Part 1


Beloved

Arsen & Fherlyn

###

Part 1

###


Empat tahun kemudian ...

Sebagian besar para tamu yang berpakaian serba hitam satu persatu sudah mulai meninggalkan pemakaman. Arsen masih berdiri di sana, menatap nisan bertuliskan Natasya Mahendra di balik kacamata hitam yang menyembunyikan maniknya yang berkaca. Kedua adik perempuannya bersimpuh di tanah dan saling berangkulan berbagi duka di samping nisan. Tak memedulikan tanah basah yang mengotori tubuh dan pakaian mereka.

Arsen menghela napas dan menguatkan hati untuk dirinya sendiri dan kedua adik perempuannya. Mengusir kecewa yang masih saja melekat di hati dengan kematian sang mama. Dengan keegoisan wanita paruh baya itu, mamanya akhirnya memilih bergabung dengan papanya di keabadian. Meninggalkan dirinya dan kedua adiknya sendirian. Dengan segala tanggung jawab yang sudah tak perlu ia pusingkan lagi.

Kedua adik perempuannya sudah menikah. Janjinya sudah terpenuhi untuk memberikan adik perempuannya kehidupan yang layak. Dan seolah kepergian mamanya juga membawa beban itu terangkat dari pundaknya. Meskipun kemudian rasa kehilangan menggantikan beban tersebut. Bagaimana pun, mamanya tetaplah mamanya. Ia pernah menggantungkan hidupnya pada tubuh rapuh yang sekarang terbujur kaku di bawah tumpukan tanah basah.

Arsen membungkuk dan memeluk kedua adik perempuannya dari belakang. Mencium ujung kepala Karen dan Alea secara bergantian sebelum membawa mereka bangkit berdiri. "Kita harus kembali," gumamnya membujuk.

Masih dalam isak tangis, wajah Karen dan Alea menempel di dada Arsen.

"Kenapa dia melakukannya?" tangis Alea. "Kenapa dia meninggalkan kita, Arsen?"

"Dia melakukan usaha terbaiknya untuk tetap di sisi kita selama mungkin, Alea," bisik Arsen menenangkan adik bungsunya itu. "Sekarang waktunya kita membebaskannya."

Arza, adik angkatnya yang berdiri di samping kanan ikut membantu Alea berdiri. Alealah adik bungsu paling rapuh dan paling berduka dengan kepergian mama mereka. Yang tentunya membutuhkan dukungan dan sandaran lebih banyak dari Karen.

Arsen mengantar kedua adiknya ke mobil yang menunggu di gerbang pemakaman. Kedua suami adik-adiknya sudah menunggu di mobil masing-masing. Setelah sempat menenangkan Alea yang meracau, ia berhasil membuat Alea masuk ke mobil. Menatap tertegun bagian belakang mobil Alea dan Karen yang melaju meninggalkannya sendirian.

***

Fherlyn menurunkan kacamata hitam yang menutupi mata. Menurunkan kerudung hitam yang menyembunyikan wajahnya ketika bersimpuh di gundukan tanah yang masih basah itu. Tangannya terangkat menyentuh nisan dengan hembusan napas berat melewati hidung. Ada sesuatu yang hilang dari dalam hatinya yang tak bisa ia abaikan.

Meskipun hanya satu kali bertemu dengan Natasya Mahendra, sosok keibuan yang pernah mengelus rambutnya dengan sentuhan lembut begitu sulit Fherlyn lupakan.

Saat itu ia dan Arsen tengah makan siang bersama direstoran dan kebetulan bertemu dengan mama Arsen yang baru saja berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Wanita cantik itu mengenakan dress berpotongan sederhana bermotif bunga mawar merah yang menyempurnakan penampilannya. Rambutnya tergerai indah sepanjang punggung dan riasan natural yang terpoles di wajahnya membuat wanita itu tampak sepuluh tahun lebih muda dari umur sebenarnya.

