati dan tidak sombong pula.

"Mei," Mei ternganga ketika melihat Kak Rian yang sudah berdiri di hadapannya, tersenyum ala iklan Pepsodent. "Mei?" Kak Rian melambaikan tangannya di hadapan Mei.

"Eh, iya kak." Mei menggelengkan kepalanya sekilas, ia terlalu sibuk melamun dan menganga di hadapan Kak Rian sampai sang kakak kelas sendiri menatap Mei bingung. Mudah-mudahan Kak Rian nggak ilfeel ketika melihat Mei yang macam orang udik di hadapan Kak Rian.

"Jaket gue?"

Mei membelalakkan matanya yang sipit. Ia segera membuka tasnya dan mengeluarkan semua buku-buku juga jaket Kak Rian yang kini kusut akibat ulahnya. "Ini kak, udah di cuci dan di setrika."

"Udah di kasih pelembut dan pengharum juga nggak?"

"Hah?" Mei lagi-lagi ternganga melihat Kak Rian yang hanya mengulum senyum.

"Bercanda kok, Mei. Makasih yah." Kak Rian mengambil jaketnya yang berada di tangan Mei.

"Eh, aku yang harusnya makasih kak."

"Mei, lo mau ikut kegiatan BOS juga nggak?" Mei yang daritadi hanya melamun dan tidak mendengarkan penjelasan kegiatan BTS hanya bisa menggeleng kaku karena tidak mengerti. "Nggak papa kok, Mei. Kegiatannya BTS yang ini terbuka untuk umum, bukan cuma anggota club doang. Lo datang yah, nggak perlu bayar biaya registrasinya. Nanti gue yang kasih tau ke Imran." Mei masih terpaku mendengarkan kata-kata Kak Rian yang berujar cepat.

"Eh, iya deh kak." Mungkin ini kesempatan Mei untuk lebih dekat lagi dengan Kak Rian.

"Oke Mei. Gue tunggu kedatangan lo yah!" Kak Rian baru saja hendak berbalik ketika ia tiba-tiba menatap Mei penasaran."Hidung lo kenapa Mei? Perasaan kemarin nggak ada."

Sial! Mei merutuk di dalam hati ketika Kak Rian menyadari jerawat besar yang terbentuk di wajahnya. Sial sial sial.

"Lu kenapa Mei?" Arenza menatap Mei yang masih terpaku di kursinya meskipun Kak Rian sudah lama pergi dan berlalu.

"Eh, lo dengerin kegiatan BOS tadi nggak?"

"Bicycle On Street maksud lo?" Arenza melihat raut wajah panik Mei. "Kenapa emang? Lo mau ikutan? Acaranya hari Minggu pas car free day."

"Gue nggak bisa naik sepeda masalahnya, Za."

"Yaudah, gampang. Bilang aja ke Kak Rian lo nggak bisa."

"Ya nggak boleh gitu dong, Za. Gue kan udah janji ke dia bakal datang." Arenza menggaruk tengkuknya tidak mengerti dengan jalan pikiran Mei. Perempuan memang makhluk yang paling ribet! Arenza hanya mengangkat bahunya acuk tak acuh, enggan di jadikan samsak oleh Mei. "Za! Arenza! Lu mau kemana?" Mei berteriak nyaring. Tuhkan benar! Perempuan memang makhluk yang paling ribet! Baru tadi pagi Mei mengusirnya, belum sampai tengah hari Mei kini memanggilnya bahkan terkesan tidak ingin Arenza pergi. Arenza menghela nafas panjang, untung dirinya jomblo jadi tidak perlu menghadapi perempuan-perempuan di ambang batas PMS seperti Mei.

***

Mei Ling menatap sepeda butut milik Ai yang selama ini masih setia terparkir di garasi rumahnya. Sepeda butut itu satu-satunya sepeda yang ada di rumah Mei. Sudah lama Ai tidak memakai sepedanya, sudah lama juga Papa tidak merawat sepeda itu. Ban nya yang kempes dan bocor harusnya sudah lama diganti.

"Meimei ngapain?" Mei melihat ayahnya yang sedang duduk santai di pekarangan rumah sembari meminum segelas teh yang di suguhkan ibunya.

