OPPORTUNITIES ARE OUT OF CONTROL

Gavin membuka-buka halaman Facebook milik Amia, mengamati aktivitas yang dilakukan gadis itu di sana. Oh, c'mon! Kalau orang sudah berumur di atas delapan belas tahun dan tidak pernah menggunakan media sosial untuk stalking orang yang disukai, dia akan dengan senang hati meninju wajahnya. Zuckerberg tidak menciptakan benda itu hanya untuk jualan sepatu KW atau kue cubit. Laki-laki berkaus abu-abu itu menciptakan Facebook agar orang-orang bisa mengumpulkan semua kenalannya dalam satu tempat dan memperbesar peluang untuk bertemu jodoh.

Sudah bukan rahasia untuk mendekati gadis, laki-laki mempelajari hal-hal yang disukainya melalui media sosial. Amia banyak men-share segala sesuatu tentang sepeda. Apa yang bisa dilakukannya dengan sepeda untuk mendekati Amia?

Urusan mendekati wanita ini kenapa jadi sulit sekali, Gavin sedikit mengeluh. Kali ini dia harus mendekati Amia, dalam arti yang sebenarnya. Karena tidak ada lagi laki-laki yang berumur lebih dari delapan belas tahun, yang menebarkan kode ketertarikan pada seorang gadis melalui media sosial. Sudah bukan waktunya memberi like di setiap posting atau meninggalkan komentar untuk menunjukkan perhatian. Gavin juga akan dengan senang hati meninju wajahnya kalau ada laki-laki cukup umur dan cakap hukum yang masih saja melakukannya.

Demi Tuhan, Gavin bisa membuat listrik. Membangun pembangkit listrik bahkan. Ah, hell, all engineers can build a car, skyscraper, spaceship, and even time machine. But, they can't build relationships with girls. Bagaimana menyakinkan seorang wanita agar percaya padanya? Dia tidak tahu caranya. Gadis yang dulu pernah bersamanya, bukan pacarnya. Mereka hanya sering menghabiskan waktu berdua.

Gavin menganalisis satu per satu. Getting friendzoned jelas tidak boleh berlaku pada laki-laki berusia tiga puluh tahun ke atas. Friendzone sebenarnya adalah istilah lain dari 'why do women I want to fuck not want to fuck me?'. Kalau sudah seumur Gavin dan ada lawan jenis yang ingin berteman, semua juga sudah tahu artinya. Dating. Finding path to true love and long term commitment called marriage.

Sayangnya Amia masih berumur dua puluh lima tahun, Gavin mengakses data Amia di database pegawai. Konsep friendzone mungkin masih berlaku di usianya. Dan Gavin tidak akan membiarkan Amia memperlakukannya seperti itu.

***

"Kamu kenapa manyun di sini?"

Amia mengangkat kepala dari ponselnya dan melihat Gavin berdiri di depannya.

"Nunggu dijemput Adrien." Amia menjawab dan mengirim WhatsApp lagi untuk kakaknya, memberi tahu kalau dia akan pulang naik taksi saja.

Melihat Amia tampak sedang dalam mood tidak baik, seharusnya dia menghindar. Tapi Gavin malah duduk di sofa hitam yang berseberangan dengan tempat duduk Amia.

Gavin memperhatikan Amia yang memasukkan ponsel ke dalam tas dengan wajah tertekuk sebal. Some people believe romantic opportunities are out of control. Mereka percaya kesempatan datang sendiri di waktu dan tempat yang tepat. Kalau sudah waktunya. Kalau memang rezekinya. Tapi tidak selamanya berlaku seperti itu. Laki-laki hebat menciptakan kesempatan sendiri.

"Ayo kuantar pulang." Gavin berjalan di samping Amia yang mulai bergerak pelan meninggalkan lobi.

"Nggak usah. Saya naik taksi," tolaknya.

"Hujan. Taksi susah, banyak yang pakai." Gavin menunjuk antrean di sebelah barat lobi.

Amia mendesah. Dengan kaki begini dia harus mengantre taksi?

Mobil Gavin tentu saja sudah disiapkan dan tinggal meluncur. Amia mengamati sekelilingnya, jam kerja mereka berakhir jam empat sore dan sekarang sudah lewat dari jam enam. Tapi masih banyak orang yang masih tinggal di kantor.Gavin membantu—atau lebih terasa seperti memaksa—Amia naik dan memasukkan crutch Amia ke kursi belakang.

"Saya belum bilang setuju pulang sama Bapak." Amia tidak juga memasang sabuk pengamannya.

"Kenyataannya kamu pulang bersamaku." Mobil Gavin meninggalkan gedung.

***

Amia tidak bodoh untuk tahu bahwa Gavin, yang diam menyetir di sampingnya, tidak sedang menjalankan peran sebagai teman. Dari tadi Amia duduk di lobi dengan crutch bersandar di sebelah kanan sofa yang didudukinya dan tidak ada satu pun temannya yang repot-repot menemaninya duduk. Mereka menyapa lalu bertanya satu dua hal dan berlalu begitu saja. Tapi Gavin duduk di sana, di depannya. Memberinya tumpangan saat dia menunggu taksi.

