Bab 8

Kamu kapan?

So … Mas Seno sudah move on dari keponakanku?” Meski sudah memperkirakan pertanyaan tentang Raras, tapi Seno tak menyangka bahwa Lita akan menanyakan malam ini. Ketika mereka berdua terjebak berdua di dalam  mobil menuju kediaman Lita. Dari sudut mata, ia melihat perempuan itu sepenuhnya menghadap dirinya dan bersandar di jok mobil.

Sesekali Seno melirik perempuan yang terlihat nyaman di dalam mobilnya. Berbeda dengan Raras ataupun perempuan lain yang pernah berada di posisi yang sama.

“Apa yang membuat kamu berpikir kalau saya belum move on dari Raras?” jawabnya. Ia sungguh ingin tahu apa yang Lita ketahui atau tidak tentang kedekatannya dengan Raras.

“Saya itu tanya! Don’t answer my question with question,  dong! Ini murni karena penasaran!” 

Seno terbahak-bahak mendapati kejengkelan terlihat jelas di wajah Lita, membuatnya terlihat lebih menarik di matanya. Terkadang sekretaris kakaknya bisa bersikap menggoda, ketus, bahkan juga penyayang, dilihat dari interaksinya bersama Hani. Di mata Seno, Lita memiliki banyak sisi, dan ia ingin mengetahui setiap sisi perempuan yang masih memandangnya dengan jengkel.

“Eh, saya boleh tanya sesuatu, Mas?” Ia mempersilakan Lita yang memandang tajam ke arahnya. “Kenapa kemarin enggak jadi sama Raras?”

“Jawaban jujur?!” Senyumnya semakin merekah saat melihat anggukan Lita. “Keponakan kamu itu terlalu baik. Lagian untuk saat ini, saya tidak atau belum berniat untuk mencari istri.” Ia tahu Lita tersentak saat mendengar jawabannya, karena mungkin baginya, Seno pria yang tidak layak untuk menghabiskan waktu. Karena hingga saat ini masih belum bisa menentukan apa yang dicarinya. Namun, setelah beberapa saat, ia mendengar jawaban perempuan tersebut.

“Mungkin itu yang membuat Mas Seno dan Raras enggak berjodoh. Karena kalian berdua tidak memiliki tujuan yang sama,” kata Lita pelan. Sesekali Seno melihat perempuan yang termenung memandang jendela sebelah kiri setelah ia menanyakan arah menuju ke rumahnya, meski ia sudah mengetahui itu.

**

Seno bersandar pada pagar balkon yang menghadap apartemen yang ia biarkan dalam keadaan gelap, setelah  mengantar Lita pulang satu jam yang lalu. Ia menghela nafas berat sebelum memejamkan mata untuk menikmati kesendiriannya, seperti selama ini. Namun, ada yang berbeda malam ini, karena setiap kali ia memejamkan mata, bayangan perempuan berkebaya navy muncul dan mengusik pikirannya.

Mungkin kita memang harus bertemu yang salah dulu, dengan begitu kita siap jika bertemu dengan yang tepat.  Seno bisa mendengar suara Lita dengan jelas, bahkan ia bisa melihat senyum yang mengiringi setiap kata  perempuan itu beberapa jam lalu. Kemunculan Lita dan kenyataan bahwa apa yang disampaikan perempuan itu sebenarnya masuk akal, membuatnya memikirkan tentang mencari dia yang tepat  untuknya. Karena semakin banyak orang yang mulai usil menanyakan sesuatu padanya.

Selama ini, ia sering mendapatkan cerita keluarga yang selalu menanyakan, kapan nikah. Namun, semuanya terjadi pada perempuan, bukan pria. Bahkan Ganin pun tidak mendapatkan pertanyaan semacam itu.

 Ternyata di usia empat puluh lima tahun tidak membuatnya terbebas dari pertanyaan kapan nikah. Seolah-olah tidak ada pertanyaan yang lebih berarti ketimbang, kapan nikah. Setiap berkumpul bersama para sepupu yang sudah memiliki anak atau bertemu dengan adik atau kakak dari mendiang papanya, pertanyaan itu akan selalu ditujukan kepadanya.

