Bab 10

Makan siang

Lita terkubur pekerjaan kembali ketika proyek pabrik yang akan segera beroperasi mendapatkan sedikit masalah. Ia memeriksa satu per satu berkas di atas meja hingga tidak menyadari kehadiran seseorang yang memperhatikannya semenjak tadi. Hingga jantungnya terasa berhenti ketika terdengar suara itu kembali. Suara yang terakhir didengarnya beberapa hari yang lalu.

“Kenapa enggak hubungi kemarin?!”

Ia mendongak dan bertemu dengan pria yang memandangnya dengan tajam sambil bersedekap. Matanya membulat mendapati Seno ada di depannya, dengan penampilan serapi biasanya. Kali ini jas berwarna biru navy melapisi kemeja hitam dengan dua kancing yang terbuka. Selama ini ia tak pernah tertarik dengan pria kaku yang selalu terlihat resmi setiap saat, tapi sejak bertemu Seno dalam perjalanan singkat di dalam lift, ia selalu membandingkan semua pria dengannya.

“Saya … aku … lupa, lagian enggak mau ganggu Mas Seno,” jawabnya gugup. Lita melepas kacamata bacanya, “Mas Seno ada janji sama Bapak? Kok, aku enggak dapat informasi itu?” Ia mengecek kalender kegiatan atasannya yang terkoneksi dengan tablet kerjanya selama ini.

“Aku ada janji makan siang sama Nurlita Fauzayah!”

“Em—”

“Sen, ngapain? Kita ada janji, to?” tanya atasan Lita yang keluar ruangan dengan tumpukan berkas menuju meja kerjanya. Pundaknya melorot membayangkan harus mengecek satu per satu berkas tersebut. “Ta, kamu cek ini juga!”

Lita hanya bisa mengangguk pasrah dan membayangkan jam berapa ia akan sampai di rumah malam ini. Namun, ia tak pernah pulang jika Adipati masih ada di kantor, dan bisa dipastikan pria tesebut akan lembur hingga tengah malam.

“Aku lagi sibuk, kamu ada perlu?”

Ia menunduk tak berani melihat interaksi kedua kakak beradik di depan mejanya. Meski matanya tak bisa mengerti satu pun kata dari berkas di tangannya, tapi ia tak berani mengangkat kepala.

“Mau ajak Lita makan siang, Mas.” Lita hampir terpekik mendengarnya, tapi ia segera menguasai diri. Masih pura-pura membaca berkas, ia mendengarkan kedua pria di depannya. Namun, hingga beberapa detik tidak terdengar suara apa-apa.

“Kenapa, Pak?” tanyanya ketika mengangkat kepala dan mendapati kedua orang dengan tinggi badan yang membuat iri memandangnya lekat.

“Kenapa Bapak sama Mas Seno mandang saya seperti itu? ada lipstik di gigi, ya! Aduh, gimana sih. Padahal tadi udah double cek, kok ya masih kecolongan.” Lita mengomel sambil mengaduk-aduk isi tas untuk mencari cermin kecil yang selalu ada di dalam make up pouch-nya.

“Ta!” hardik Adipati yang tidak ia dengarkan. Bahkan Lita hanya meliriknya lalu menjawab apa, sebelum kembali mengecek isi tas. “Ta!” hardik Adipati lagi.

“Apaan, sih, Pak?!” tanyanya dengan nada jengkel karena cermin yang semenjak tadi ia cari tidak ketemu. Sedangkan ia malu jika tidak terlihat sempurna di depan adik atasannya. Ia melirik Seno yang mengulum senyum ke arahnya, ia tak tahu apa yang membuat pria itu terhibur saat ini. Karena yang ada di pikirannya hanya satu, ia malu.

“Kamu saya ijinkan makan siang sama Seno, dengan catatan … bawakan bakso kikil yang biasa kamu beli. Dua mangkok dan awas kalau kamu laporan Ibu!”

Lita membulatkan mata mendapat ancaman tidak masuk akal tersebut, ia bahkan mendapati Seno terbahak-bahak melihat kelakuan kakak kandungnya. Ia tak percaya Adipati merelakan bawahannya untuk makan siang ketika berkas yang mereka cari belum ketemu, demi dua mangkuk bakso.

“Pak … saya,” jawab Lita bingung harus menjawab apa. “Mas tolongin, dong!” kata Lita ke arah Seno yang masih saja tertawa. Bahkan pria itu berlalu setelah berkata akan menunggunya di lobi. Tanpa memedulikan dirinya, Seno meninggalkannya di tengah kegalauan antara perut dan kewajiban lapor pada istri atasannya itu.

“Pergi sana! Jangan lupa bakso lengkap sama gorengan, awas kalau enggak dibawain!”

Dengan langkah gontai seperti menuju ke tiang gantungan, Lita melangkah menuju lift setelah mengganti sepatu hak tingginya dengan sandal plastik berwarna merah menyala.

“Tapi, Pak—”

“Enggak ada tapi tapi, berangkat, lalu beli bakso!”

Beberapa menit di dalam lift, ia berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Ia takut menghabiskan waktu hanya berdua dengan pria yang terlihat semakin gagah siang ini. Ia takut karena kemunculan Seno akan mempengaruhi rasa di hatinya. Ia takut akan semakin tertarik pada seorang Senopati yang membuat tidurnya tidak nyaman hampir setiap malam.

