2. Jingga
Seperti sekolah lainnya, sekolah Mei Ling juga punya tradisi setelah ujian mid semester berakhir mereka akan mengadakan acara PORSENI singkatan dari pentas olah raga dan seni selama seminggu. Sebagian kelas memang antusias mengikuti porseni tapi untuk Clasix yang notabene di penuhi anak-anak malas tidak gemar olahraga maupun seni, mereka membuat acara mereka sendiri dengan nonton bersama di kelas menggunakan proyektor yang biasanya hanya digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, tidur, atau bahkan bermain Clash of Clans di ujung kelas.
Kali ini kelas Mei Ling terbagi dua. Sebagian menonton Fast and Furious di proyektor kelas, setengahnya lagi yang isinya sebagian besar perempuan penggemar Korea, menonton drama terbaru atau music video yang di putar lewat laptop yang di bawa Ida. Mei Ling termasuk golongan kedua kalau kalian penasaran. Mei Ling ikut menonton drama korea bersubtitle bahasa Indonesia dengan khusuk sembari berseru heboh siapa yang lebih ganteng tentu saja.
"Gantengan Lee Min Ho!"
"Nggak, gantengan si Kim Woo Bin tau. Duh, cowok-cowok badboy kayak gitu mah yang gue cari."
Tiba-tiba Dedi muncul dari belakang dan mengagetkan mereka semua. "Gantengan gue."
"Nggak ada yang nanya lo kali, tuyul." Ida berseru kesal ketika kedua aktor papan atas Korea kesayangannya di bandingkan dengan Dedi si tuyul dekil.
"KELAS SEPULUH ENAM! Lomba baca puisi di bawah pohon mangga sekarang!" Putri berseru dari depan pintu, wajahnya terlihat kesal ketika mengamati teman kelasnya satu persatu. Setiap porseni, tiap kelas memang mewajibkan menyumbangkan dua orang anggota kelasnya sebagai panitia porseni. Putu dan Putri yang merupakan pasangan ketua kelas dan sekretaris mau tak mau harus rela di tumbalkan oleh teman-teman mereka yang tidak berpriketemanan.
Teman kelas mereka saling tatap menatap, wajah bingung bercampur tidak peduli begitu terlihat di raut wajah mereka. Sebagian kesal karena acara menonton mereka terpaksa harus di pause ketika mendengar pengumuman Putri. "Elu aja deh Ded," Sahut Ida asal-asalan.
"Oke." Dedi merapikan kemejanya lalu dengan gagah berani berjalan keluar mengikuti Putri yang masih menunggu kesal di depan pintu. Teman-teman kelasnya yang lain menatapnya dengan mulut menganga dan mata terbelalak kaget. Ini Dedi Saputra, jangan-jangan dia merupakan titisan Nicholas Saputra mengingat keduanya memiliki nama belakang yang sama. Apakah Dedi akan membawakan puisi seperti Rangga di Ada Apa Dengan Cinta? Mendengar nada percaya diri Dedi, bahkan ketika cowok itu tidak mempersiapkan sebuah puisi atau membawa selembar kertas apapun membuat anak-anak Clasix segera menghentikan segala kegiatan mereka dan mengikuti Dedi yang kini sudah berdiri penuh percaya diri di bawah pohon mangga.
"Dedi bisa baca puisi, Rat?" Mei Ling bertanya kepada Ratna yang menatap Dedi penuh takjub dan kagum. Akhirnya Ratna bisa mendapatkan Rangganya sendiri, walaupun dalam versi KW super berwujud tuyul dekil bernama Dedi Saputra.
"Nggak tau." Ratna menjawab lirih, mungkin rasa penyesalan tengah menggelayuti hatinya mengingat kemarin ia baru saja memutuskan Dedi.
"Siapa perwakilannya DETTOL?"
"Yudi." Putri menjawab singkat. DETTOL memang merupakan nama aneh yang tidak ada nyambung-nyambungnya sama sekali dengan kelas sepuluh lima, tapi bagi anak sepuluh lima DETTOL merupakan nama jenius yang diberikan oleh ketua kelas mereka, cowok nyentrik yang lebih sering membolos. DETTOL merupakan singkatan untuk dekat toilet. Ya, dekat toilet. Karena kelas mereka memang hanya di pisahkan oleh toilet.