Fherlyn bahkan tak bisa melupakan penampilan mama Arsen. Ditambah kelembutan dan kehangatan yang dipancarkan sinar matanya semakin membuat Fherlyn merindukan sosok tersebut.

"Kau sangat cantik, kupikir Arsen akan membawa kita makan malam bersama di rumah kami," tawar mama Arsen saat itu setelah ia memperkenalkan diri dengan sopan.

"Kita lihat nanti," jawab Arsen saat itu. Seolah Arsen merasa tak enak hati menolak ajakan Natasya sekaligus enggan membawa Fherlyn menemui keluarga pria itu. Hubungan mereka tak sedekat itu untuk memperkenalkan diri pada keluarga Arsen. Fherlyn memahami itu. Mereka hanyalah bos dan sekretaris yang bekerja dengan profesional meski terkadang bersenang-senang saat di ujung hari.

"Bolehkah aku memelukmu?" Permintaan Natasya saat itu membuat dahi Fherlyn berkerut heran. Wanita paruh baya itu langsung memeluk Fherlyn sebelum Fherlyn sempat menjawab. Mengelus rambutnya dan mengetatkan pelukan di tubuh Fherlyn. Lalu, berbisik di telinga Fherlyn. "Aku tahu Arsen bukan pria lembut dan penuh perhatian, tapi dia pria yang bertanggung jawab. Jaga dia untukku."

Fherlyn menitikkan air mata. Itu adalah pelukan dan pesan terakhir Natasya padanya. Amanat terakhir yang tak mampu ia penuhi. Ya, Arsen memang pria yang bertanggung jawab, tapi saat itu yang Fherlyn butuhkan dari Arsen bukan hanya sebuah tanggung jawab. Fherlyn meminta lebih. Terlalu serakah dan keliru memahami arti dirinya di hati Arsen.

"Maaf." Kata itu keluar dan mengiris tenggorokannya. Tangan Fherlyn terangkat menyeka tangisan di pipinya. Kemudian suara sepatu yang menyentuh kerikil dari arah belakang, sontak membuat tubuh Fherlyn mematung.

Ia sudah memastikan semua orang pergi meninggalkan pemakaman ketika berjalan mendekati makam ini untuk melihat lebih dekat. Mobil Arsen pun juga sudah melaju pergi ketika ia keluar dari mobilnya yang terparkir tersembunyi di antara pepohonan yang ada di sekitar tanah pemakaman ini.

Perlahan, Fherlyn memutar kepala dan terkejut menemukan pria itu, berdiri tak jauh dari tempatnya dengan kedua tangan dimasukkan di kantong celana gelap. Meskipun kacamata hitam menutupi mata hitamnya, Fherlyn bisa merasakan tatapan dingin pria itu yang menusuk.

"Ar ... sen?" Fherlyn menjerit dengan suara rendah dan tertahannya.

"Kupikir aku salah mengenalimu." Suara bernada datar dan dengkusan sinis yang sudah akrab di telinga Fherlyn, tiba-tiba saja terasa mengguyur hatinya yang dipenuhi kerinduan. Fherlyn segera menyadarkan diri. Menguatkan hati dari dampak buruk yang muncul dan menyiksa hatinya jika Fherlyn membiarkan Arsen memengaruhi dirinya untuk kedua kalinya.

Fherlyn berdiri dari simpuhnya dan memendam kerinduan di hatinya dalam-dalam. Memperingatkan dirinya sendiri dengan keras. Apa pun itu yang pernah ada di antara mereka, semua sudah berakhir empat tahun yang lalu. Dan tidak ada sesuatu pun di antara mereka saat ini dan seterusnya.

"Jadi, sejak kapan kau kembali?" Arsen melangkah semakin dekat.

Fherlyn berdehem sekali, membasahi tenggorokannya yang kering. Lalu menjawab dengan ketenangan yang dipaksakan. "Beberapa hari yang lalu."

Arsen mengangguk-angguk pelan. Terlihat tak terlalu peduli dengan jawaban Fherlyn. Dan Fherlyn tahu pertanyaan pria itu hanyalah sekedar basa-basi.

