Delapan
Belum kuedit bagus nih. Oh ya, update selanjutnya tergantung voment, ya. jadi senangkan aku dengan komen yang banyak. Nyepam boleh, asal jangan nulis 1 atau 2 huruf doang. Hehehe... happy reading, Gaes. Lope-lope yu ol...
**
"Prita baik-baik saja." Ben ikut duduk di samping Becca.
"Nggak ada orang yang baik-baik saja kalau nginap di sel, Ben!" Becca langsung cemberut. "Apalagi orang seperti Prita yang sudah biasa hidup enak."
"Kamu tahu kalau dia sudah punya tunangan?" Ben mengabaikan nada Becca yang tinggi. "Kelihatannya temanmu itu bukan orang yang menghargai komitmen. Hei, jangan memelotot seperti itu." Dia mengacak rambut Becca. "Aku nggak bilang kalau aku orang suci yang bebas dosa, tapi berhubungan dengan orang lain padahal sudah pakai cincin di jari itu bukan keputusan bijak."
Becca akhirnya mengembuskan napas dan mengedik. Dia tidak bisa menampik kebenaran ucapan Ben. "Prita hanya pernah bilang kalau ayahnya menjodohkan dia dengan salah seorang direktur di perusahaan mereka. Aku nggak tahu kalau dia sudah tunangan dengan laki-laki itu. Atau bisa saja tunangan yang dia maksud bukan orang itu. Komunikasi kami setelah dia kuliah di luar memang nggak terlalu intens. Kami sibuk dengan urusan masing-masing."
"Karakternya kuat." Ben kembali meneguk minumannya.
"Nggak berarti dia seorang pembunuh, kan?"
"Aku nggak bilang kalau dia yang membunuh, Becca. Aku hanya bilang kalau kepribadian yang kuat seperti itu sering membuat jaksa dan hakim kehilangan simpati dan malah bersemangat untuk memberi hukuman maksimal. Percaya atau nggak, tapi penampilan seseorang ikut menentukan peruntungannnya di depan majelis hakim. Tampang memelas selalu berhasil mendapatkan keringanan. Tapi rasanya akan sulit meminta Prita bersikap seperti itu."
"Bukannya hukuman diputuskan berdasarkan fakta di persidangan?"
Ben mengangguk. "Iya, tentu saja. Masalahnya, kami sekarang sedikit kesulitan mendapatkan fakta yang mendukung kesaksian Prita yang bilang dia nggak membunuh."
"Sulit gimana? CCTV hotel bisa dipakai, kan? Tinggal lihat saja siapa yang naik lift dan berhenti di lantai suite Prita. Di depan suite juga pasti ada CCTV untuk tahu siapa lagi yang masuk kamar sebelum atau sesudah Prita ke situ."
"Aku sebenarnya nggak boleh membicarakan ini dengan orang luar, Becca, tapi CCTV yang kamu maksud sempat nggak berfungsi selama hampir dua jam. Seseorang sengaja mengakalinya. Aku nggak suka bilang ini, tapi itu pembunuhan yang terencana. Sama sekali bukan kabar baik untuk temanmu."
"Maksud kamu, Prita merencanakan untuk membunuh teman kencannya?" Nada Becca naik lagi. "Yang benar saja, nggak mungkin!"
"Sudah kubilang aku nggak menuduh dia yang bunuh. Aku masuk dalam tim pengacaranya. Hanya saja, semua bukti mengarah kepadanya. Bahkan sidik jarinya melekat jelas pada gagang pisau yang masih menempel di tubuh Bernard. Kalau dia bukan pembunuhnya, harus ada penjelasan masuk akal kenapa sidik jarinya ada di sana. Membebaskannya dari tuduhan bukan perkara mudah."
Bahu Becca merosot. "Sepertinya dia dijebak. Prita itu anaknya pintar banget. Aku nggak yakin dia bisa membunuh, tapi kalaupun dia melakukannya, dia nggak akan tolol dengan meninggalkan sidik jarinya pada barang bukti. Kalau CCTV-nya sudah dirusak, dia akan keluar setelah menghabisi teman kencannya, bukannya malah tidur dan menunggu sampai ditemukan. Itu janggal banget, Ben. Aku saja yang orang awam mikir gitu. Apalagi kalian pengacara, kan?"
"Masalahnya, asumsi sebagus dan selogis apa pun nggak akan diterima di pengadilan, Becca. Hanya bukti dan fakta yang dipakai di sana." Ben turun dari kursinya. "Kamu sudah makan? Aku lapar banget. Ke restoran di bawah, yuk."
**
"Becca, tolongin dong!"
Becca melepas laptop dan melihat Ratri yang tersenyum lebar di dekat kursinya. "Ada apa?"
"Aku harus mengantar file yang ketinggalan ke Pak Markus di tempat meeting. Gantiin aku jadi baby sitter, ya? Please." Ratri menyatukan kedua tangan di depan dada.
"Baby sitter?" Becca tidak mengerti maksudnya.
Ratri menunjuk ruangan Pak Bagas. "Bos tadi datang bawa anaknya. Waktu dia dipanggil Bos Besar ketemu klien, anaknya dititip ke aku."
Becca ikut melihat pintu Pak Bagas yang tertutup rapat. "Kok aku nggak lihat kalau Pak Bagas bawa anaknya?"