Hujan semakin deras dan Amia tidak tahu harus berapa lama dia menunggu taksi sampai dapat. Pulang bersama Gavin adalah pilihan yang baik baginya saat ini.

"Kalau Adrien tidak bisa jemput kamu, kamu pulang bersamaku saja." Gavin menawarkan dan Amia tertegun.

Tawaran itu membuat Amia semakin yakin bahwa Gavin sedang menunjukkan perhatian padanya. Tawaran itu lebih dari sekadar basa-basi antarteman.

"Kita bisa berhenti di situ nggak?" Amia menunjuk supermarket besar. "Saya mau makan es krim." Otaknya terasa penat sekali dan dia ingin makan makanan manis secepatnya.

"Es krim? Hujan-hujan begini? Biasanya first date itu coffee shop." Tapi Gavin tetap mengarahkan mobilnya ke sana.

"Ini bukan kencan." Amia merevisi pernyataan Gavin sebelum melompat turun dengan satu kaki. "Dan saya nggak minum kopi."

"Hati-hati, Amia." Gavin menahan lengan Amia lalu memberikan crutch-nya.

Amia berjalan pelan dengan alat bantu jalannya. Apa yang akan dikatakan orang-orang kantor—kalau sampai dia bertemu mereka di sini—melihatnya sedang berjalan bersisisan dengan atasan mereka?

Amia memilih es krimnya lalu menoleh ke arah Gavin, bertanya dengan matanya es krim apa yang diinginkan Gavin.

Gavin menggeleng. Amia mengeluarkan uang dan membayar es krimnya.

"Kenapa Bapak nggak suka es krim?" Amia memasukkan es krim banyak-banyak ke mulutnya. When ice cream melts on our tongue, we can literally feel stress leaves us and bliss greets us. Heaven on earth. Or cup.

Atasannya ini hanya duduk diam di kursi plastik di depannya.

"Apa kamu lupa kesepakatan kita?" Gavin tidak menjawab pertanyaan Amia.

"Kesepakatan?" Memangnya mereka pernah bersepakat dalam hal apa?

"Aku bukan atasan kalau di luar kantor." Gavin mengingatkan.

"Oh. Lalu?" Amia membuka botol air mineralnya.

"Kamu jangan panggil aku bapak. Didengar orang. Memangnya aku ini bapakmu?"

"Siapa juga yang mau punya bapak seperti kamu." Amia menggumam pelan.

"Apa? Kamu ngomong apa?" Mata Gavin menatapnya, curiga.

"Nggak papa." Amia mengangkat bahu.

"Ice cream always makes me thirsty." Alasan Gavin tidak suka es krim.

"Kan bisa minum." Amia menunjuk air mineral di meja.

"Kita bisa tahu kepribadian orang dari es krim," kata Gavin.

"Hmm?" Amia melihat Gavin sedang membaca sesuatu di ponselnya.

"Mint chocholate chip. Sinis, keras kepala, suka berdebat...."

"Ah, itu cuma bisa-bisanya Bapak saja." Amia tidak setuju.

"Nah. Ini ada penelitiannya." Gavin menunjukkan halaman browser-nya.

Amia tetap tidak percaya walaupun sudah membacanya.

"Bukannya itu sesuai dengan sifat kamu?" tembak Gavin.

"Maksudnya?" Memangnya sifatnya seperti apa?

"Kamu keras kepala, suka berdebat."

"Terus?" Amia kembali fokus pada es krimnya.

"Menarik." Gavin tidak menurunkan ponselnya meneruskan pura-pura membaca, tapi diam-diam membuka kamera.

"Wait! Ada sesuatu." Tiba-tiba Gavin mengulurkan tangan dan mengusap sudut bibir Amia dengan jempolnya, menghapus sisa es krim yang menempel di sana.

Amia memundurkan wajah, berusaha menguasai diri. Ada yang menyengat kepalanya setiap kali Gavin menyentuhnya. Padahal ini bukan pertama kali dia kontak fisik dengan Gavin. Bosnya bahkan sudah pernah menggendongnya.

####

Jika teman-teman menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, teman-teman bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku: Geek Play Love(Dinar/Jasmine), The Danish Boss(Kana/Fritdjof), My Bittersweet Marriage(Afnan/Hessa), When Love Is Not ENough(Lilja/Linus), Midsommar(Mikkel/Liliana), Bellamia(Gavin/Amia) dan Daisy(Daisy/Adrien). Harga mulai dari Rp 25.000,-

Tersedia di: Toko buku, Shopee Ika Vihara(Bebas ongkir), Google Playstore

Atau WhatsApp aku di 0895603879876 juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.

Terima kasih untuk tidak membeli buku/e-book bajakan, dengan begitu aku bisa terus melakukan riset untuk menulis lagi dengan pendapatan tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top