Bab 1
Nurlita Fauzayah
Dalam waktu sekejap, hidupnya berubah. Tidak ada lagi yang sama dalam hidupnya kecuali pekerjaannya sebagai sekretaris di salah satu perusahaan farmasi. Raras pindah ke apartemen suaminya dan Hilya mengikuti Indra untuk kembali ke rumah mereka. Hanya Lita di rumah peninggalan kedua orang tuanya bersama Simbok yang sudah puluhan tahun ikut bersama keluarganya. Tanpa suami ataupun kekasih, ia bahkan memutuskan untuk menghindari dunia kencan yang telah mengecewakannya beberapa kali.
Pagi ini, ia duduk di meja makan yang tampak terlalu besar untuk dirinya. Ia mengedarkan pandangan ke setiap kursi tak berpenghuni yang menemaninya sarapan. “Ya ampun, baru seminggu udah enggak kuat aku tinggal sendiri,” ucapnya entah pada siapa. Meski setiap hari Raras akan ada di rumah mereka untuk bekerja, ia tetap merasa kesepian. Karena keponakannya tersebut datang ketika ia berada di kantor.
Setelah kebodohannya, Lita mengurung diri hampir setiap malam dan tidak menerima ajakan siapapun untuk sekedar keluar untuk nongkrong mengurai kepenatan. Puasa kencan, itu yang diucapkannya setiap kali ada yang mengajaknya. Bahkan keponakannya pun terheran-heran melihat kelakuannya malam ini.
“Tante sehat?” tanya Raras sambil menempelkan tangan di keningnya. “Enggak demam, kok? Atau perutnya sakit?”
Lita menampik pelan tangan Raras dan kembali membaca novel di tangannya. bahkan ia tidak mengindahkan saat tiba-tiba Raras naik ke atas ranjangnya, menarik paksa novel dan bersedekap dengan mata memicing ke arahnya.
“Apaan, sih?!”
“Ini sabtu, lho?” ia mengangguk menjawab pertanyaan Raras. “Kenapa Tante enggak pergi? Atau nunggu aku pergi biar bisa ngerampok bajuku atau pakai baju kekuarangan bahan seperti waktu itu?”
Baju kekurangan bahan menurut Raras adalah dress pendek dengan tali spagheti yang membentuk tubuhnya dengan sempurna. Ia hanya memakainya sekali karena tantangan dari teman kantornya untuk membuat salah satu manager di kantor mereka tertarik padanya. Ia merasa rugi saat mengetahui bahwa sang manager yang dimaksud tidak tertarik padanya, bahkan pria itu tidak tertarik pada semua perempuan yang berusaha untuk menarik perhatiannya.
“Puasa kencan. Puas?!”
Raras menyentuh kedua pipinya, mulut terbuka dan mata membulat ke arahnya. “Enggak mungkin! Ke mana semua orang ganteng yang selalu menarik perhartian Nurlita Fauzayah. Pergi ke mana pria berumur dan mulai beruban di Surabaya ini?”
“Lebay, sana pergi. Radit udah datang, kan!” kata Lita menarik kembali novel di atas pangkuan Raras.
Dua bulan lagi, Raras dan Radit akan melangsungkan pernikahan. Ia bahagia melihat keduanya terlihat saling mencintai dan serasi. Tidak seperti dua tahun silam, ia bisa melihat cinta Raras untuk Radit, tapi ia tak bisa melihat hal sebaliknya.
Ia tahu dua bulan terlalu lama untuk pria yang berusia dua tahun di atasnya tersebut, tapi keponakannya sudah meyakinkan bahwa untuk pernikahan tetap membutuhkan waktu untuk persiapan. Setelah tarik ulur antara melangsungkan di kafe kepunyaan Radit atau di rumah. Pada akhirnya mereka memilih untuk melaksanakan akad nikah dan juga syukuran di rumah. Dihadiri keluarga dan teman dekat, menjadikan hari pernikahan meraka terasa lebih istimewa.
“Te … yakin kamu enggak apa-apa? Atau ada masalah?” tanya Raras padanya. Sorot mata kuatir keponakannya tersebut membuat Lita tiba-tiba ingin menangis. Namun, ia tidak akan menumpahkan semua permasalahannya kepada siapapun. Tidak Raras atau pun Hilya, meski ia telah tidak sengaja menceritakan pada pria asing yang hingga saat ini ia tidak ketahui namanya.