Lita mempercepat langkahnya ketika mendapati Seno tertawa lepas dengan Reza—anak pertama Adipati—tak jauh dari pintu masuk. Tanpa segan, ia melayangkan pukulan ke lengan kanan Seno, yang tentu saja tidak mengaduh kesakitan.

“Aduh!” Lita mengaduh kesakitan, lalu menggosok buku jarinya. “Ngapain ke sini, kalau hanya bikin aku serba salah gini. Kalau Ibu tanya, aku jawab apa, coba!” hardiknya ke arah Seno yang tak terlihat terganggu dengan omelannya. Bahkan pria itu hanya tertawa menerima amarahnya.

“Mas, ka—”

“Sakit, kan? Tahu gitu kok diulangi lagi, sih!” sela Seno, sebelum menarik tangan Lita yang masih terasa sakit. Jantungnya terasa berhenti berdetak ketika pria itu menggosok pelan buku jarinya, lalu bertanya ke arahnya, “Masih sakit?” Lita diam memandang Seno denan mata membulat, sesekali bibirnya terbuka, tapi kemudian ditutupnya kembali.

“Ca, tengok kelakuan papamu dulu sana! Om mau bawa dia makan siang.” [u1] Lita masih terdiam hingga Seno menariknya untuk melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari lobi. Seperti biasa, pria itu membuka pintu untuknya dan memastikan ia telah duduk dengan nyaman sebelum menutupnya pelan. Perempuan bergaun tanpa lengan yang berwarna abu-abu tesebut belum bisa berkata apa-apa, hingga terdengar suara pintu dan Seno kembali menarik tangan di atas pangkuannya.

“Kamu itu … kenapa diulangi lagi mukul Mas gitu?”

Otaknya berhenti ketika mendengar nada kuatir dari suara Seno. Kernyitan kening Lita semakin dalam ketika menyadari perubahan Seno menggunakan kata Mas untuk menunjuk dirinya sendiri, bukan saya ataupun aku.

“Udah enggak apa-apa kok, Mas,” katanya terbata-bata. Lita segera menghapus semua kecurigaan di kepalanya, dan berusaha untuk bernafas dengan normal. Ia tak mau memiliki persaan apa pun saat ini, karena ia tahu kenyataan bisa tidak sesuai yang diinginkannya. Sesekali ia melirik Seno yang terlihat biasa, tidak menunjukkan ada perubahan lainnya.

Mereka memutuskan untuk makan siang di warung bakso kesukaan Adipati, semua karena ancaman kakak kandung pria yang sedang membawa mobil di antara keramaian motor di siang yang terik itu. Sepanjang perjalanan, sesekali Seno meliriknya ketika menceritakan tentang kehebohan Hani dengan pengumuman berhenti kuliah untuk mengikuti suaminya bekerja di salah satu negara Eropa.

Sekali lagi, ia merasa semua orang berubah, kecuali dirinya. Lita tak bisa menghilangkan pikiran tentang hidupnya yang seolah berjalan di tempat. Hilya, Raras, dan sekarang Hani. Ia pun semakin membulatkan tekad untuk tidak berurusan dengan hati saat ini, karena ia ingin mengatur perasaannya terlebih dahulu. Namun, pria yang tampak tidak terganggu dengan keramaian jalanan siang itu mengancam ketenteraman hatinya.

***

Sambil menunggu pesanan mereka, Lita menunduk  memandang bongkahan es batu yang berputar mengikuti gerakan sendok di tangannya beberapa detik yang lalu. Tanpa mengangkat kepala ke arah pria yang memandangnya dengan kening mengernyit.

“Waktu itu kenapa mundur dari persaingan sama Radit, Mas?” Pertanyaan yang terlintas di pikirannya ketika tidak mendengar suara Seno. Lita tersenyum ketika menangkap keterkejutan di mata Seno, meski hanya sesaat sebelum kembali menjadi pria yang membuat jantungnya bermasalah.

“Kamu mencintai Raras?”

“Enggak,” jawab Seno tegas tanpa ada keraguan, dan itu membuatnya semakin penasaran dengan semua perlakuan pria itu selama mendekati keponakannya. Ia masih bisa mengingat bunga dan hadiah yang pria itu kirimkan ke rumah mereka.

“Bunga, makanan hingga mixer mahal, itu bukan iseng, kan, Mas? Atau Mas Seno model pria dengan uang nganggur sampai bingung mau di ke manakan!”

Lita terdiam mendengar tawa lepas Seno begitu ia menutup bibir. Ia tak tahu apa yang membuat pria itu tertawa terbahak-bahak seperti saat ini. Namun, satu hal yang ia tahu, hatinya berdetak kencang setiap kali mendapati pria itu mengarahkan pandangan padanya, karena perhatian Seno hanya padanya.

“Namanya juga usaha. Emang kenapa, iri? Besok saya kirim sesuatu buat kamu.”

“Males!” jawabnya tegas meski dengan senyum terkulum. Ia tidak menampik rasa bahagia yang tiba-tiba muncul mendengar itu. Namun, ia tetap berusaha untuk tidak memasukkannya ke hati.

 
Yuhuuu ... Detik-detik mau aku cut posting yaak.
Jangan lupa ikutan WL U-Turn atau BKL buat yang penasaran ma kelakuan Te Lita dan ending dari Raras.

Enggak harus beli bundling kok, jadi teman-teman bisa beli hanya salah satu.

Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top