PAST STAYS IN THE PAST
Do people call it an ego boost, to hear someone is still pining for them? Bagi Amia terasa menyebalkan sekali. Masa lalu adalah masa lalu dan tidak seharusnya orang membiarkan perasaan dari masa lalu mendikte hidup mereka saat ini atau di masa depan. Ada yang bisa dilakukan Riyad untuk sedikit membantu Amia mengurangi rasa sesal. Dengan menghormati istrinya. Paling tidak, Amia akan percaya bahwa dia—dulu—menjalin hubungan dengan laki-laki yang tidak mudah mengkhianati sebuah hubungan. Kecuali dengan alasan tertentu. Menuruti perintah orangtua misalnya.
"Am?" Suara Vara di telinga menyadarkan Amia.
"Sorry, kamu bilang apa tadi?"
"Aku ketemu Riyad."
Tadi Vara pergi nonton bersama dengan beberapa temanteman dari kantor, Amia tidak ikut karena hari ini keluarganya merayakan ulang tahun Daisy dengan makan bersama. Segera setelah sampai di rumah dan masuk kamar, Amia menelepon Vara. Vara menceritakan bahwa Riyad meminta tolong Vara untuk menyampaikan pada Amia agar menerima teleponnya. Atau menemuinya.
Amia mencengkeram erat ponselnya. Memandangi pantulan wajahnya sendiri pada cermin di depannya. Sebelah tangannya yang sedang menyisir rambut berhenti. Meskipun malas-malasan mendengarkan, Amia bisa menangkap inti dari cerita Vara.
"Jadi, Am, tadi aku bilang sama dia bahwa kamu sudah punya pacar lagi dan—"
"Hah?!" Amia menegakkan punggungnya. "Aku bilang kamu sudah bahagia dan nggak ingin berurusan dengannya. Dia shock. Tapi masih bisa nanya siapa pacar kamu dan apa kamu mencintainya."
"Astaga, Var!" Amia tidak tahu harus berkata apa.
"Amia pacaran dengan teman sekantor dan mereka saling mencintai. Aku bilang lagi bahwa jelas Amia akan memilih pacar barunya, karena pacar barunya belum beristri. Gees, aku ceramah di muka bioskop. Meski dia cerai dengan istrinya dalam minggu ini, kamu nggak akan bisa menerimanya, karena sudah mencintai orang lain yang lebih baik."
"Orang lain yang lebih baik?" Amia tertawa.
"Intinya, kubilang, medan pertempuran kalian sudah berbeda. Riyad harus memenangkan pernikahannya, karena Amia sudah menang dari perang melawan sakit hati karena laki-laki tidak tahu diri. Aku nggak tahu apa dia percaya sama yang kubilang, Am. Tapi yang pasti ... dia juga terlihat patah hati. Seharusnya dari dulu kamu bilang kalau kamu punya pacar. Efektif."
Bukan hanya masalah Amia punya pacar yang bisa membuat Riyad mundur. Amia yakin itu. Sebagian besar disumbang ceramah Vara. Pasti Riyad malu sekali dan jika Riyad tidak mengindahkan imbauan Vara, sudah pasti kejadian tersebut akan terulang. Tidak menutup kemungkinan Vara akan berani ceramah di depan istri Riyad—jika tidak sengaja bertemu juga.
"Aku nggak bisa bicara kayak gitu waktu terakhir ketemu dia."
"Ya pasti. Karena kamu setengah benci setengah cinta. Aku harap setelah ini dia berhenti mengganggumu. Ingat, Am, kalau nggak sengaja ketemu Riyad, dan dia tanya soal pacar, jangan gagap jawab. Kalau perlu bikin skenario dari sekarang, karang nama pacar kek. Bagus kalau ada sekalian pacarnya."
***
"Mbak Amia." Amia yang sedang serius dengan layar komputernya, serius melamun lebih tepatnya, menoleh dan melihat Tegar, driver kantor berdiri di dekat mejanya.
"Ya, Pak?"
"Saya mau antar Pak Gavin ke plant." Tegar menjelaskan maksud kedatangannya.
Amia mengeluh dalam hati. Itu artinya Tegar perlu uang untuk beli bensin dan juga uang makan selama perjalanan dinas. Kalau pegawai lain mungkin reimburse di akhir, tapi kalau driver biasanya diberi uang di awal. Mengeluarkan uang kecil-kecil ini bukan tugas Amia. Tapi Arika yang harus melakukan ini sedang tidak masuk dan Amia yang menggantikan.
"Nginap?" Amia memastikan, untuk menghitung uang yang harus dikeluarkan.
"Kurang tahu, Mbak."
"Sekretarisnya nggak bilang?"
"Tidak masuk, Mbak."
Astaga! Kenapa sekretaris itu sering nggak masuk sih, keluh Amia dalam hati. Sudah bikin repot sekantor saja Gavin dari kemarin. Atau membuatnya repot. Sambil menahan rasa kesal, Amia mengambil gagang telepon di meja dan melakukan panggilan ke ruangan Gavin.
"Bapak ke plant nginep apa bolak-balik?" Amia langsung bertanya begitu telepon diangkat di ujung sana.
"Kenapa memangnya?" Gavin balik bertanya.
"Saya mau kasih uang ke Pak Tegar. Bapak pakai driver kan ke sana?"
"Ini siapa?" "Amia."
"Bukankah seharusnya kamu bilang selamat siang kalau menelepon?"