Lita menyayangi keponakannya, perempuan yang telah mengalami kekecewaan beberapa kali, saat ini sudah bisa tersenyum. Ia tidak akan membuatnya kembali bersedih. “Udah sana, kasihan Radit. Aku emang lagi pengen istirahat aja, sana!” usir Lita.
Keraguan terlihat jelas di wajah Raras, tapi ia segera meyakinkan bahwa malam ini ia hanya ingin bersantai di rumah bersama tumpukan novel yang belum sempat dibacanya. Meski ia tersenyum dengan lebar, Raras tetap berhenti di ambang pintu dan memandang ke arahnya. Setelah beberapa lama, akhirnya ia melihat Raras menutup pintu kamarnya dan Lita bisa menghembuskan nafas lega.
Lita mendengar pintu utama rumah tertutup dan keheningan menyapanya. Lamat-lamat ia mendengar suara Simbok dan suaminya sedang memperdebatkan sesuatu. Seolah sedih yang dirasakannya belum cukup, sehingga Tuhan ingin memperlihatkan satu lagi pasangan yang membuatnya iri.
Ingatan tentang kejadian beberapa waktu lalu membuatnya tertawa sendiri. Pasalnya keinginannya untuk puasa kencan terancam hanya sekedar isapan jempol. Karena ia selalu teringat tentang pria yang membuatnya panas dingin hanya karena hidungnya menangkap aroma parfum setelah pertemuan singkat di lift. Ia mengenali merek parfum pria tersebut, karena ia pun memakai parfum dengan aroma yang hampir sama. Segar, woody dan sedikit aroma citrus.
“Mari ngomong prei kencan kok mikir wong lanang, Ta[1]! Mbok, aku berangkat dulu!” teriaknya ke arah dapur sebelum berjalan menuju mobil sambil berpikir betapa menyedihkan hidupnya. Satu-satunya yang mengantar langkahnya keluar rumah adalah Simbok bukan suami atau pun anak.
Lita harus melewati bundaran Aloha yang padat dan menguji kesabaran setiap kali menuju kantor yang berada di daerah Buduran Sidoarjo. Terkadang saat seperti inilah ia ingin memiliki pekerjaan yang tidak mengharuskannya melewati kepadatan lalu lintas setiap harinya. Seperti Hilya dan Raras yang bekerja sendiri bukan untuk orang lain, tapi ketika mengingat semua perjalanan karirnya hingga menjadi sekretaris bos sebaik Adipati, ia bersyukur. Meski terkadang pria itu menjengkelkan dengan keusilannya selama ini, tapi dia adalah atasan terbaik yang pernah ia punya selama ini.
If I could freeze a moment in my mind
It'll be the second that you touch your lips to mine
I'd like to stop the clock, make time stand still
'Cause, baby, this is just the way I always wanna feel
Lita mengikuti lirik lagu penyanyi asal Filipina tersebut dengan penuh penghayatan. Namun, entah apa yang terjadi pada dirinya, karena saat ini ia justru membayangkan dua mata tajam yang dilihatnya beberapa waktu lalu di pernikahan Raras.
“Ya ampun, Ta. Berhenti mikir laki, kerja, kerja!“ bentaknya pada diri sendiri. Kebiasaan buruknya selama ini, seolah ia memiliki imaginary friend yang siap membalas semua kata-katanya, meski itu tidak akan terjadi.
Ia menekan pedal gas semakin dalam ketika mendapati jalan di depannya mulai lengang, melupakan pria berambut ikal dan kemalangan nasibnya. Karena Lita harus menjadi perempuan ceria, cerdas, dengan percaya diri setinggi langit. Bukan Lita yang mellow, kesepian dan butuh suami. Karena ia tak ingin kecolongan lagi seperti malam itu hingga tanpa sengaja mengatakan betapa menyedihkan hidupnya pada pria asing yang menghantui pikirannya sebelum ia melihat lagi di pernikahan Raras.
Ia membentak diri sendiri dan memerintahkan otaknya untuk bersiap menghadapi pekerjaan hari ini sebelum kembali ke rumah yang sepi tanpa ada teman untuk berbagi cerita.
[1] Setelah berkata libur kencan kok memikirkan pria
Untuk bagian ini, yang sudah baca spin-off di U-Turn pasti enggak bingung kejadian apa gerangan.
😂😂😂
Selamat membaca guys ...
Salam dari Surabaya yang gluduk gluduk dan hujan mulai pagi.
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top