19. Regret
Sejak ia memberikan permen itu pada Rista. Hidupnya jadi tak tenang. Gelisah. Di dalam aula yang hening itupun tak mampu membuatnya berhenti bergerak. Duduknyapun terasa tak nyaman. Ada apakah dengannya?
Ia merasa tak seharusnya memberikan permen itu pada kekasihnya. Memberikan satu butir permen pemberian temannya, membuat ia terlihat kere. Tapi bukan itu yang menjadi bahan pemikirannya.
Melainkan tulisan yang berada di balik permen itu. Tulisan yang membuatnya bingung. Resah. Dan tak tahu harus berbuat apa.
Baru saja ia mengetikan kata yang diingatnya pada permen itu di kamus online. Ia langsung terkejut. Mengutuki diri karena kecerobohannya. Bagaimana jika kekasihnya itu salah faham? Bagaimana jika ia sudah pulang duluan setelah membaca tulisan itu?
Ia beranjak dari kursinya. Hendak meminta izin untuk keluar ruangan. Belum sempat dia berbicara, sebuah suara menginterupsi. Membuatnya bungkam kembali.
"Perhatian kepada semua! Dengar! Ada hal penting yang akan kami sampaikan. Maka dari itu dimohon kepada kalian agar tidak beranjak dari tempatnya sebelum hal ini tersampaikan," kata Kak Agus, sang ketua OSIS yang sedang berdiri di depan Aula. Lantas ia melirik Takuya. "Dan kamu Takuya, duduk! Kamu sudah izin keluar beberapa saat lalu. Mau izin kemana lagi kamu? Beser amat."
Nada suaranya terdengar tegas juga pedas. Semua mata penghuni ruangan itu, tertuju padanya. Mau tak mau dia duduk kembali di posisinya. Ia kesal sebenarnya saat dikatai beser. Apalagi saat mendengar peserta rapat itu samar-samar mentertawakannya. Beser adalah suatu kondisi dimana kita membuang hasrat ingin pipis dalam jangka waktu yang dekat. Salahnya sendiri tadi ia meminta izin untuk ke kamar mandi.
Tapi kamar mandi adalah satu-satunya alasan untuk ia bertemu Rista. Pupus sudah harapannya bertemu Rista. Lenyap harapannya untuk menjelaskan pada kekasihnya --jika ia salah faham. Kini ia terkurung dalam rasa bersalah yang tak berujung.
Menundukan kepala dan membenamkannya diantara kedua tangan yang dilipatkan. Tidur. Hanya itu yang akan ia lakukan. Berharap rapat kali ini akan cepat berakhir. Dan ia dapat bertemu dengannya. Berharap ia bertemu Rista di alam mimpinya dan mendapati mereka tengah berbincang mesra seolah permen itu tak pernah hadir. Dan mengacaukan pikirannya.
Namun, sebenarnya permen itu adalah awal bencana bagi dia.
Rista pergi dengan kaki terpincang-pincang. Tak peduli akan janjinya untuk pulang bersama dengan kekasihnya. Tak peduli seberapa jauhnya ia melangkah.
Karena hari sudah sore, tepatnya pukul 16.00 Waktu Indonesia Barat. Angkot yang biasa lewat ke rumahnya sudah tidak nampak. Alhasil, ia harus berjalan kaki. Ia menyesal sempat menunggu Takuya. Karenanya, kini ia harus menyusuri jalan yang tak lebih dari satu kilometer. Tidak terlalu jauh memang. Namun mengingat kakinya yang belum terbiasa berjalan --lagi, ia harus menempuh waktu cukup lama. Tidak mungkin ia berlari dengan kaki yang masih diperban, bukan?
Sebenarnya ia takut pulang sendiri. Tapi yang diinginkannya hanyalah agar cepat sampai ke rumah. Mengistirahatkan hatinya dari prasangka buruk itu. Rasa takutpun hanyut bersamaan dengan keinginannya.
Ia pikir, permen adalah ungkapan hati yang tak terucap dilisan. Apakah permen itu juga adalah penghantar isi hati Takuya juga? Jika iya, bolehkah ia berprasangka buruk?