"Mei mau belajar naik sepeda, Pa."

"Loh, kenapa? Bukannya Mei takut yah naik sepeda?" Mei takut naik sepeda gara-gara ia pernah di kejar anjing saat belajar naik sepeda dulu. Hingga kini ada masih ada dua hal yang Mei Ling belum bisa lakukan. Pertama, naik sepeda dan yang kedua tentu saja berdekatan dengan anjing.

"Mei ada acara BOS pas Minggu nanti, Pa."

"BOS apa?"

"Bicycle on Street, Pa. Keliling naik sepeda pas car free day." Mei menjelaskan panjang lebar.

"Ohh... Yaudah, nanti Papa perbaikin sepedanya. Kamu bisa minta di ajari naik sepeda sama Cici mu."

"Oke, makasih Pa!" Mei berseru girang sembari membayangkan pertemuannya dengan Kak Rian hari Minggu nanti.

***

Mei menarik nafas panjang mendorong sepeda butut punya Cicinya, setelah sepanjang hari belajar naik sepeda bersama Ai, akhirnya Mei berhasil menaklukkan sepeda itu. Mei sanggup mengendarai sepeda itu di jalan yang lurus, Mei masih harus belajar banyak kalau ia hendak berbelok. Entah kenapa tiap kali Mei berusaha berbelok, setir sepedanya selalu cenderung ke arah kiri. Kalau hendak belok kanan, mau tak mau Mei Ling harus turun dan menuntun sepedanya.

"Mei!" Mei melebarkan senyumnya ketika melihat Kak Rian yang melambai ke arahnya. "Akhirnya lo datang juga!"

"Iya kak." Mei menunduk malu karena di perhatikan kakak kelasnya yang populer. Sekarang Mei mengerti kenapa banyak teman seangkatannya yang menyukai Kak Rian. Kak Rian baik sih, pintar terus ganteng juga.

"Oke. Nanti Imran yang mimpin, lo ikut bareng sama anggota yang lain aja."

"Oke!" Mei mengangguk penuh semangat, ia lalu menuntun sepedanya ke arah teman-teman seangkatannya.

"Meimei!" Ratna dan Dedi menyapanya dari ujung jalan. "Lo ikut BOS juga?!"

"Iya, Kak Rian yang ngajakin!" Sahut Mei bangga.

"Gila! Kak Rian? Lo deket yah sama dia?" Ratna berbisik penuh curiga kepada Mei.

"Nggak kok. Kenal doang, gue tau dia pas dia nolongin gue. Dia pinjamin jaketnya dia ke gue pas Porseni." Tak perlu lah Mei menceritakan seperti detail kejadian memalukan yang menyebabkan Kak Rian jadi mengenalnya. Biarkan saja Ratna berandai-andai bagaimana jaket Kak Rian berakhir di tangannya.

"Pantesan gue ngeliat lu ngembaliin jaketnya dia kemaren! Cieee." Ratna menyikut rusuk Mei.

"Udah mau di mulai nih!" Tiba-tiba Arenza muncul di antara keduanya, membuat dua cewek yang tengah bergosip itu kaget.

"Lo ikut juga, Za?" Mei bertanya kaget melihat Arenza yang sudah siap dengan sepedanya.

"Iyalah, Meimei. Gue kan anggota BTS."

"Bangtan Boys, anggota boy band." Bisik Ratna penuh konspirasi ke arah Mei, membuat keduanya terkikik geli.

***

Berulang kali Mei Ling terpaksa turun dari sepedanya dan menuntunnya berjalan di tepi trotoar. Mei Ling jadi tidak bisa PDKT dengan Kak Rian karena kakak kelasnya itu sudah berada di barisan terdepan bersama anggota BTS lainnya sementara Mei Ling berada di urutan paling belakang di ikuti Ratna, Dedi, dan Arenza yang dengan setia menemaninya.

"Ayah capek?" Ratna melap peluh yang menetes membasahi dahi Dedi dengan tissue.

"Bundaaa." Dedi merengek manja, Mei Ling mendengus keras.

"Kenapa yah?"