"Dedi Saputra perwakilan dari Clasix akan membawakan puisi berjudul Guru." Dedi nyengir lebar ketika melihat lawannya yang sebelumnya dari kelas sepuluh lima alias DETTOL turun dari atas panggung dan mempersilahkan Dedi naik ke atas panggung. Tiap tahun tema puisi mereka memang rata-rata nyaris sama dan itu-itu saja, tema puisi tahun ini guru, tahun lalu ayah, tahun sebelumnya ibu, dan kemudian kembali mengulang begitu seterusnya, mungkin hingga sekolah mereka nyaris roboh dan diganti oleh kepala sekolah yang baru.
"Guruku!" Suara Dedi berkoar keras, mic yang berada di hadapan Dedi berdenging nyaring. Dedi berdehem singkat sebelum melanjutkan. Wajah Ratna memerah penuh antusias, jantung Mei Ling berdentum keras menunggu kata-kata Dedi berikutnya, Putri terlihat acuh tak acuh, teman-teman kelas mereka yang lain berkerumun di depan panggung dan menatap Dedi masih dengan mulut menganga dan mata terbelalak. "Suara ketukan sepatu hakmu juga aroma parfum yang menyengat selalu menjadi penanda atas kedatanganmu! Ketika engkau menaruh tas kulit buaya KW super yang engkau beli di Mangga Dua, jantungku dag dig dug!" Suara tawa membahana memenuhi area di bawah pohon mangga, tidak akan ada yang menyangka Dedi akan membawakan puisi dengan tema seenak udelnya seperti itu. "Terutama ketika spidol yang berada di tanganmu, engkau lemparkan ke kepalaku! Bu Inge!" Mei Ling melihat wajah Bu Inge yang juga merupakan juri lomba baca puisi memerah, entah karena malu atau tersanjung. "Ku harap Ibu segera mendapatkan jodoh Ibu. Agar tidak ada lagi spidol yang melayang ke kepalaku." Dedi melap tangannya yang penuh keringat lalu menarik nafas panjang. "Terima kasih. Saya Dedi Saputra, bukan Nicholas Saputra, perwakilan dari kelas sepuluh enam." Dedi turun dari atas panggung, senyum lebar melekat di wajahnya.
"Keren, bro." Arenza segera menghampiri Dedi lalu meninju bahunya perlahan. "Bu Inge bakal terus ingat lu sampai akhir hayatnya."
"AYAH!" Mei Ling tiba-tiba terlonjat kaget mendengar suara Ratna yang berada di sebelahnya.
"BUNDA!" Kedua nya lalu berlari ke arah satu sama lain seperti adegan India yang sering pembantunya tonton di ANTV tiap sore hari.
"Ada apa dengan Abi-Ummi?" Mei Ling berbisik ke arah Putri.
"Nggak tau." Putri menatap keduanya geli. "Kelas kita nggak bakalan menang apa-apa kalau kayak gini." Putri menatap jadwal lomba yang berada di tangannya lalu mendesah keras. "Temenin gue ke kantin yah?"
Mei Ling mengangguk semangat lalu mengikuti Putri ke kantin. Menuju kantin mereka harus melewati dua lapangan, satu lapangan sepak bola dan satunya lagi lapangan basket. Mata Mei Ling sering gagal fokus ketika melewati dua lapangan ini, apalagi ketika melihat kakak-kakak kelas yang jelas jauh lebih keren dibandingkan teman-teman kelasnya sedang asyik bermain basket. Tanpa Mei Ling sadari, Mei Ling berdiri di tepi lapangan basket memperhatikan bola yang tiba-tiba saja melayang ke arahnya.
"Mei Ling!" Putri berseru keras memperingati Mei, tapi Mei yang kurang fokus tidak dapat menangkap peringatan Mei tepat waktu sehingga bola basket itu lebih dulu mendarat di kepalanya.
"Aduh!" Mei Ling mengaduh keras lalu jatuh terduduk ketika merasakan disorentasi sesaat.
"Kamu baik-baik aja kan?" Mei Ling mengejapkan matanya berulang kali. Ini dia.. Ini dia adegan paling mainstream yang pernah ia baca, kejatuhan bola lalu kejatuhan cinta. Nah, mungkin dia jodoh Mei Ling.
"Iya kak, aku baik-baik aja." Mei Ling berkata lirih, belum sempat ia melihat benang merah yang melilit di jari sang kakak kelas tiba-tiba ada suara yang memanggil.
"Sa!" Mei Ling menatap ke arah sesosok kakak kelas perempuan yang berada di ujung lapangan satunya. "Asa!" Kakak kelas itu memanggil lagi.