"Aku turut berduka," ucap Fherlyn kemudian dengan tulus dan bersungguh-sungguh.

"Tak perlu." Arsen menggeleng. "Aku baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya seseorang meninggalkanku. Lagi pula, empat tahun melihatnya berbaring di rumah sakit sedikit banyak sudah melatih diriku untuk kehilangan ..." Arsen diam sejenak. Lalu melanjutkan, "... dia."

Wajah gugup Fherlyn mendadak berubah pias. Arsen seolah sengaja memutus kalimat tersebut untuk melemparkan sindiran padanya.

Arsen yang menyadari perubahan wajah Fherlyn, menyeringai dalam hati. "Kenapa kau datang kemari, Fherlyn? Kupikir kita hanya dua orang asing yang tak saling kenal. Yang tak seharusnya berbagi suka ataupun duka antara satu dengan yang lainnya."

"Aku ... aku melihat beritanya di ...."

"Jangan membuatku salah paham, Fherlyn," potong Arsen. "Keberadaannmu di sini membuatku merasa kau memedulikanku. Dan saat kau mulai peduli pada seseorang, tanpa sadar kau akan menyerahkan seluruh milikmu pada orang tersebut. Jika aku tak salah ingat, terakhir kalinya hal itu terjadi kau tak sanggup menghadapi kecerobohanmu itu sendirian."

Fherlyn mengerjap, menguasai hatinya yang mulai terombang-ambing. Masa lalunya seakan kembali terpampang di hadapannya dengan sangat jelas. Tentangnya. Tentang Arsen. Dan tentang mereka berdua yang terjebak dalam permainan mereka sendiri lalu kesulitan mengontrol diri mereka sendiri. Kemudian satu-satunya jalan untuk memperbaiki kelumit itu adalah dengan melarikan diri.

"Menyingkirkan masalah, kemudian melarikan diri dan bersikap pengecut mungkin akan berhasil menutupi kecerobohanmu. Tapi, bukan berarti setelah itu kau bisa muncul dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa di hadapanku." Bibir Arsen menipis dan tatapannya semakin menajam ketika mendesiskan kalimat tersebut.

"Aku bukan pengecut," desis Fherlyn tak terima. Meski hatinya berusaha keras untuk tak menampakkan kemarahannya sedikit pun pada Arsen.

"Kau bisa menyebutnya apa pun seperti yang kauinginkan."

Fherlyn menggigit bibir bagian dalam menahan kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Jika tidak memahami bahwa apa yang dilakukannya empat tahun lalu memanglah sebuah kepengecutan, ia bisa pastikan tubuhnya melompat ke arah Arsen, menghujani pria itu dengan segala macam sumpah serapah dan pukulan agar Arsen mencabut kata-kata tersebut. Tetapi, ia bukan lagi gadis manja yang sensitif dan sedikit-sedikit tersinggung dengan ucapan Arsen. Sekarang, ia adalah seorang wanita yang kuat dan mandiri. Tak perlu meminta tolong orang lain untuk membantunya menyelesaikan masalah yang ia buat atau menggerung marah hanya karena harga dirinya yang tergores

"Aku berjanji ini adalah pertemuan terakhir kita." Fherlyn menarik napas sekali untuk kalimat selanjutnya. "Dan ini akan menjadi kecerobohan terakhirku yang melibatkan dirimu."

Arsen mengedikkan bahu sebagai isyarat menyetujui kata-kata Fherlyn. "Baguslah," balas Arsen ringan dan tanpa beban sedikit pun.

Hati Fherlyn tetap terluka meski sudah memperkirakan kemungkinan kata-kata Arsen akan menyakiti hatinya. Pria itu tak berubah sedikit pun. Kasar dan tak punya perasaan.

Fherlyn berjalan pergi.

Arsen menatap punggung Fherlyn yang menjauh hingga menghilang di gerbang pemakaman. Selama empat tahun ini, wanita itu menyembunyikan diri dengan sangat baik. Kecuali mobil merah terang yang terparkir di antara pepohonan sekitar pemakaman, yang mau tak mau mengusik rasa penasarannya. Memangnya siapa yang datang ke acara pemakaman dengan mobil mencolok seperti itu?