"Kamu kan tadi keluar. Anak itu juga di dalam ruangan terus. Manis dan tenang kok. Kamu nggak akan repot mengawasinya." Ratri melambai tanpa menunggu persetujuan Becca. "Makasih, ya."
Mulut Becca yang hendak protes terkatup kembali. Seumur hidup dia belum pernah menjadi baby sitter. Becca tidak benci anak-anak. Hanya saja, mereka berisik dan suka berteriak-teriak. Mengganggu. Anak-anak itu menganggap bahwa semua persoalan diselesaikan dengan menangis. Namun, mau bagaimana lagi, dia tidak mungkin melarang Ratri menemui Pak Markus.
Becca mengembuskan napas panjang dan berjalan meninggalkan kubikelnya menuju ruangan Pak Bagas. Ini pertama kali bosnya membawa anak ke kantor, jadi Becca belum pernah melihat seperti apa wajahnya. Kalau mengikuti paras kedua orangtuanya, seharusnya anak itu cantik. Almarhum istri Pak Bagas cantik dan anggun. Cocoklah dengan Pak Bagas yang sekarang jadi kecengan para perempuan jomlo di kantor.
Becca mengetuk pintu sebelum masuk. "Halo!" sapanya ketika kepala gadis kecil yang berada di ruangan Pak Bagas terangkat.
Anak itu menghentikan gerakannya menyisir boneka. Dia menatap Becca cukup lama sebelum membalas, "Halo." Nadanya ragu-ragu.
Becca mendekat dan duduk di sisi anak itu. Dia mengulurkan tangan. "Namaku Becca. Nama kamu siapa?"
"Elsa." Gadis kecil itu membawa tangan Becca ke dahinya.
Ratri benar, anak ini tampak manis dan sopan. "Wah, Elsa kayak Princess yang film Frozen dong?" Becca belum pernah nonton film itu. Dia mendengarnya dari anak-anak para sepupunya saat menghadiri arisan keluarga.
Mata anak Pak Bagas langsung bersinar. "Iya. Kata Papa, aku sama cantik dengan Princess Elsa."
Menjadi baby sitter sebentar sepertinya tidak terlalu buruk. Anak Pak Bagas terlihat menyenangkan. Becca bersandar santai di sofa. "Umur Elsa berapa?"
Elsa mengangkat sebelah tangan dan menekuk ibu jari. "Empat. Aku sudah besar, Tante. Kemaren jatuh di sekolah, tapi nggak nangis." Dia terlihat bangga dengan dirinya sendiri. "Miss Pia bilang, aku pinter banget."
Elsa memang terlihat pintar untuk umur empat tahun. Keponakan sepupu Becca masih cadel di umur seperti itu, sedangkan Elsa bisa mengucapkan huruf "r" dengan baik.
"Elsa sudah sekolah?"
"Iya." Kepala mungil itu mengangguk. "Di Play Group. Miss Pia baik banget," dia menjelaskan penuh semangat.
"Kok Elsa ikut Papa ke kantor?"
Elsa menunduk dan kembali menyisir bonekanya. "Mbak Tami lagi pergi, Tante. Trus Eyang di rumah sakit jagain Adek Pipi. Kata Papa, aku nggak boleh tinggal di rumah sakit, jadi tadi ikut Papa ke sini." Dia mengangkat kepala lagi. "Aku nggak nakal kok."
Mau tidak mau Becca tersenyum melihat raut Elsa yang serius. "Iya, Tante percaya kok Elsa nggak nakal. Princess kan nggak ada yang nakal."
"Kata Papa, kalau aku nggak suka nangis, nanti boleh beli rumah barbie yang gede banget kalau ulang tahun."
"Wah, Elsa sudah mau lima tahun, ya?" Becca ikut menyemangati. "Kapan?"
Elsa mengedik. "Kata Papa nggak lama lagi. Tante mau diundang juga?"
Becca tertawa. "Boleh deh. Makasih, ya." Dia melihat ponselnya yang berdering. Ben. Dia menerima dan mendekatkan ponsel ke telinga. "Ada apa, Ben?"
"Aku ada di restoran dekat kantormu nih," jawab Ben. "Mau makan siang bareng?"
"Sebentar." Becca melihat Elsa yang juga sedang menatapnya. "Elsa sudah makan?"
Gadis kecil itu menggeleng. "Kata Papa, mau makan bareng."
Meeting dengan Bos Besar dan klien kadang-kadang bisa makan waktu. Becca berdiri dan mengulurkan tangan pada Elsa. "Yuk, ikut Tante, kita pergi makan." Dia segera melanjutkan saat melihat Elsa bimbang. "Nanti Tante mintain izin sama papa Elsa kok."
Elsa langsung melompat-lompat. "Aku boleh makan ayam goreng? Nggak usah makan sayur, ya? Mbak Tami dan Papa suka paksa aku makan sayur. Rasanya kan nggak enak banget."
Becca kembali pada ponselnya. "Ben, aku ke situ deh. Bawa teman boleh, kan?"
"Asal cantik, boleh dong." Tawa Ben terdengar renyah.
Becca melirik Elsa. "Cantik banget. Tapi aku nggak yakin dia tertarik padamu."
"Kemungkinan cewek nggak tertarik padaku itu kecil banget, Becca. Jumlahnya dalam persentase sangat nggak bermakna."
Becca tertawa. "Halah, tampang pas-pasan, sombongnya maksimal!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top