PEOPLE DON'T TAKE SHIT AND KEEP IT STORED

"Bawa semua keluar, Mia." Mamanya membuka bagasi mobil dan mulai mengeluarkan belanjaan mereka. Daisy membantu membawa sebagian ke dalam rumah.

Hari Sabtu yang didedikasikan untuk grocery shopping bersama
ibu dan kakak iparnya.

Amia berjalan mengikuti mamanya dan Daisy sambil membawa empat kantong plastik besar di tangan.

"Ada tamu?" Amia mendengar mamanya—yang berjalan di depannya—bertanya.

"Ini yang dulu satu apartemen sama aku, Ma, waktu kuliah. Adik kelasku." Terdengar suara Adrien menjawab.

Amia tidak terlalu peduli, sudah dari dulu banyak teman-teman kakaknya
keluar masuk rumah ini.

"Belum pernah ketemu, ya, waktu Mama sama Papa tengok kamu di sana."

"Dia anaknya sibuk. Suka belajar." Adrien tertawa.

"Meet my bride. Daisy." Adrien mengenalkan Daisy yang berjalan di samping Amia.

Daisy tersenyum, salaman, meletakkan belanjaan yang dibawanya di lantai dan ikut duduk di samping Adrien di kursi kayu di teras rumah.

Amia memilih untuk meneruskan perjalanan dan membuka pintu. Tidak peduli pada teman Adrien yang terhalang tubuh mamanya. Biasanya juga Adrien menyuruhnya menyingkir jauh-jauh. Tidak suka kalau teman-temannya—yang
menurutnya bukan laki-laki yang layak untuk Amia—menggoda
Amia.

"Kalau yang itu Tuan Putri. Harta keluarga paling berharga." Amia membalik badan demi mendengar kalimat Adrien. Wow. Ini kejadian luar biasa.

"Sudah kenal." Amia menjawab begitu melihat teman kakaknya. Mungkin istilah dunia ini sempit sekali itu benar adanya.

"Teman sekantor." Gavin menjawab.

"Atasan di kantor," koreksi Amia.

Daisy dan mamanya ikut bergabung bersama dua laki-laki itu, duduk di teras depan. Sementara itu Amia memilih untuk permisi. Hubungannya dengan Gavin tidak bisa dibilang baik. Karena sikap Amia yang tidak terlalu sopan pada atasannya selama ini.

Setelah meletakkan kantong belanjaan di meja makan, dia
mengambil dua batang Kitkat dan memilih masuk ke kamar.

Ada kiriman gambar dari Vara di ponselnya. Amia tidak sabar menunggu gambar itu sampai sepenuhnya terbuka. Detik
berikutnya Amia mengumpat saat melihat foto Riyad dan istrinya.

Pregnancy shot? Ini sebuah tamparan untuknya. He is happily married. She is single.

"Hoi!" Amia langsung menelepon Vara.

"Tuh laki-laki yang kamu cintai tersenyum lebar sama istrinya." Vara tertawa mengolok.

"Please deh, Var! Ngapain kamu kirim beginian?" Amia sudah tidak ingin melihat wajah Riyad lagi.

Bukankah Vara juga yang
selama ini menyemangati untuk move on?

"Biar kamu sadar bahwa Riyad itu bajingan."

Amia memandang tempat sampah di pojok kamar. Menulisi kertas pembungkus cokelatnya "Riyad" dan menggulungnya, lalu melemparkan ke tempat sampah. He is just garbage. Loser.

Oh, Amia juga menamai jambannya Riyad. Uh, but crap is better than him.

Amia merasa lebih beruntung daripada istri Riyad. Jauh lebih
beruntung. Karena Riyad sudah menunjukkan kelakuan buruknya
sebelum Amia terlalu jauh berhubungan dengannya. Selingkuh.
Pengecut, yang tidak berani membawa Amia ke hadapan
orangtua. Pembohong. Mungkin Riyad menikah bukan karena
paksaan orangtua. Mungkin karena dia memang ingin menikah.
Dengan wanita lain. Bukan Amia.

Tiga tahun bukan waktu yang singkat kalau Riyad mau meyakinkan orangtuanya agar bisa menikah dengan Amia. If someone truly wants to be with us, no external factors can stop them. If it does, that shows the priority they give us.

Betapa payahnya laki-laki yang mau menikah karena dipaksa orangtua. Anak—walaupun lebih inferior posisinya—tetap punya hak untuk menentukan jalan hidup dan masa depan. Bagaimana jadinya kalau Amia punya mertua yang seperti itu? Yang mengatur-ngatur hidup anaknya?

"Am, besok pagi kita lari. Arika sama Tania sudah setuju mau ikutan. Jangan lupa bawa baju ganti." Vara kembali mengingatkan.

"Okay!" Setidaknya besok dia tidak harus melamun di kamar seperti ini.

"Ya, sud. Aku dipanggil Mama." Vara menyudahi pembicaraan mereka.

Amia langsung menghapus foto yang baru dikirim Vara. Laki-laki itu benar-benar tidak lebih dari sekedar kotoran. People don't take shit and keep it stored.

***

Semua orang lengkap duduk mengelilingi meja makan.

"Tumben," gumam Amia saat mendekat. Biasanya mereka hanya berkumpul saat makan malam. Amia terkesiap saat melihat Gavin ada di sana.

