Bab 2
Moving on
Kejadian bersama Raras mengajarkan Seno untuk tidak menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang dilakukan dengan setengah hati. Setiap detik terlalu berharga untuk dihabiskan pada sesuatu yang tidak datang dari hati. Ia tidak menyesali semua yang sudah dia lakukan bersama Raras. Namun ia menyesali semua usahanya yang menyeret perempuan itu ke dalam sebuah usaha tanpa ada niat. Meski ia besyukur Raras memiliki Radit yang bisa menarik perempuan itu untuk menjauh darinya.
Seno mengakui apa yang dilakukannya bersama perempuan bersenyum manis tersebut tidak sepenuh hati. Tanpa ada niatan untuk serius, atau belum ada niat untuk serius. Namun, ketika mendengar kalimat Mas merasa saya tidak cukup untuk Mas Seno keluar dari bibir Raras, membuatnya bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang cukup baginya? Atau bahkan apa yang ia cari selama ini?
Satu hal yang pasti, ia tidak mencari cinta. Karena Kebodohannya di masa lalu bukan sesuatu yang ingin ia ulangi kembali. Seno menikmati keberadaan perempuan cantik di sekelilingnya, tapi hanya sebatas itu. Karena ia tidak akan mengizinkan mereka memasuki hidupnya terlalu dalam. Meski harus ia akui, kehadiran Raras hampir saja membuatnya berpikir untuk mempersilahkan perempuan itu memasuki hatinya.
“Mikir Raras lagi?” tepukan yang cukup keras di pundak membuat bayangan senyum Raras segera menghilang. Tergantikan dengan cengiran usil Ganin yang memandangnya dengan ejekan yang tercetak jelas di bibirnya. “Allah sayang Raras itu namanya, karena terhindar dari buaya darat macem kamu.”
“Itu namanya maling teriak maling. Di antara kita berdua sudah jelas siapa paling buaya, karena bukan aku yang sering ngabisin waktu sama perempuan. Ups, salah. Sama perempuan-perempuan.”
Seno memandang Ganin yang tertawa mendengar sindirannya. Karena ia tahu sahabatnya itu tidak akan marah karena apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Meski ia heran dengan kebiasaan Ganin yang satu itu. Namun, bagi Seno, Ganin adalah pria paling jujur yang pernah ia kenal. Selama ini, itulah yang melandasi persahabatan mereka selain kesamaan latar belakang keluarga.
Ganin berasal dari keluarga kaya. Pria keturunan Padang tersebut merupakan anak kedua dari keluarga pengusaha supermarket yang memiliki cabang hampir di semua kota besar di Indonesia. Seperti halnya Seno, Ganin memilih jalannya sendiri. hal itu yang membuat keduanya bersahabat dan sukses menjalankan usaha mereka hingga saat ini.
“Kamu enggak pengen nikah?” tanya Seno. Pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabannya, tapi ia merasa tetap harus menanyakannya. Entah karena dorongan rasa penasaran atau merupakan pertanyaan yang ingin dia ajukan untuk diri sendiri. “Menikah, punya anak, mungkin. Kamu enggak pengen gitu?”
Ganin hampir tersedak mendengar pertanyaan Seno, “Whoooo … stop! Kenapa tiba-tiba bahas ginian?! Kesambet apaan sih? Kamu mulai membuka hati, bukan berarti aku akan melakukan hal yang sama, Sen!”
Seno tertawa terbahak melihat reaksi pria asal Bandung tersebut. Ia tahu topik pernikahan selalu membuat Ganin kelimpungan, karena pria berkulit putih tersebut memiliki waktu hingga tahun depan untuk mencari istri. Jika tenggat waktu yang ditentukan orang tuanya terlampaui, Ganin harus siap untuk dijodohkan. Hal yang membuat Seno semakin keras menertawakan kemalangan sahabatnya tersebut.