Tadinya Arsen mengira itu adalah mobil orang lain yang tengah mengunjungi makam keluarga yang secara kebetulan bersamaan dengan acara pemakaman mamanya. Tetapi, mendengar laporan salah satu pengawalnya yang mengatakan bahwa mobil itu sudah ada di sana saat pemakaman mamanya berlangsung, dan si pemilik mobil keluar setelah mobilnya melaju pergi. Tentu saja mengundang rasa curiga Arsen. Arsen pun memutar kembali setirnya dan tak kalah terkejutnya menemukan sosok familiar sekaligus asing yang tengah bersimpuh di dekat nisan mamanya adalah Fherlyn. Mantan ibu dari anak yang pernah ia miliki meski hanya untuk sesaat.

"Ikuti dan awasi dia," pesan Arsen pada salah satu pengawal yang tengah menunggunya di luar pemakaman. "Jangan sampai dia menyadari keberadaanmu."

Bukan karena tertarik dengan Fherlyn, tapi memangnya siapa yang tahu niat wanita itu kembali muncul di hadapannya?

Fherlyn memang terlihat seperti wanita yang lemah, rapuh, ceroboh, dan manja. Namun, tanpa siapa pun tahu, Arsen tahu wanita itu memiliki hati yang licik, manipulatif, dan sangat lihai mempermainkan hatinya. Menggunakan kelemahan seorang wanita untuk menarik simpatinya. Menggunakan kerapuhan wanita itu untuk menjeratnya. Tentu saja Arsen tak ingin mengambil resiko wanita itu akan mengacaukan hidupnya untuk kedua kalinya, kan.

***

Fherlyn mengelus ujung kepala balita mungil yang ternyenyak dalam tidurnya. Anak perempuannya yang masih berumur tiga tahun yang memiliki wajah Arsen Mahendra dalam versi feminim. Bola mata yang gelap, bentuk wajah, bibir, hidung, dan bahkan bentuk dagu yang terbelah diwarisi dari sang ayah. Tidak akan ada yang percaya bahwa Adara Gavrilla adalah putri mungil miliknya melihat perbedaan fisik yang mereka miliki.

Meskipun wajah Adara adalah satu-satunya wajah yang membuatnya mengingat kesengsaraan hidupnya, wajah itu jugalah yang mampu mengobati segala luka dan menyelamatkan kehidupannya. Membawanya keluar dari kubangan derita yang pernah menenggelamkannya.

Fherlyn tersenyum, hanya dengan melihat wajah putrinya dan kegelisahan yang mengguncang hatinya seketika menjadi tenang. Segala beban yang memberati hatinya seketika menguap tak bersisa. Meski tersisa kekhawatiran baru yang muncul sejak mendaratkan kakinya di negara ini dan bertatap muka dengan Arsen Mahendra. Ayah dari putri mungilnya.

Tidak, Arsen tak akan pernah tahu anak mereka masih hidup. Keengganan pria itu melihat dirinya cukup dijadikan sebagai jarak di antara hidup mereka. Sedikit memudahkan usaha Fherlyn untuk menyembunyikan putrinya dari Arsen. Lagi pula, mengingat beban besar di mata Arsen ketika ia meminta pria itu tidak meninggalkan dirinya empat tahun yang lalu. Arsen pasti tidak akan peduli dengan anak mereka sekalipun tahu bahwa putri mereka masih hidup.

Arsen tak mengharapkan keberadaan putri mereka. Dulu maupun sekarang. Pernyataan itu mencubit keras hati Fherlyn, tetapi hatinya sudah kebas membawa luka batin itu selama empat tahun.

"Nona sudah datang?" Pengasuh Adara muncul dengan seragam warna merah muda tua. Tersenyum ramah dengan wajahnya yang kalem dan bermata sendu. Sangat cocok dengan pekerjaan yang bergelut bersama anak-anak kecil atau perawat. Penyabar dan penyayang.