Tetapi tanpa meminta izinpun, ia sudah berprasangka buruk setelah mentranslate kata itu.
Bagaimana mungkin ia akan berpikiran baik saat melihat huruf-huruf yang mengundang tanda tanya besar itu muncul dilayar ponselnya?
Sebuah kata yang bagi sebagian orang tanpa melihat kamuspun akan tahu artinya. Berbeda dengan Rista yang buta bahasa Inggris. Ia malah tersipu saat menerimanya.
I REGRET 💔
regret kb. sesalan, penyesalan. -(regretted) 1 menyesali (the time spent). 2 menyesal.
Miris memang, ketika ingat ia malu-malu saat menerima permen itu. Ia pikir, itu sebuah kalimat romantis. Sebuah kalimat yang dapat menggetarkan hati. Tapi dugaannya salah. Bahkan ia berkali-kali nenampar pipinya yang memerah saat ia membaca kalimat itu untuk pertama kalinya. Ia merutuki kebodohannya yang tidak mengerti bahasa inggris. Bodoh! Hanya dapat mengumpat yang dilakukannya disepanjang perjalanan.
Dan kini ia berpikir, apakah mungkin permen itu adalah ungkapan hati Takuya? Lalu ia menyesal karena apa? Menyesal telah mengenalnya? Menyesal karena berpacaran dengannya? Atau--
-- menyesal karena telah mencintainya?
Deg
Ia memukul-mukul dada kirinya yang sesak. Sakit. Tapi di dalam sana jauh lebih sakit. Air matanya tak terbendung lagi. Ia kini mulai menangis.
Mengapa Takuya harus menyesal? Apakah semenjijikan itu dirinya? Apakah sehina itu dirinya? Apa yang membuat ia menyesal?
Jika menyesal, mengapa ia mengajaknya jadian pada saat itu? Mengapa ia tak pergi dan mencari yang membuat ia terpuaskan dan tak menyesal? Mengapa?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam otaknya. Membuatnya menggeleng berkali-kali. Mencoba berpikiran positif. Namun tetap, hatinya tak bisa diajak kompromi.
Byurr
Bersamaan dengan semakin derasnya air mata Rista. Hujan perlahan turun membasahi bumi. Orang-orang berlari menghindari diri dari serbuan air hujan yang datang tanpa ampun. Berbeda dengannya. Walau seragam basah. Walau rambut basah. Walau sekujur tubuhnya menggigil ia tak peduli. Ia berjalan menghiraukan tatapan aneh dari orang- orang yang ia lewati. Menghiraukan perban basah yang perlahan mengelupas dari telapak kakinya.
Luka itu, kembali menganga. Membuat air membelai belahan mengerikan itu dengan lembut. Ia sungguh tak peduli, bahkan ketika luka itu kembali mengeluarkan darah.
Darah itu mewakili hatinya yang hancur. Darah kepedihan. Mengalir bersamaan dengan curah hujan yang semakin membesar.
Hawa mulai dingin. Dirinya kedinginan. Bibirnya bergetar. Tangannya perlahan naik memeluk lengannya sendiri. Berharap cara itu dapat menghangatkannya.
Oh hujan! Dulu ia sangat menyukaimu. Menyukai bagaimana kau membasahi bumi. Itu membuatnya bahagia. Dan karena hujan pula, ia mengenal pria itu. Ia kini berharap, semoga kau bisa menhanyutkan perasaan sakit itu bersama derasnya airmu.
Seseorang tengah memperhatikannya dari jarak beberapa meter. Tepatnya di halte.
Seseorang itu tengah berteduh.
Jaket sewarna kulit putih pucatnya sedikit basah akibat terserang hujan yang datang tiba-tiba tadi. Matanya menatap iba pada gadis yang berjalan sambil menundukan kepalanya. Ia basah kuyub seperti kucing masuk got. Miris. Wajah cantik gadis itu kini memucat. Hal itu membuatnya khawatir.
