SECOND FIRST DATE
"Aku juga tidak mengharapkan itu darimu, Amia." Gavin tertawa. "Kamu ciuman saja belum bisa. Tidak pernah dicium pacarmu ya dulu?"
"Berisik!" Amia mencubit lengan Gavin.
"Tenang saja, aku akan mengajarimu."
Amia menggeleng-gelengkan kepala dan memilih untuk tidak menanggapi olokan Gavin. Memang benar dia dan Riyad tidak pernah ciuman seperti Gavin menciumnya.
"Aku sudah pernah bilang supaya kamu percaya padaku, Amia. I meant it. Aku tidak main-main dengan hubungan kita sekarang." Tangan Gavin meraih tangan Amia dan menggenggamnya.
***
Gavin pelan mengayuh sepedanya, bersisian dengan Amia. Tadi malam Amia menelepon dan menyuruhnya bangun jam lima pagi. Bangun sepagi itu jelas sesuatu yang tidak mungkin baginya. Maka Gavin memilih tidak tidur semalaman, karena kalau sudah terlanjur tidur, dia tidak akan bisa bangun pagi.
"Enak, kan? Aku lebih suka pergi pagi-pagi begini. Nanti siang bisa santai di rumah. Baca buku. Nonton TV." Amia sengaja memilih rute yang tidak ramai, jadi dia dan Gavin tidak terganggu suara orang tidak sabaran yang hobi menekan klakson.
"Kencan sama kamu modalnya besar juga ya? Aku harus beli sepeda baru." Gavin memukul stang sepedanya.
Pengeluaran yang sebanding dengan apa yang dia dapatkan. Amia menyegarkan matanya pagi ini. Memakai atasan tanpa lengan berwarna putih dan celana pendek selutut berwarna cokelat, rambut panjangnya ditutup topi Panama berwarna putih tulang dengan pita cokelat. Ditambah small backpack berwarna hitam di punggungnya. There is cute sneakers. There is beautiful smile. Gavin tidak keberatan bergadang semalaman untuk menunggu datangnya pagi yang indah seperti ini.
"Amia." Gavin mengulurkan tangan kirinya.
"Apa?" Amia tertawa dan menyambut tangannya.
"Hahahaha nanti jatuh. Gavin, stop!" Amia berteriak-teriak sambil tertawa saat Gavin menambah kecepatan sepedanya sambil menggandeng tangan Amia.
"Gavin!" Kali ini Amia sudah dalam mode panik.
Gavin melepaskan tangannya.
"Ayo balapan." Amia mendahului Gavin, menuju stadion di lingkungan kampus tempat mamanya mengajar.
Bike ride is perfect for first date. Amia tidak ingin memakai gaun dan pergi ke restoran di atap gedung sambil menatap mata Gavin. Juga tidak ingin duduk diam di bioskop, membuang waktu selama dua jam di dalam ruangan gelap seperti itu. Bersepeda membuat mereka tidak perlu memikirkan kalimat untuk basa-basi. Pembicaraan bisa mengalir begitu saja berdasarkan apa yang tertangkap oleh mata. Sejak tadi mereka mengomentari apa-apa yang mereka temui di jalan. Wanita yang berjalan bersama anjingnya, anak-anak penjual koran pagi yang berkerumun di lampu merah, atau foto caleg dengan kumis tebal melintang.
Dengan ramah Amia menyapa sepasang kakek dan nenek yang sedang jogging dan Gavin mengatainya sok akrab. Mereka juga berpapasan dengan beberapa anak muda yang lari pagi dengan telinga tersumpal earphone.
"Jangan sok akrab dengan mereka." Gavin mememperingatkan saat mereka melewati dua anak kuliahan yang sedang berlari.
"Lewat sini." Amia membawa sepedanya masuk ke stadion melalui sebuah pintu kecil di sisi barat.
"Kamu hafal sekali." Gavin mengikuti Amia.
"Mama ngajar di sini, aku suka ikut waktu masih kecil dulu. Bawa sepeda dan berkeliaran sampai ke sini." Amia menjawab, memarkir sepedanya di samping kanan pintu masuk dan tidak lupa mengambil botol minumnya. Di pinggir lapangan ada banyak laki-laki yang sedang memasang sepatu.
"Aku mau lari." Gavin memperhatikan orang-orang di lintasan lari.
"Aku tunggu di sana ya?" Amia menunjuk tribun di sebelah kiri.
"Kamu tidak bisa lari?"
"Males." Amia naik tangga dan memilih duduk di tempat yang paling tinggi, memperhatikan Gavin, yang terlihat kecil, yang sedang berlari mengelilingi lapangan bola.
Gavin melambaikan tangannya saat melewati tempat duduk Amia dan Amia tersenyum lebar melihatnya.
***
"Capek, ya?" tanya Amia saat Gavin sudah muncul di puncak tangga.
Gavin mengangguk dan duduk, memperhatikan orang-orang yang mulai berdiri di lapangan. "Siapa yang main bola?"
"Mungkin mahasiswa." Amia juga tidak tahu.