Fherlyn berdiri dan mengangguk pelan. Memperbaiki selimut Adara dan meregangkan tubuhnya yang kaku karena sudah terlalu lama duduk di samping boks Adara dengan posisi yang sama.

"Tadi Nyonya Ellard menelpon dan mengatakan akan mampir ke sini sepulang dari kantor tuan," beritahu pengasuh tersebut saat Fherlyn mengambil tas di meja tempat boneka-boneka Adara ditata.

Fherlyn tersentak kaget dan memutar kepalanya dengan cepat menghadap pelayan tersebut. "Kapan?" tanyanya mendadak panik.

Pelayan itu menengok jam berwarna merah muda yang terpasang di dinding. "Satu jam lagi."

"Apa kau mengatakan sesuatu yang aneh pada mamaku?" tanya Fherlyn dengan menggebu. Seharusnya ia memberitahu pekerjanya itu untuk tidak mengatakan hal apa pun tentang Adara. Tapi, lagi-lagi penyakit pikunnya muncul. Bagaimana jika orang tuanya tahu tentang Adara? Mereka ... mereka akan membunuhnya.

Pelayan itu mengerutkan kening tak mengerti. Diam tak menjawab pertanyaan Fherlyn karena masih terbengong dengan kata 'sesuatua yang aneh' yang dimaksud Fherlyn.

"Tentang Adara," jelas Fherlyn lagi.

Pengasuh itu menggeleng dengan kaku. Ya, Finar Ellard hanya mengkhawatirkan keadaan putrinya. Sedang di mana, apakah sudah makan, makan di mana, apa saja yang dimakan, dan sama sekali tak menanyakan kabar tentang cucunya.

Pengasuh itu baru menyadari kejanggalannya. Bukankah biasanya seorang nenek akan lebih dulu menanyakan kabar tentang cucu daripada anaknya?

"Jangan beri tahu apa pun tentang Adara. Sampai .... sampai ..." Fherlyn tak tahu sampai kapan ia akan merahasiakan Adara dari keluarganya.

Pengasuh itu terdiam menunggu Fherlyn melanjutkan.

"Sampai ... sampai aku memberitahumu." Fherlyn kehilangan kata-kata.

Pengasuh itu mengangguk patuh. Tugasnya hanya mengasuh balita, bukan ikut campur urusan keluarga majikannya.

"Baiklah." Fherlyn mengangguk lalu mulai berjalan keluar. "Aku ingin mandi. Bawa Adara ke kamarku jika sudah bangun."

Pengasuh itu mengangguk lagi.

"Hm, Nona?"

Fherlyn berhenti. Menoleh kembali ke arah pengasuh yang namanya ia lupakan. Ingatan Fherlyn memang sangat payah, ditambah pengasuh itu baru dua hari yang lalu bekerja padanya. Jadi, hal yang normal, bukan? Fherlyn membela dirinya.

"Sebelum Anda berangkat tadi pagi, saya sudah mengatakan bahwa susu Adara habis." Pengasuh itu berusaha mengingatkan dengan sangat hati-hati di setiap kata-katanya.

Fherlyn menepuk kepalanya sambil menggerutu dalam bentuk gumaman lirih yang tak jelas. Ya, pagi tadi pengasuh anaknya memang sudah memberitahunya dan ia lah yang akan membelinya sendiri sepulang dari pemakaman. Tetapi, karena Arsen mengacaukan pikirannya, dan membuatnya ingin segera pulang ke apartemen untuk melihat wajah Adara, hingga lupa membeli susu tersebut. "Bisakah kau membelikannya di supermarket terdekat. Aku akan menunda mandiku dan menjaganya sambil menghubungi mamaku."

"Baiklah, Nona."

***

"Seorang pengasuh?" Arsen mengulangi laporan pengawalnya dari telepon genggam di telinganya. "Kauyakin bukan seorang pelayan?"

"Tidak,Tuan. Saya melihatnya membeli beberapa kotak susu balita di supermarket sekitar."