“Kamu … pengen nikah lagi?” tanya Ganin tak melepas pandangan darinya. Pria yang memiliki tinggi badan seperti dirinya itu terlihat serius menunggu jawaban. Sedangkan Seno masih terdiam tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir kopi di tangannya.
“Hingga detik ini, aku belum ada rencana untuk menikah lagi, dan kamu tahu itu!” jawaban Seno terdengar tegas dan dingin di telinga Ganin. Namun pria yang sudah dia anggap suadaranya sendiri tersebut tidak terlihat marah dengan sikapnya.
Hanya Ganin yang mengetahui perasaannya tentang sebuah pernikahan. Tak ada satupun dari anggota keluarganya yang mengetahui rencananya untuk tetap sendiri. Meski sang mama tak berhenti untuk berusaha mengenalkannya pada setiap perempuan ataupun janda yang dikenalnya.
“Sen … aku penasaran, sebenarnya kamu sama Raras kemarin … gimana? Karena untuk pertama kalinya seorang Senopati ngenalin perempuan ke kita-kita.” Seno terdiam kembali mengingat sikapnya terhadap Raras yang berbeda. Ia tak tahu apa yang mendorongnya melakukan itu, karena selama ini tak pernah sekalipun ia mengenalkan perempuan yang dekat dengannya pada teman-temannya.
Selama ini ia merasa lebih baik sendiri dan tidak menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran untuk orang lain. Terlebih lagi setelah kejadian yang masih membekas di ingatannya dan tidak akan pernah ia lupakan. Seno pernah mempertaruhkan hidupnya untuk seseorang, dan ia tidak berniat untuk mengulangi kebodohannya lagi. Karena jika harus bertaruh lagi, ia akan memilih dirinya sendiri dan bukan orang lain. Ia memang egois, karena setelah Sheila—mantan istrinya—ia bertekad untuk mencari kebahagiaan diri sendiri.
“Aku akui, perempuan itu berbeda dari semua yang pernah bersamamu. Termasuk waktu pembukaan, Aline, kan?” Mendengar nama Aline membuatnya kembali terdiam. Karena semenjak pertemuan tidak sengaja itu, ia dan Raras bisa berhenti berpura-pura.
“Maaf,” kata perempuan yang jalannya sedikit terhuyung dengan gelas di tangannya. “Maaf … saya terlalu banyak minum sepertinya.”
Layaknya pria sejati, Seno membantunya hingga perempuan yang terlihat menawan dengan gaun lengan panjang berwarna hitam duduk dengan nyaman tak jauh dari tempatnya berada. “Terima kasih,” kata lembut itu memasuki telinganya ketika melepas pegangan tangan perempuan beraroma lembut tersebut.
Dari sudut matanya, Seno melihat perempuan itu menegakkan punggung dan menengadahkan kepalanya memandang langit yang terlihat cerah malam ini. Wajah cantik perempuan yang tidak terlihat terganggu dengan pandangan para pria di sekitarnya tersebut membuatnya tak bisa berpaling. Seno bukan pria suci, ia menikmati tubuh perempuan seperti halnya perempuan menikmati tubuhnya.
Namu, selama beberapa menit, Seno harus mengalihkan perhatiannya ketika Ganin datang membicarakan beberapa hal tentang rapat mereka besok pagi. Ketika pandangannya kembali ke arah perempuan yang semakin malam terlihat semakin sexy, ia tertegun memandang cara perempuan itu menyesap minuman berwarna kecoklatan di tangannya. Karena mata tajam perempuan tanpa nama tersebut tertuju hanya padanya, seolah mengundang untuk melakukan semua yang bisa otak kotornya pikirkan saat ini, dan itulah yang terjadi malam itu. Seno membuat perempuan itu berteriak karena kepuasaan yang diberikannya.
“Percaya enggak kalau aku bilang setelah Aline, tidak pernah ada lagi yang aku bawa pulang,” katanya setelah ingatan perkenalannya dengan Aline—pacar Radit—yang terjadi sebelum jalan hidupnya bertemu dengan pria tersebut.