"Selamat siang, Pak Gavin. Pak Tegar memberi tahu saya bahwa Pak Gavin ada perlu perjalanan dinas ke plant. Saya belum terima notifikasi apa-apa dari sekretaris Bapak. Jadi saya ingin memastikan berapa lama Pak Gavin akan dinas di luar kantor? Karena ini merepotkan sekali, saya harus menghitung uangnya sendiri." Kalau bukan untuk Gavin, atasannya, Amia tidak akan mau menghitungkan uang. Bukan Amia yang biasanya menghitung berapa uang yang harus dibawa driver.
"Sekretarisku tidak masuk jadi tidak ada yang input ke sistem. Lagi pula itu bukan di luar kantor. Plant bagian dari perusahaan juga. Kita produksi di sana, administrasi di sini."
Amia menghela napas. Whatever!
Tentu saja itu hanya dalam hati. Yang dikatakan Amia sambil mencoba untuk ramah adalah, "Berapa lama Bapak mau di sana?"
"Menginap dua malam di mess." Gavin menjawab.
"Ya kalau nggak di mess mau di mana? Di jetty*?" Tanpa sadar Amia menanggapi.
"Terserah saya mau menginap di mana."
Amia mendengus kesal. "Iya, nggak usah nyebelin gitu kenapa? Udah dibantuin juga." Sebelum Gavin membalas kata-katanya, Amia cepat-cepat menambahkan, "Oke kalau begitu. Selamat jalan."
Tanpa repot-repot mengucapkan salam lagi, Amia meletakkan telepon dengan puas ke tempatnya.
"Pak, biasanya kalau untuk perjalanan dinas dua hari, biaya yang dihitung segini." Amia mengeluarkan uang dari kotak ajaib milik temannya.
"Ya, Mbak."
Dengan cepat Amia menyelesaikan satu urusan itu dan kembali ke tugasnya sendiri. Berusaha untuk tidak memikirkan Riyad dan keluarga kecilnya yang bahagia.
***
"Selamat siang, Pak Gavin. Pak Tegar memberi tahu saya bahwa Pak Gavin ada perlu perjalanan dinas ke plant. Saya belum terima notifikasi apa-apa dari sekretaris Bapak. Jadi saya ingin memastikan berapa lama Pak Gavin akan dinas di luar kantor? Karena ini merepotkan sekali, saya harus menghitung uangnya sendiri." Gavin ingin tertawa mengingat apa yang dikatakan Amia padanya tadi. Amia menekankan satu per satu kata, seperti sedang mengolok, setelah Gavin menyuruh mengucapkan salam dulu kalau menelepon orang.
Merepotkan katanya? Benar-benar gadis yang lucu. Sejak pertemuan pertama mereka, Amia terlihat tidak rela sekali melakukan pekerjaan yang tidak tercantum sebagai job description-nya. Seperti dia merasa rugi. Hari ini juga. Dia mengatakan bahwa menghitung sendiri uang untuk diberikan kepada sopir adalah sesuatu yang merepotkan.
Gavin teringat pada mobil SUV hitam yang selalu menjemput Amia selepas jam kerja. Sepanjang pengetahuan Gavin, yang diam-diam mengamati Amia, mobil itu hampir tidak pernah absen datang ke kantor mereka. Dia ingin mengintip siapa orang yang datang menjemput Amia. Tapi pengemudinya tidak pernah keluar, hanya Amia yang bergegas masuk.
Sekali dia tertarik dengan seorang gadis, gadis itu sudah punya kekasih. Betapa tidak masuk akalnya dunia ini.
"Jacq, pembangkit yang baru pakai mesin-mesin dari mana?" Gavin memutuskan mengajak bicara kepala departemen produksi yang menemaninya melihat-lihat unit pembangkit baru mereka, kalau dia ingin melupakan urusan Amia dan pacarnya.
"Semua pakai Mitsubishi." Warga negara Perancis itu memberitahunya.
"Apa bagusnya mesin mereka?"
"Ada efisiensi dalam proses thermodinamic ... kita hemat bahan bakar tiga sampai empat persen."
"Limbah?" Ini akan menjadi perhatian Gavin juga karena menurut catatan, perusahaan mereka pernah didemo masyarakat terkait dengan masalah ini.
"Lebih ramah lingkungan. Coba nanti di sana aku jelaskan." Suaranya sengau seperti kebanyakan orang Perancis, agak mengganggu telinga.
Gavin hanya mengangguk dan melemparkan pandangannya ke luar jendela. Kepalanya tidak bisa berhenti menebak-nebak siapa pemilik mobil SUV hitam yang selalu menjemput Amia.
####
Jika teman-teman menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, teman-teman bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku: Geek Play Love(Dinar/Jasmine), The Danish Boss(Kana/Fritdjof), My Bittersweet Marriage(Afnan/Hessa), When Love Is Not ENough(Lilja/Linus), Midsommar(Mikkel/Liliana), Bellamia(Gavin/Amia) dan Daisy(Daisy/Adrien). Harga mulai dari Rp 25.000,-
Tersedia di: Toko buku, Shopee Ika Vihara(Bebas ongkir), Google Playstore
Atau WhatsApp aku di 0895603879876 juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.
Terima kasih untuk tidak membeli buku/e-book bajakan, dengan begitu aku bisa terus melakukan riset untuk menulis lagi dengan pendapatan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top