Bahkan ketika bertemu dengan beberapa relasi kakaknya pun, ia terkadang mendapatkan pertanyaan yang tidak ingin dia jawab sampai kapanpun. Bahkan di sepanjang acara resepsi pernikahan Hani, beberapa relasi Adipati berusaha untuk mengenalkannya pada anak atau adik perempuan mereka.

Karena tidak ingin meninggalkan kesan yang salah, Seno hanya tersenyum dan mencoba menjawab dengan sopan, sampai ia melihat kesempatan untuk berkelit dan melarikan diri. Ia tidak pernah menentang sebuah perjodohan, asal tidak terjadi padanya. Karena mencari istri adalah hal terakhir yang ia butuhkan saat ini.

“Nang, sampai kapan kamu mau sendiri?” tanya sang mama yang duduk di depannya. Setelah makan siang yang selalu ia usahakan sekali dalam seminggu di rumah mamanya. Perempuan yang selalu terlihat ceria itu tampak sedih setiap memikirkan kesendirian anak terakhirnya.

“Enggak pengen nikah lagi?”

Di hadapan orang lain, Seno bisa memasang topeng apa pun yang diinginkannya. Namun, jika berhadapan dengan sang mama, ia tak akan mampu melakukan itu. Meski ia berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja menghabiskan sisa usianya sendiri. Seno mengajak mamanya untuk duduk di kebun belakang, tempat yang selalu membawa ketenangan bagi perempuan yang senang berkebun itu.

“Jangan salah sangka, anak Mama ini bukan enggak pengen nikah lagi. Hanya saja hingga saat ini, belum ada satu perempuan yang bisa ngalahin kedudukan Mama di hatiku.”

Wajah sedih mamanya segera berubah marah karenanya. Seno puas melihat kesedihan yang muncul setiap kali mamanya membahas tentang pernikahan itu pun menghilang.

“Serius, Nang. Mama pengen bisa lihat kamu nikah ….”

Namun, sepertinya siang ini semua taktiknya tidak ada yang berhasil, karena bukan hanya sedih yang ia lihat. Karena air mata membasahi pipi perempuan yang segera dipeluknya dengan erat.

“Jangan tolak jika dia datang, Nang. Setidaknya itu yang bisa kamu lakukan.”

Ingatan makan siang beberapa hari lalu membuat Seno kembali memikirkan semua yang Lita ucapkan. Untuk pertama kalinya, Seno bertemu dengan perempuan yang ingin cepat menikah. Bukan karena ia tidak laku, tetapi karena ia tahu apa yang diinginkannya. Di satu sisi, ia mengagumi pola pikir Lita. Namun di sini yang lain, ia merasa tidak bisa memahami keinginan menikah dengan seseorang tanpa melewati proses berpacaran. Karena berdasarkan pengalaman pribadinya, meski melewati proses berpacaran pun, orang bisa salah memilih. Seno tak bisa membayangkan jika menikah dengan seseorang yang belum terlalu dikenalnya. Karena ia tak mau melewati proses perceraian untuk kedua kalinya.

***

Berbeda dengan Seno, Lita merasa terlalu bahagia hingga sulit untuk memejamkan mata. Bayangan menghabiskan waktu berdua bersama pria yang tak melepas pandangan selama mendengarkannya berbicara tentang keinginannya. Sesuatu  yang ia sesali malam ini, karena  mengatakan tentang belok kiri langsung. Prinsip yang ia pegang semenjak memasuki masa puasa kencan.

Mungkin karena merasa tertinggal atau juga karena ia merasa sudah waktunya berhenti bermain-main dan mulai menata hidup. Ia tak mau lagi menghabiskan waktu dengan bertemu dan saling mengenal jika hanya berakhir dengan perpisahan. Lita selalu berdoa untuk bertemu dengan pria baik yang mengerti dirinya dan ingin saling mengenal sepanjang sisa usia mereka bedua.

Ia tidak menampik bahwa hatinya tertarik pada adik kandung atasannya, tapi Lita juga menyadari bahwa pria itu tidak memiliki prinsip seperti dirinya. Mendengar Seno mengatakan tidak ingin salah pilih, membuatnya memiliki dugaan bahwa pria gagah itu pernah meresa kecewa.

Happy reading guys
Tinggal 2 bab lagi, karena sisanya bakalan ada di versi cetak. Biar bisa puas peluk Mas Seno nanti.

Thanks
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top