“No way … beneran?” Seno mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya. “Setelah Raras, aku merasa—”
“Bahaya, Sen! Jangan bilang kalau kamu enggak bisa berdiri lagi?!”
“Nggapleki! Tak giles lambemu, Gan[1]!” Ancaman Seno membut Ganin terpingkal-pingkal. Bahkan untuk pertama kalinya, ia melihat sahabatnya tersebut tertawa hingga mengatakan perutnya kaku. Seno menyandar dan bersedakap hingga pria itu meminta maaf dan kembali duduk tenang memintanya untuk meneruskan kalimatnya. “Berbeda denganmu yang tidak bisa sendiri, aku merasa lebih nyaman untuk sendiri, dan kamu tahu alasannya.”
Di antara semua temannya, Ganin adalah satu-satu orang yang mengetahui cerita hidupnya. Bahkan sahabatnya tersebut yang mengetahui tentang apa yang dirasakannya saat ini. “Raras memiliki sesuatu yang tidak pernah aku temui di semua perempuan yang pernah bersamaku, termasuk Sheila.”
“Kamu jatuh cinta padanya?” Seno dengan tegas menggeleng. “Lalu?” tanya Ganin yang masih memandangnya dengan kening mengernyit.
“Ada sesuatu di diri Raras yang membuatku tertarik. Kekuatan yang terpancar darinya membuatku kagum, karena semua itu berasal dari kebesaran hatinya. Kamu tahu kalau selama ini ia masih mencintai mantan tunangannya?”
Pria itu tersenyum geli memandang Ganin yang menegakkan badan, menyodongkan kearahnya dan memandangnya tajam. “Yang bener?”
Seno mengangguk ketika mengingat pria yang selalu terlihat santai, seolah apapun yang terjadi di sekitarnya tidak berpengaruh padanya. Namun mata tajamnya tak pernah lepas dari perempuan yang ia tahu sesekali mencuri pandang ke arah Radit, pria yang masih bersemayam di dalam hati Raras. Meski pada mulanya ia tidak mengetahui cerita di antara mereka berdua, tapi Seno bisa merasakan sesuatu terjadi di antara keduanya.
Cemburu. Mungkin itu yang ia rasakan sekarang, tapi bukan cemburu karena Raras memilih Radit. Namun, cemburu pada apa yang mereka berdua miliki. Karena itu semua membuatnya berpikir, kapan terakhir kali ia memandang seseorang penuh cinta seperti Radit.
“Move on, Sen! Jangan berhenti di satu tempat. Aku hanya katakan ini sekali, jadi jangan berharap dapat petuah lagi dariku.” Seno mengulum senyumnya mendengar nasihat cinta dari seseorang yang tak bisa berkomitmen pada satu perempuan. Namun ia tahu niat sahabatnya tersebut, jadi ia hanya diam dan bersiap mendengar apapun yang hendak Ganin katakan.
“Jangan biarkan Sheila membuatmu berhenti di satu tempat. Jika saatnya datang untuk menetap, jadikan masa lalu sebagai pelengkap.” Tiba-tiba Ganin berdiri dan menepuk dadanya sendiri, membuat beberapa orang menatap mereka curiga. “Gila, Sen … aku kagum pada diriku sendiri!”
Seno menelan kalimat di ujung lidahnya, setelah melihat Ganin kembali menjadi pria sontoloyo yang ia kenal.
[1] Menjengkelkan! Aku gilas bibirmu, Gan
Yuhuuu ... Kelupaan update.
Yang udah nebak Seno 👏👏 👍👍👍
Kalau yang bingung kok bisa ujug-ujug sama seno ... Bagian awalanya ada di buku U-Turn nantinya.
Jadi, yang penasaran bisa ikutan WL ya teman-teman. Bisa wa ke 0821.3202.4128
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top