Cepat-cepat dia membalik badan dan berjalan kembali ke kamar.Amia mengetuk kepala. Dia lupa kalau Gavin ada di rumahnya. Bergegas Amia masuk ke kamar mandi, cuci muka, lalu menyisir dan mengikat rambutnya.

"Kenapa, Mia?" Mamanya bertanya saat Amia sudah kembali ke ruang makan dan duduk di sampingnya.

"Sakit perut, Ma." Amia menjawab sambil mengisi piring.

"Kalian kuliah satu jurusan?" tanya papanya pada Adrien dan Gavin.

"Iya, Pa. Tapi beda minor. Dia ke listrik, aku komunikasi."

"Langsung kembali ke Indonesia setelah lulus?"

"Sejak kuliah saya sudah kerja di pembangkit ACE. Setelah dari sana, ke Dubai lalu ke sini." Giliran Gavin menjelaskan. Tiga wanita yang duduk di sini hanya menyimak.

Orang pintar macam Adrien, Amia membatin ketika Gavin menjelaskan apa yang dilakukan di Dubai. Karena tidak berbagi gen yang sama, Amia jelas tidak bisa mengikuti kebiasaan papa, mamanya dan Adrien yang suka belajar. Makanya Amia menolak
saat orangtuanya menyuruh kuliah di luar negeri, padahal sudah les bahasa Inggris sampai jago.

Tidak bisa dibayangkan dia harus belajar sepanjang waktu hanya karena kuliah di Berkeley seperti kakaknya. Supaya uang yang sudah dikeluarkan orangtua tidak sia-sia.

"Setelah dari sini pindah ke mana lagi?"

"Belum ada rencana, Om." Gavin menjawab.

"Gavin masih mau cari istri dulu di sini." Adrien tertawa.

"Belum menikah?" Kali ini mamanya yang tampak tertarik.

"Belum, Tante."

Amia sama sekali tidak tertarik ikut dalam percakapan. Seperti yang selalu dia lakukan jika ada tamu datang ke rumah, baik keluarga mama dan papanya, teman-teman mama atau papanya, atau teman-teman Adrien.

Juga kalau Amia ikut pergi ke acara di luar rumah, seperti pertemuan keluarga besar, mama dan papanya mengajak ke rumah teman-teman mereka, Adrien menyuruh menemani datang ke undangan atau acara apa saja yang melibatkan dia dan anggota keluarga ini. Amia memilih menghindar, kalau tidak bisa, dia memilih diam.

Kata adopsi benar-benar meninggalkan luka sendiri di dalam
dirinya. Luka yang membuatnya sulit membuka diri untuk berteman dengan orang lain. Bagaimana tanggapan orang kalau tahu Amia bukan anak dari mama dan papanya? Apakah orang tidak akan lagi memandangnya sama dengan mereka?

Yang dirasakan Amia seperti dia sedang berdiri di luar sebuah
rumah. Di dalam rumah sedang ada pesta ulang tahun, semua orang potong kue, bernyanyi, tertawa, makan-makan, dan bersenang-senang. Sedangkan Amia hanya mengintip dari jendela kaca, kedinginan dan tidak diundang masuk ke dalam. Karena dia bukan bagian dari mereka.

"Ya, kan, Mia?" Suara mamanya membuat Amia kembali ke dunia nyata.

"Kenapa, Ma?" Amia tidak begitu mendengarkan percakapan mereka.

"Kamu tidak punya pacar, kan?" Mamanya bertanya sambil tersenyum.

Amia hanya menggeleng.

"Ma, Mia ke kamar ya, nggak enak badan." Amia mencari alasan untuk pergi dari ruang makan. Bukan tidak mungkin mamanya akan berusaha menjodohkannya dengan teman
kakaknya. Ini bencana.

"Ya sudah istirahat sana. Apa perlu ke dokter?" Mamanya mengizinkan.

"Nggak, Ma." Amia berdiri dan meninggalkan semua orang melanjutkan obrolan di sana sambil diselingi tawa.

Perasaan tidak nyaman muncul tiba-tiba. Amia tidak meragukan bahwa orangtuanya, dan Adrien, menyayanginya. Tapi orang lain belum tentu. Orang lain akan baik padanya saat di depan mama dan papa Amia. Di belakangnya, kalau sudah tahu bahwa Amia bukan anak mereka, reaksi orang akan berbeda.

Reaksi Gavin mungkin akan sama saja dengan mereka.

####

Jika teman-teman menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, teman-teman bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku: Geek Play Love(Dinar/Jasmine), The Danish Boss(Kana/Fritdjof), My Bittersweet Marriage(Afnan/Hessa), When Love Is Not ENough(Lilja/Linus), Midsommar(Mikkel/Liliana), Bellamia(Gavin/Amia) dan Daisy(Daisy/Adrien). Harga mulai dari Rp 25.000,-

Tersedia di: Toko buku, Shopee Ika Vihara(Bebas ongkir), Google Playstore

Atau WhatsApp aku di 0895603879876 juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.

Terima kasih untuk tidak membeli buku/e-book bajakan, dengan begitu aku bisa terus melakukan riset untuk menulis lagi dengan pendapatan tersebut.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top