"Maaf yah dek." Asa, nama kakak kelas itu meminta maaf sekali lagi. Kali ini Asa membantunya berdiri, memastikan kalau Mei Ling benar-benar baik-baik saja kemudian mengambil bola basket yang bergulir menjauh lalu meninggalkannya, begitu saja. Tanpa bertanya siapa nama Mei Ling lebih-lebih meminta nomor ponselnya.
Mei Ling menatap punggung Asa yang menjauh kemudian menyadari betapa tingginya kakak kelasnya itu. "Mei!" Putri menyodok tulang rusuknya dengan sikunya. "Lo nggak apa-apa kan?"
"Iya," Mei memperhatikan Asa yang berkumpul bersama teman-temannya.
"Kak Asa ganteng banget yah?" Mei Ling mengangguk Asa memang ganteng. Banget malahan. Tubuhnya tinggi menjulang, mungkin akibat bermain basket.
"Yang itu siapa?" Mei Ling berbisik pelan, mereka bisa mampus kalau ketahuan menggosipi kakak kelas.
"Kak Purnama, Kak Tatiana, sama Kak Em." Mei Ling menatap sosok Kak Em yang tadi memanggil Asa.
"Em?" Em. Namanya aneh, seperti nama salah satu huruf alfabet M. Mei Ling tau tatapan yang diberikan Em ke Purnama dan Tatiana, tatapan sakit hati yang berusaha di tutupi dengan baik. Sangat baik malahan tapi tidak untuk Mei Ling yang memiliki kemampuan supernatural super yang bahkan bisa dibandingkan dengan keluarga Cullen di Twilight series.
"Kak Gemma. Kadang di panggil Ge kadang juga Em." Mei mengamati dua benang merah Purnama dan Tatiana yang saling mengait, mereka jodoh dan Gemma tau itu. Terkadang sakit rasanya mengetahui orang yang kamu sukai tidak akan pernah menyukaimu. Mei menggelengkan kepalanya lalu mengikuti Putri melewati lapangan basket dan lapangan sepak bola menuju kantin.
"Demi dewa!" Mei Ling terperanjat kaget ketika masuk ke kantin yang sudah di penuhi anak-anak kelaparan.
"Jangan bilang lo nonton Uttaran juga, Mei." Putri menggelengkan kepalanya jengkel. "Gue udah bosan ngeliat emak gue nonton itu sampai nangis-nangis."
Mei Ling terkekeh mendengar penuturan Putri. "Sekali-kali doang, Put."
"Tampang lo Cina ke Korea-Korean Mei, nggak ada Indianya sama sekali."
"Gue nggak pernah injak Korea, Put. Bisanya injak Jakarta-Bandung doang. Doain gue bisa ke Korea yah, biar bisa ketemu Lee Min Ho, Suzy, Kim Woo Bin, Lee Jongsuk...." Dan begitulah saudara-saudara sekalian bagaimana sekali lagi Mei Ling gagal fokus dan melupakan topik utama mereka hari ini.
***
"Bungkusin satu yang kayak Rangga." Mei Ling masuk ke dalam kelas dan melihat teman-temannya yang kembali ke kegiatan mereka masing-masing. Kali ini mereka menonton Ada Apa Dengan Cinta? pertama. Cewek-cewek teman kelasnya mulai heboh, terutama saat Rangga membacakan sebuah puisi.
"Gue udah punya Rangga gue," Mei Ling dan Putri sama-sama memberikan ekspresi geli ketika melihat Ratna dan Dedi yang kembali mesra seolah-olah drama LINE yang mereka sajikan beberapa hari lalu terlupakan begitu saja.
"Kok kalian suka Rangga?" Putri yang tidak pernah menonton Ada Apa Dengan Cinta ikut duduk diantara teman-teman kelasnya dan berusaha memahami jalan ceritanya. "Gue sukanya cowok yang bisa main alat musik."
"Gue sukanya cowok yang bisa olahraga."
"Gue sukanya cowok bad boy macam Kim Woo Bin." Cewek-cewek teman kelasnya mulai bersahut-sahutan mengucapkan kriteria cowok idaman mereka masing-masing. Lalu Mei Ling? Mei Ling hanya bisa mendesah keras di dalam hati. Beruntung deh dia kalau dapat cowok idaman seperti itu, bagaimana kalau dia bakal jomblo seumur hidup mengingat dia tidak punya benang jodoh seperti teman-temannya yang lain?
*****
Saya tidak pernah nonton atau baca AADC sebelumnya, baik yang pertama maupun yang kedua. Jadi mohon maaf untuk kesalahan yang mungkin saja terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top