Gavin mengambil tas Amia yang berada di antara mereka dan menggeser duduknya.
"Ini isinya apa?" Gavin memegang tas Amia.
"Air, cokelat, sunscreen, dompet, lipstik, salep, band aid, banyak." Amia menjelaskan.
"Terdengar seperti toko daripada tas."
"Berisik! My bag is my lifesaver." Kalau wanita mau, mereka bisa memasukkan seisi dunia ke dalam tas mereka.
"Menurutmu, di antara dua tim itu siapa yang akan bikin gol duluan?" Gavin menunjuk lapangan.
"Yang pakai rompi hijau." Amia menjawab. Dia tidak tahu, hanya asal menebak saja.
"Kalau mereka cetak gol duluan, aku traktir kamu sarapan," kata Gavin.
"Kalau nggak?"
"Kamu yang traktir aku."
"Oke. Tapi kamu jauhan dikit duduknya, kamu keringetan." Amia mendorong Gavin, yang semakin merepat padanya, menjauh.
"Kenapa? Kamu tidak suka keringatku? Kata teman-temanku dulu, ini seksi." Gavin menarik Amia mendekat dan melingkarkan tangannya ke leher Amia. Sampai hidung Amia menabrak dadanya.
"Lepas." Amia berusaha melepaskan diri. "Gavin, please!"
Gavin tertawa sambil tetap mengurung kepala Amia di dadanya. Topi Amia terlepas dan jatuh ke lantai.
"Gavin, aku bisa mati! Nggak bisa napas!"
Sebelum orang-orang datang ke sini karena Amia berteriak semakin keras, Gavin melepaskan tangannya, lalu mengambil topi Amia yang tejatuh.
"Kamu harus traktir sarapan, Amia." Gavin menunjuk gawang. Jagoan Amia kemasukan bola.
"Nggak ada untungnya pacaran sama bos," keluh Amia.
"Memang kamu pikir apa untungnya?" Gavin memakaikan topi ke kepala Amia.
"Ya paling nggak makannya kamu yang traktir. Masa aku tekor juga macam pacaran sama mahasiswa."
"Perjanjian tetap perjanjian." Gavin menekan topi Amia sampai menutupi dahinya.
"Nyesel aku pacaran sama kamu." Amia mengerucutkan bibirnya.
"Apa kamu bilang?" Gavin menggelitik pinggang Amia.
Amia berdiri dan berjalan menjauh dari Gavin.
Gavin memperhatikan Amia yang berdiri sambil menyandarkan perutnya pada pagar tembok pembatas tribun dengan lapangan. Baginya, belum pernah matahari terbit seindah ini.
***
"Di sini." Amia memarkir sepedanya begitu saja di depan kepala mobil pick up.
"Aku suka makan bubur ayam di sini sama Adrien. Daisy juga suka." Amia mengajak Gavin bergabung dengan orang-orang yang duduk di kursi plastik di trotoar.
"Aku pesan dulu." Amia berdiri dan mendekat ke mobil pick up.
"Wait. Make it three!" Gavin sedikit berteriak memberi tahu Amia.
"Satu-satu dululah." Amia memberikan piring kepada Gavin.
Gavin memutar badannya, duduk menghadap Amia.
"Kalau langsung pesen dobel, gimana kamu cara makannya?" Amia tidak paham bagaimana jalannya otak Gavin. Mau pakai dua piring?
"Maksudku, sekalian dua piring dijadikan satu di sini. Daripada bolak-balik."
"Astaga! Aku nggak keberatan jalan ke situ aja." Amia mendecakkan lidah. "Kalau tahu kamu makannya sebanyak ini, aku nggak mau taruhan sama kamu seperti tadi."
"Kenapa?"
"Bangkrut aku kalau sering-sering. Gaji lebih banyak kamu, masa aku yang harus traktir? Hari Selasa dulu itu, aku cuma dapat piza. Piza dingin lagi."
"Memangnya harus laki-laki yang menanggung biaya kencan?" tanya Gavin.
"Aku nggak suka sama cowok perhitungan!" Amia menukas.
Gavin tertawa keras sampai orang-orang di sebelahnya menoleh ke arah mereka.
"Aku suka cewek yang suka ngomel. Manis." Apa harus dikeluarkan jurus supaya Amia diam? "Kenapa kamu malu-malu begitu, Amia. Aku jadi punya niat jahat."
"Apa?"
"Menciummu." Gavin menyeringai lebar.
"Mulutmu itu lho. Kedengeran orang," desis Amia, memperingatkan Gavin.
"Jadi kalau tidak kedengaran orang, tidak apa-apa?" Gavin mencondongkan kepalanya sampai dekat ke wajah Amia, memelankan suaranya.
"Apanya?" Dahi Amia mengerut.
Dengan cepat Gavin menempelkan bibirnya ke bibir Amia, lalu menjauhkannya lagi.
"Gavin," desis Amia sambil melotot, dengan panik menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan semua orang sedang sibuk dengan piring masing-masing.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top