Enam

Dunia nyata masih hectic, jadi aku belum sepenuhnya kembali aktif sih. Vote dan komen lapak ini juga belum sebagus yang kuharap sih, jadi selain hectic, motivasi nulis sedikit melempem. Oke, selamat membaca, dan semoga update berikutnya nggak pakai lama kayak kemaren...

**

Becca menghubungi Ben setelah membaca berita online dan benar-benar yakin bahwa Prita yang dibicarakan teman-temannya sama persis dengan Prita yang dia maksud. Apalagi setelah nomor Prita yang hubunginya tidak bisa dijangkau.

Kantor Ben yang mewakili Prita. Berita online itu bahkan sudah memuat foto-foto bos Ben yang sedang mengadakan konferensi pers. Itulah mengapa Becca menghubungi Ben. Dia berharap mendapat penjelasan lebih.

Pasti ada yang salah dengan berita itu. Prita tidak mungkin melakukan apa yang disebutkan di situ. Prita adalah orang yang akan menjerit ketakutan saat melihat kecoak melintas di depannya. Orang seperti itu tidak mungkin bisa membunuh dengan darah dingin, menggunakan pisau untuk menusuk-nusuk.

Becca kenal Prita ketika pindah dari Surabaya. Mereka bersekolah di tempat yang sama saat SMP dan SMA, baru berpisah setelah Prita melanjutkan pendidikan di luar negeri. Becca hanya punya dua teman perempuan yang benar-benar dekat, Rhe dan Prita, meskipun kedua sahabatnya itu belum pernah bertemu sekalipun.

Prita belum lama kembali dari luar negeri. Setelah tamat kuliah, dia memutuskan bekerja di perusahaan tempatnya magang selama musim panas. Becca tahu itu karena Prita menceritakannya pada salah satu percakapan mereka melalui telepon. Dia juga mengatakan memutuskan pulang karena ayahnya mendesak. Hanya Prita satu-satunya pewaris Salim Grup.

Ben tidak menjawab telepon Becca. Biasanya itu terjadi saat dia sibuk di pengadilan atau meeting. Mungkin sekarang Ben sedang melakukan salah satunya. Becca hanya bisa pasrah menunggu setelah meninggalkan pesan untuk dihubungi kembali. Dia tidak punya nomor ibu Prita, jadi keresahannya semakin menggunung.

Becca tahu dia tidak mungkin tiba-tiba muncul begitu saja di rumah Prita. Mereka memang sangat akrab dulu, tapi itu sudah cukup lama. Dia tidak yakin ibu Prita masih mengingatnya. Becca jarang menjumpai perempuan itu saat ke rumah Prita. Ibu temannya itu bukan jenis ibu rumah tangga yang duduk manis di rumah. Dan Becca juga juga tidak mungkin meninggalkan kantor di waktu seperti ini tanpa izin.

Ben baru menelepon setelah Becca sudah keluar dari tempat parkir kantor. Laki-laki itu pasti sibuk sekali sampai butuh waktu lama untuk merespons.

"Iya, Ben?" Becca menepikan mobilnya. Dia butuh fokus melakukan percakapan ini.

"Sori, Becca, kantor hari ini lumayan hectic, jadi ponselnya kumatikan. Ada apa?"

"Iya, aku sudah baca di berita online. Kantor kalian yang pegang Prita Salim, kan?"

Ben tertawa. "Tumben kamu update kerjaanku. Perhatian banget, jangan-jangan kamu mulai naksir aku, ya?"

Becca mendesah sebal. Ini bukan waktu untuk bercanda. "Aku nggak akan naksir temanku, Ben. Apalagi yang modelnya kayak kamu. Ogah. Serius deh, Ben, aku mau tanya soal Prita."

"Kamu ngikutin kasus itu juga?" Tawa Ben perlahan menghilang. "Iya, memang heboh. Aku maraton meeting di kantor juga karena itu. Tapi sori, ini urusan kerjaan, infonya nggak boleh keluar. Kamu tahu aturannya."

Becca tidak perduli soal aturan sekarang. "Kamu sekarang di mana?"

"Siap-siap balik ke apartemen, mau mandi dan gantian. Mungkin keluar lagi kalau Pak Riyas panggil buat ketemu."

"Kamu sudah makan?" tanya Becca manis.

"Belum sih. Ini baru mau keluar kantor. Mau mampir makan dulu sebelum pulang."

Itu kesempatan Becca. "Langsung pulang dan mandi saja. Buang-buang waktu kalau mampir makan. Kalau tiba-tiba bos kamu telepon, kamu malah bisa balik tanpa sempat mandi. Nanti aku belikan makanan dan bawa ke apartemen kamu. Kebetulan aku juga belum makan."

Tawa Ben muncul lagi. "I smell a rat, Becca. Kamu nggak pernah sebaik ini kalau nggak ada maunya. Kecuali kalau kamu memang beneran naksir aku tapi gengsi buat ngaku."

Kalau laki-laki itu ada di depannya, Becca tidak akan ragu-ragu melepas sepatu untuk menggetok kepalanya. "Tampang pas-pasan, percaya diri segunung!" omelnya.