Arsen melengkungkan alisnya. Jelas sekali ia terkejut dengan informasi kedua. Pengasuh, lalu membeli kotak susu. Wanita itu baru saja kembali ke negara ini dan lihatlah seberapa banyak kejutan yang dibawa Fherlyn ke dalam hidupnya kali ini?

Tidak, Arsen berusaha mengendalikan kecurigaan yang mengobrak-abrik hatinya. Ini tidak mungkin. Wanita lemah itu tidak mungkin sanggup menipunya mentah-mentah seperti ini. Anak itu pasti sudah mati? Fherlyn sudah membunuhnya empat tahun yang lalu? Meskipun itu darah daging yang tak mereka harapkan kehadirannya, tetap saja anak itu adalah anaknya. Dan rasa kehilangan itu pasti ada. Begitupun kebenciannya pada Fherlyn dan dirinya sendiri karena mereka berdualah anaknya itu terbunuh.

Pergulatan dalam benaknya semakin menjadi ketika satu pertanyaan menggantung mengerikan di atas kepalanya. 'Apakah anaknya masih hidup?'

"Cari tahu lebih detail kenapa pengasuh itu bekerja di sana."

"Beberapa hari yang lalu nona Fherlyn mencari seorang pengasuh melalui agen, dan dua hari yang lalu pengasuh itu mulai bekerja. Dan saya sedikit kesulitan mencari tahu tentang anak yang diasuh. Keamanan apartemen sedikit menyulitkan saya."

"Oh, ya?" sinis Arsen mulai marah. Dalam hitungan detik kemarahannya jadi lebih mudah tersulut. "Apa itu membuatmu berhak mengeluh sekarang?"

"Tidak, Tuan. Saya akan menghubungi Anda secepat mungkin."

"Kau tahu aku bukan penyabar yang baik, Rey. Hubungi seseorang di bandara dan cari tahu siapa yang datang bersamanya. Akan lebih baik jika kau mendapatkan gambar dari cctv sekitar."

"Baik, Tuan. Akan saya usahakan untuk menghubungi Anda dalam tiga puluh menit."

"Bagus." Arsen mengakhiri panggilan dan melempar ponselnya di ranjang. Dadanya bergetar. Frustrasi dan marah dengan kecamuk yang memenuhi kepalanya.

"Sebaiknya itu bukan anakku, Fherlyn," geram Arsen. Tangan kanannya terkepal di paha sedangkan tangan kirinya yang tenggelam di antara rambut kepalanya mengencang erat. Memberi rasa sakit di kulit kepala Arsen demi usahanya menjernihkan pikiran. "Atau aku akan membuatmu membayar setiap kebohongan itu dengan harga yang sangat mahal," sumpah Arsen.

"Dan kali ini, kupastikan kau tidak akan bisa melarikan diri ataupun bersikap pengecut dari kemarahanku. Kupastikan kau memperbaiki kecerobohan itu seorang diri dan aku akan menjadi penonton yang baik."

Setiap menit yang berlalu bagaikan seutas tali yang mencekik leher Arsen. Beruntung Rey menghubunginya dua puluh lima menit kemudian. Mengatakan bahwa ia sudah mengirim beberapa gambar dari cctv dan foto paspor mengenai anak itu ke ponselnya. Arsen mengakhiri panggilan. Beberapa notifikasi pesan baru dari Rey muncul dan Arsen langsung membukanya.

Gambar pertama yang sepertinya diambil dari cctv apartemen. Menunjukkan Fherlyn yang tengah melintasi lobi apartemen sedang mendorong kereta anak dalam kondiri tertutup. Membuatnya kesulitan mengetahui wajah bayi yang ada di dalamnya. Gambar kedua masih dengan pakaian yang sama tapi di lift. Kemudian gambar ketiga membuat Arsen tersambar petir.

Foto paspor bayi yang tengah tersenyum dengan informasi anak yang cukup detail bagi Arsen untuk mencari tahu jati diri bayi itu. Kepalanya mulai menghitung tanggal kelahiran bayi itu dengan kepergian Fherlyn.