Tanpa pikir panjang, pemuda berjaket putih itu berlari menerjang hujan. Menghampiri gadis yang tengah menggigil itu. Membuka jaket dan memakaikan untuknya.
"Ta, lo gapapa?" tanyanya khawatir. Rista hanya menatap kosong ke arahnya. Bingung harus mengatakan apa. Lagipun ia sudah tidak memiliki tenaga hanya untuk sekedar membuka mulut. Ia yakin, Yoga tak melihatnya menangis, karena air matanya tersamarkan oleh derasnya hujan.
Pemuda itu --sebut saja Yoga, menggendongnya ala bridal. Berjalan menuju motornya yang terparkir di sebelah halte. Rista tak menolak. Ia pasrah dalam gendongan Yoga.
Lantas Yoga mendudukannya di boncengan. Ia akan mengantarkannya pulang. Walaupun perbuatannya itu tidak menghindarkannya dari terpaan air hujan. Setidaknya ia berharap, diantar olehnya akan lebih cepat.
Rista menyandarkan tubuhnya pada punggung lebar pria itu. Matanya terasa berat dan perlahan menutup. Tak lama kemudian ia telah berkelana di alam mimpi.
***
Yoga telah sampai di depan pintu rumah Rista. Ia berteriak-teriak mengucapkan salam. Bukannya ia tak tahu etika. Tapi ia kesulitan untuk memencet bel atau sekedar mengetuk pintu. Karena Rista kini berada dalam gendongannya.
Ceklek
Pintu perlahan terbuka menampilkan wanita muda yang tengah hamil. Wanita itu menatap Yoga dengan dahi berkerut karena ia baru pertama kali bertemu dengannya. Tatapannya perlahan beralih pada seseorang berada di gendongan Yoga.
Yuki --wanita hamil itu, terbeliak kaget melihat Rista terkulai lemah dalam pelukan pemuda itu. Ia panik dan berteriak," Ayah, Rista pingsan!"
Tidak lama muncullah pria paruh baya yang masih terlihat muda dari dalam rumah. Langkahnya sedikit tergesa karena panik. Saat sampai di depan pintu, ia menatap tajam Yoga yang tengah menggendong Rista. Ia tak suka melihat anaknya disentuh-sentuh orang lain. Apalagi ia baru pertama melihat pemuda itu.
Cepat-cepat ia mengambil alih Rista dari Yoga. Membawanya ke kamar dan membaringkannya.
Yuki mengekori sang ayah mertua dibelakang, mengabaikan Yoga yang masih berdiri di depan pintu rumah tanpa dipersilakan masuk.
Yoga sebenarnya ingin pamit pulang. Tapi karena sang tuan rumah tidak ada dihadapan, ia menunggu. Menunggu siapapun yang datang dari dalam untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan.
***
Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda melihat ke arah rumah besar Rista dengan tatapan sendu. Tepatnya di gerbang, ia berdiam diri diatas motor yang mesinnya dibiarkan menyala. Seragamnya basah kuyup. Mata coklatnya menyiratkan penyesalan. Siapakah ia?
To be continue
Yoo part 19 update. Ada yang masih nunggu Ristakuy? ㅋㅋㅋ
Saya ngetiknya baper sendiri lho tadi malem. Wkwkwkw. Kalian dapet feelnya nggak? Ikut baper juga nggak? Soalnya saya gabisa bikin yang hurt hurt gitu. Hehehe. Btw, ini ngetiknya semalem. Lumayan dapet 1k word. Hahaha. Biasanya bikin satu part bisa sampe seminggu lho. Makanya rasa perpart beda-beda.
Jika menemukan :
✔kata-kata yang typo
✔kalimat yang tidak efektif
✔paragraf rancu
✔dan kesalahan lainnya
Mohon diperbaiki. Okey!
Kritik dan saran saran diperlukan terimakasih 😁
HAPPY BIRTHDAY SANGMIN CROSS GENE. 🎉🎉🎉🎁🎁 SEMOGA MAKIN SUKSES DENGAN CROSS GENE NYA. SAYA DOAKAN APAPUN YANG TERBAIK UNTUKMU 😚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top