Bab 4

Senopati prawirokusumo

Ia masih bisa mengingat keramaian pengunjung di malam pembukaan beberapa bulan yang lalu. Seno harus mengakui, lokasi yang Rendi—owner Insight—pilih sangatlah tepat. Berada di salah satu komplek apartemen di Surabaya Barat, tidak jauh dari BDG, superblock Pakuwon Mall dan Citraland.

“Pilihan yang tepat,” gumam Seno ke arah pengunjung yang mulai berdatangan. Pria yang malam itu terlihat menawan tak bisa melepas pandangannya dari wajah-wajah puas menikmati menu dan menyesap wine pilihan yang mereka tawarkan.

Bangunan berbentuk L dengan salah satu dinding dari kaca memudahkan siapapun untuk melihat area indoor ataupun outdoor. Konsep industrial look dengan dominasi warna hitam menonjolkan tekstur lantai kayu yang mereka pilih. Penempatan lampu di titik tertentu membuat pendaran cahaya terlihat indah di malam hari.

Sempat ada keraguan saat ia setuju untuk menanamkan modal di restaurant and wine bar dengan konsep  fine dinning. Karena ini untuk pertama kalinya ia mendapatkan penawaran semacam ini. Ia bukan penikmat minuman beralkohol, karena itu membuatnya tidak bisa fokus dengan apa yang sedang dikerjakannya. Namun keraguannya segera terhapuskan saat melihat kerja sama anak buahnya merencanakan satu lagi tempat yang akan menghasilkan uang untuk mereka.

Sebagai pengusaha ia harus  jeli dalam memandang sebuah kesempatan yang datang padanya. Seno memerlukan dukungan dari banyak orang di belakangnya, termasuk Ganin yang menjadi partner keja semenjak ia memutuskan untuk keluar dari bisnis keluarga sebagai pemilik pabrik farmasi terbesar di Indonesia Timur.

Bentakan sang mama membuatnya kembali mendengarkan omelan mamanya. Perempuan yang selalu memberikan dukungan meski tidak pernah lelah memberi nasihat seputar kehidupannya. Seperti saat ini ketika dalam perjalanan pulang dari  lokasi kelas memasaknya. Seno hanya mendengar sambil lalu tentang ketiadaan pasangan yang selalu menjadi perhatian sang mama mulai membuatnya merasa jengah. Ingin ia meminta Hana—mamanya—untuk berhenti membahas tentang kehidupan cintanya, tapi ia tak memiliki keberanian untuk melawan ibunya, lagi. Setelah terakhir kali ia melakukan itu, hanya sakit hati yang dia dapatkan.

“Mama enggak capek bahas itu terus?” tanya Seno dengan santai. Dia melirik mamanya sekilas sebelum kembali konsentrasi membelah jalan daerah Galaxy Mall. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia lanjut tersebut berpaling dan mengernyitkan kening.

Wis to, Nang! Opo ora pengen duwe bojo maneh?[1] Apa enggak pengen ada yang nemenin tidur kalau malam hari?Tawa Seno terdengar kencang di telinga sang mama. perempuan yang selalu terlihat modis itu  melotot ke arah Seno.

“Mana Mama tahu tiap malam ada yang nemein aku tidur atau enggak. Iya, kan?”

Ya Allah … tobat, Nang. Tobat! Ojo aneh-aneh, wis tuo, isin karo umurmu![2]” Setiap kali mendengar sang mama berbahasa jawa, ia selalu tertawa. Mengingat tak seorangpun dari saudara dan keponakannya yang bisa berbahasa jawa. Sedangkan sang mama yang berdarah jepang, fasih berbahasa daerah tersebut.

“Ma … nanti pasti ada. Seno yakin itu,” jawabnya.

“Kapan? Bener Hani, kamu itu pria gamon.”

Di balik tawa yang menderai dari bibirnya, Seno tak bisa menghilangkan anggapan mamanya. Benarkah ia pria gagal move on yang hanya terpaku pada satu perempuan. Ataukah ia tidak memiliki keberanian untuk memulai kembali, karena Seno tak ingin mempertaruhkan hidupnya kembali pada seseorang.

Meski berat untuk mengakui, terlintas di pikirannya bahwa Raras adalah pilihan yang tepat baginya. Ia sudah bersiap untuk mempertaruhkan hatinya saat pada akhirnya kenyataan menerpa mereka berdua. Berteman jauh lebih tepat bagi Keduanya.