Fherlyn menghilang dengan usia kandungan yang mencapai dua bulan dan bayi itu lahir enam bulan kemudian di tahun yang sama. Semua tepat, tak meleset, dan ia bahkan tak perlu melakukan tes DNA untuk memastikan itu anaknya atau bukan.

Jika Arsen menjajarkan foto ketika ia masih bayi dengan bayi itu sekarang, Arsen yakin kedua foto itu tidak memiliki perbedaan sedikit pun kecuali dengan jenis kelamin mereka.

Arsen meremas ponselnya. Bersumpah dalam geraman tertahannya di tenggorokan. "Sialan kau, Fherlyn. Kau benar-benar menggali kuburanmu sendiri."

***

Pagi itu Fherlyn terbangun lebih siang dari biasanya. Setelah meregangkan tubuhnya ia duduk terdiam di ranjang. Menunggu sesuatu tertangkap oleh indera pendengarannya.

Satu-satunya suara yang menyambut pagi hari dan membuat hatinya dipenuhi kebahagiaan adalah suara putrinya. Adara selalu bangun lebih dulu. Menyelesaikan sarapannya saat ia selesai mandi dan muncul di dapur.

Namun, suasana apartemennya tampak senyap. Tak ada suara celotehan Adara, tak ada suara pengasuhnya ataupun suara pelayannya yang sibuk di dapur. Setidaknya ia biasa mendengar suara pelayannya menyalakan mesin juicer untuk minumannya.

Mungkin putri kecilnya itu masih tertidur. Fherlyn pun turun dari ranjang dan berjalan keluar. Kesenyapan yang tak mengenakkan mendadak melingkupi hati Fherlyn ketika mengedarkan pandangan pada seluruh sudut apartemennya yang luas. Tidak ada siapa pun di dapur. Apa mungkin pelayannya terlambat bangun juga?

Fherlyn memanggil pelayannya hingga dua kali dan jantungnya berdebar ketika tak mendapatkan jawaban. Mungkin pelayannya sedang keluar untuk belanja karena bangun kesiangan, tapi lagi-lagi kemungkinan itu membuat hati Fherlyn sangsi. Udara di sekitarnya terasa tak seperti biasanya. Ada sesuatu yang janggal di hati Fherlyn.

Kejanggalan itu terbukti ketika mata Fherlyn tanpa sengaja melihat ujung kaki di lantai dan segera berjalan memutari pantry. Fherlyn tersentak melihat pelayannya berbaring di lantai dalam kondisi tak sadarkan diri. Bersimpuh di dekat pelayannya dan berusaha menyadarkan dengan menggoyang-goyangkan tubuh pelayan itu. Pelayannya tak juga menunjukkan tanda akan terbangun dalam waktu dekat.

"Adara?" Fherlyn teringat anaknya dan langsung melompat berlari menuju kamar anaknya. Terkejut setengah mati melihat boks anaknya yang kosong dengan pengasuhnya yang terduduk di kursi dalam kondisi kaki dan tangan yang terikat. Mata terpejam dan kepala jatuh ke bahu dengan lunglai.

"Tidak. Anakku!" Fherlyn menggeleng-gelengkan kepala dengan panik. Bergegas membuka tali yang mengikat pengasuhnya yang tak sadarkan diri. Fherlyn menggoyang-goyangkan keras tubuh pengasuh itu, menepuk-nepuk pipi agar pengasuhnya segera bangun.

Merasa putus asa, Fherlyn menjerit dalam tangisannya, "Di mana anakku?!"

Pengasuh itu menggerakkan matanya dan perlahan mulai sadar.

"Di mana anakku?" Fherlyn bertanya menggebu di antara tangisannya.

"Seseorang ... orang itu membawanya. Orang-orang itu membawa Adara, Nona."


***


Yang punya akun Dreame, jangan lupa mampir, ya. Jangan lupa tap Lovenya juga. Gratis kok.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top