"Hei, aku tampan, Becca," protes Ben. "Kamu nggak lihat saja antrean panjang cewek-cewek yang pengin menggerayangiku."

"Mereka tertarik sama dompetmu, bukan kamu. Itu sudah terbukti." Becca tidak berniat memperpanjang percakapan. Dia perlu bertemu Ben secepatnya. "Aku ke apartemenmu sekarang."

Ben sudah selesai mandi saat dia membuka pintu untuk Becca. Dia terlihat segar. Wangi sabun, sampo, dan parfum menguar dari tubuhnya

"Kamu tahu kombinasinya, kan? Kenapa pakai pencet bel segala?" Ben segera berbalik setelah menerima kantong yang diulurkan Becca.

"Aku nggak ingin kaget. Siapa yang tahu kalau kamu cuma sendiri di dalam? Aku bisa kena serangan jantung saat buka pintu dan lihat kamu sedang in action di sofa. Horor banget kalau aku sampai lihat bokong telanjangmu pas lagi misionaris. Aku bisa mimpi buruk seumur hidup. Bakal butuh dirukiah untuk mengembalikan ketenangan jiwaku."

"Biar kuberitahu, Sayang, misionaris itu membosankan." Ben mengeluarkan kotak pizza yang dibawa Becca dan diletakkan di atas meja ruang tengah. Dia lalu duduk santai di sofa dan mengambil seiris. "Itu untuk pemula."

Becca mengarahkan bola mata ke atas, dan menyusul duduk di samping Ben. "Aku tahu gaya favoritmu. 69, kan? Kamu bahkan sampai mengulang-ulang angka itu untuk menjadi password pintumu."

Ben tertawa sambil mengeleng-geleng. Dia mulai menyuap. Tangan kirinya yang bebas merangkul pundak Becca. "Susah ngomong sama yang belum pengalaman. Sekarang kamu bilang deh apa yang bikin kamu mau bela-belain anterin aku makanan. Itu bukan kamu banget. Kalau ada orang di dunia ini yang tega lihat aku kelaparan, itu pasti kamu."

"Soal Prita...."

Ben melepaskan irisan pizza yang belum setengah dimakannya. "Please, jangan soal kerjaan, Becca. Aku butuh usaha keras buat bikin Pak Riyas masukin aku dalam tim Prita, Kalau mau tahu update beritanya, kamu baca dan nonton berita saja."

Becca tidak menghiraukan Ben. "Aku yakin Prita bukan pembunuhnya, Ben. Dia nggak terlihat seperti pembunuh. Kamu sudah ketemu dia, kan? Kamu pasti mengerti maksudku kalau sudah melihatnya."

"Becca dengar, ya. Maaf mengecewakanmu, tapi sebagian besar pembunuh yang ada di dunia nggak terlihat..." Ben membuat tanda kutip di udara, "seperti pembunuh. Kayak orang lain, mereka punya mekanisme manipulatif untuk pertahanan diri dan terlihat normal. Satu lagi, nggak semua orang membunuh sebagai hobi atau pekerjaan. Ada nggak bermaksud melakukannya, tapi tanpa sengaja menghilangkan nyawa. Ada banyak tipe pembunuh...."

"Aku nggak kenal dan nggak pengin kenal pembunuh lain, Ben!" potong Becca sebal. "Aku hanya tahu kalau Prita Salim sama sekali nggak membunuh siapa pun."

"Sudah kubilang jangan tertipu penampilan, Becca." Ben melanjutkan suapannya. "Aku baru akan bertemu Prita Salim besok, tapi aku sudah melihat foto-fotonya. Dia memang manis dan mungil, tapi seperti kubilang, penampilan sering menipu."

"Maksudmu, kamu percaya Prita membunuh?" Suara Becca langsung naik.

"Aku nggak bilang begitu. Aku mewakili Prita. Kalaupun dia benar membunuh, timku yang akan membelanya mati-matian. Aku hanya mengatakan padamu untuk nggak naif. Orang-orang itu nggak sekadar berwarna hitam-putih. Mereka menyembunyikan warna-warna dalam hati dan kepala mereka, yang terkadang nggak ingin mereka bagi dengan kita. Dari pengalamanku bekerja dengan macam-macam orang, Becca, kamu nggak pernah sungguh-sungguh bisa percaya kepada orang lain. Faktanya, orang akan melakukan apa pun untuk melindungi dirinya sendiri. Apa pun!"

"Tapi Prita nggak seperti itu, Ben," Becca berkeras. "Bukan hanya kamu yang bisa membaca karakter orang. Aku juga bisa. Aku mengenal Prita selama 6 tahun, dan itu bukan waktu yang singkat untuk mengetahui dia orang seperti apa."

"Kamu mengenal Prita Salim?" Ben meletakkan kembali potongan pizza-nya. Senyumnya tampak lebar. "Aku sudah bilang kalau aku sayang kamu kan, Becca? Ceritakan padaku tentang Prita."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top