"Haus, bun." Ratna segera mengeluarkan sebotol air mineral dari tas selempang yang ia kenakan lalu memberikannya kepada Dedi.

"Gue duluan yah." Mei baru saja hendak mengambil ancang-ancang dan bersiap mengayuh sepedanya ketika rantai besi sepedanya putus, menyebabkan Mei jatuh terjembab di atas aspal. "Aduh!"

"Mei!" Ratna, Dedi juga Arenza segera menghampiri Mei dan membantunya berdiri. "Lo nggak papa?"

"Sepeda gue." Mei menatap sepeda bututnya miris.

"Kaki lo luka." Arenza menunjuk ke arah lutut Mei yang tergores aspal.

"Tenang, gue bawa plester kok." Ratna segera mengambil botol air mineral juga tissue yang berada di tangan Dedi. Setelah membersihkan debu juga pasir yang menempel di lutut Mei, Ratna menempelkan plester yang ia bawa.

"Makasih Rat."

"Sip. Hati-hati Mei." Ratna menepuk tangannya puas lalu berdiri. Kini keempatnya menatap sepeda Mei dengan tatapan simpatik. "Udah saatnya sepeda lo di museumkan, Mei."

"Bener." Dedi menyahut mengiyakan.

"Iya." Arenza menganggukan kepalanya kalem, setuju dengan pendapat pasangan aneh bin ajaib itu. "Lo nggak bisa naikin sepeda lo lagi."

"Jadi gue harus gimana?" Mei menatap ketiganya dengan tatapan paling miris nan kasihan yang ia miliki.

"Dorong aja lah, Mei. Bentar lagi udah sampai finish kok." Tak ada cara lain, mengikuti saran Arenza kini keempatnya berjalan pelan sembari menuntun sepeda masing-masing.

***

Luka di lutut Mei terasa sakit dan berdenyut nyeri. Setengah terpincang, Mei berusaha berjalan menuntun sepedanya ke garis finish. Arenza, Dedi dan Ratna dengan baik hati bersedia mengikuti Mei yang bahkan lebih lambat dari keong.

"Bun, lagi. Aaaa." Dedi membuka mulutnya, menerima suapan dari Ratna.

"Tuh! Garis finish udah di depan sana!" Arenza menunjuk ke arah sekumpulan orang yang berada di depan garis finish, sebuah bazaar makanan juga tersedia di ujung sana. "Dikit lagi Mei."

"Dikit lagi! Dikit lagi!" Mei tersenyum kecil membayangkan Kak Rian yang mungkin tengah menunggunya di ujung sana.

"Mei!" Mei Ling tersenyum lebar melihat Kak Rian yang berdiri disana terlihat khawatir. "Kaki lo kenapa Mei?"

"Jatuh kak." Mei berusaha tersenyum, hatinya berbunga-bunga ketika Kak Rian mengkhawatirkannya.

"Bentar, gue bisa panggil medis kesini."

"Eh, nggak perlu kak!" Mei Ling menghentikan langkah kaki Kak Rian, jantungnya berdetak kencang melihat kedekatan mereka.

"Meimei!"

"Putri?" Mei Ling bertanya heran melihat Putri yang rupanya sedari tadi berbicara bersama Ratna, Dedi dan Arenza ketika ia sibuk dengan Kak Rian. "Lo ngapain disini?"

"Gue ikut bazaar makanan." Putri tersenyum lebar, perlahan senyumnya memudar melihat lutut Mei yang terluka. "Lo nggak papa Mei?"

"Gue nggak papa. Oh ya, Put kenalin ini Kak Rian. Kak Rian... Ini..." Kata-kata Mei terputus ketika melihat benang merah. Benang penanda sang jodoh yang bersinar terang. Hati Mei Ling yang tadinya berbunga-bunga langsung remuk redam melihat benang merah yang tersambung di jari Kak Rian dan Putri. Putri, sahabatnya sendiri. Untuk pertama kalinya Mei Ling merasakan patah hati. Untuk pertama kalinya juga, Mei Ling merasakan bencana bisa melihat benang merah, benang penanda sang jodoh. Diantara sekian juta manusia di bumi ini, kenapa Kak Rian harus berjodoh dengan sahabatnya sendiri sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top