Nang!” bentak sang mama membuatnya terkejut. Perempuan yang selalu memanggilnya Nang—dari kata lanang yang berarti laki-lakitersebut memandangnya tajam.

“Apa, sih, Ma!” jawab Seno setelah mematikan mesin mobil dan sepenuhnya menghadap sang mama yang memandangnya dengan geli.

“Mama itu dari tadi tanya, kamu enggak apa-apa? Tadi ketemu Raras sama suaminya, kan?”

“Sudah punya pacar belum?” Langkahnya terhenti mendengar pertanyaan Raras. Ia memutar tumitnya dan terheran-heran melihat sepasang suami istri dengan ekspresi yang berbeda. Raras terlihat bersemangat, sedangkan Radit di sebelahnya terlihat menahan marah.

“Jangan bilang kalau kamu butuh selingkuhan, ya!” goda Seno ke arah Raras yang semakin membuat wajah suaminya terbakar emosi. Terlihat dari semakin keras ia mengetatkan rahang. Entah kekuatan apa yang Raras punya, hanya dengan satu lirikan, Seno melihat Radit membatalkan apa pun yang hendak diucapkannya saat itu.

Seno bersiap untuk menertawakan Radit, tapi saat melihat wajah suami Raras, ia tertegun. Bukan jengkel atau marah yang terlihat di wajah pria itu. Sorot mata Radit terlihat berbeda, ia belum pernah melihat seorang suami memandang istrinya seperti pria di hadapannya saat ini. Cinta. Seno berpikir, mungkin itu yang ia lihat di mata Radit.

Seketika ia merasa ,iri.

“Ma … selama ini, aku sama Raras enggak ada apa-apa juga. Jadi anak mama yang paling ganteng ini enggak apa-apa, meski ketemu mereka berdua. “

Selama ini sang mama selalu bilang ia membosankan, karena sulit untuk diajak bercanda atau bersantai. Namun yang sebenarnya adalah, ia takut untuk terlalu membuka diri. Meski pada mamanya sendiri. Karena ia merasa telah melakukan dosa besar ketika melawan sang mama demi perempuan yang pada akhirnya menyakiti hati.

Semenjak kembali ke Surabaya, Seno jarang berinteraksi terlalu banyak dengan mamanya. Ia berusaha untuk tetap datang setiap kali Hana memintanya, tapi Seno akan lebih banyak diam. Rasa bersalah telah membuatnya berubah.

“Nang … dengerin Mama dan jangan dipotong!” perintah mamanya. Seno menuruti dan sepenuhnya menghadap sang mama. “Mama tahu selama ini kamu masih merasa bersalah. Yang ingin mama sampaikan sekarang adalah, berhenti Nang. Berhenti merasa bersalah. Karena apa pun yang sudah terjadi, sudah seharusnya terjadi. Pernikahanmu, kemarahan Mama hingga kegagalanmu waktu itu, semua sudah berjalan semestinya—”

“Ma—”

“Jangan potong Mama dulu!” perintah perempuan yang memandang Seno dengan sorot mata penuh cinta. “Mama enggak akan memaksa kamu untuk menikah lagi. Yang Mama inginkan adalah kamu bahagia. Hanya itu!”

Tanpa mengucapkan banyak kata, Seno memeluk mamanya lalu turun dan membukakan pintu untuk sang mama. Setelah memastikan perempuan yang sesekali masih aktif mengurusi bisnis keluarga tersebut aman di dalam rumah, Seno melarikan mobilnya menuju kantor.

Bangunan dua lantai yang terletak tidak terlalu jauh dari Islamic centre di jalan Dukuh Kupang tersebut selalu menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Karena di sini pikirannya bisa terpenuhi dengan pekerjaan dan tidak menyisakan ruang kosong untuk memikirkan yang lainnya.

Hari sabtu, semua staff hanya bekerja setengah hari. terlihat ketika dia membuka pintu kantor, hanya mendapati Ganin yang terlihat sibuk di depan laptop. Pria yang selalu berkata jujur padanya sepahit apa pun kenyataan itu telah menjadi satu-satunya orang yang mengerti tentang kekalutan hatinya.

[1] Sudahlah, Nang. Apa enggak ingin memiliki istri lagi?

[2] Ya Allah … tobat, Nang, tobat! Jangan aneh-aneh, sudah tua, malu sama umur.


Jangan kangen tante dulu ya guys, kita kenalan sama Mas Seno dulu.
Happy reading
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top