I WAS TESTING MY NINJA SKILL
"Aku ambil mobil ke kantor dulu ya, Am? Nanti baru kuantar pulang. Biar sekalian nggak bolak-balik." Vara mendorong kursi roda menuju lobi rumah sakit.
Kaki Amia dipasang cast setelah diperiksa dokter dan sebelumnya di-rontgën. Amia menolak diantar pulang menggunakan ambulans kantor. Itu hanya akan membuat orangtuanya panik melihat ambulans masuk ke halaman rumah mereka.
Amia mengangguk. Kantor mereka tidak jauh dari sini. Ponselnya tertinggal di kantor dan Amia menghabiskan waktu dengan menonton televisi di ruang tunggu. Perutnya berbunyi sejak tadi. Tetapi dompetnya juga tertinggal di kantor, jadi tidak bisa makan di kafetaria. Begitu juga dengan Vara, tidak bawa uang. Mereka berlarian ketika mendengar suara sirine tanpa berpikir untuk membawa apa pun.
Dia bahkan telanjang kaki. Sepatunya sudah entah ke mana. Nanti dia akan menelepon sekuriti kantor. Sepatu tersebut harganya sama dengan gaji satu bulan. Baru dibeli bulan lalu dan baru hari ini dipakai. Kalau sampai sepatu itu hilang atau rusak, Amia tidak tahu lagi bagaimana harus menghibur dirinya.
Refleks Amia menoleh ke kanan ketika merasakan ada sesuatu yang dingin menempel di pipinya.
"Bapak ngapain di sini?" Jus kemasan tetrapak menempel di pipi Amia.
"Menjenguk pegawai yang cedera karena simulasi." Gavin meletakkan jus jeruk itu di pangkuan Amia dan dia sendiri duduk di kursi besi panjang di sebelah kanan Amia.
"Kenapa Bapak repot-repot?" Amia tidak pernah mendengar cerita ada top management menjenguk staf seperti dirinya. "Karena aku bertanggung jawab terhadap keselamatan semua pegawai?" Amia mendengus dalam hati. Sambil meminum jus jeruknya. Apa Gavin tidak bisa membawakan roti atau biskuit sekalian?
"Ini kejadian langka." Gavin melanjutkan.
"Langka?" Amia membeo.
"Aku sudah lama kerja di bidang ini dan baru kali ini aku melihat sendiri ada yang terluka saat simulasi."
Amia memalingkan wajah saat melihat Gavin seperti menahan tawa. Siapa pun orang yang mendengar cerita Amia hari ini pasti akan menertawakan. Mentalnya harus disiapkan saat dia berjalan tertatih ke kantor nanti.
"Simulasi diadakan agar kita semua tahu apa yang harus dilakukan, saat sesuatu yang tidak kita harapkan benar-benar terjadi. Untuk menghindari korban luka atau meninggal. Ini kejadiannya belum, korbannya sudah ada." Gavin berbaik hati menjelaskan kepada Amia.
"Terima kasih untuk pencerahannya," tukas Amia. Semua kata-kata Gavin terdengar menyebalkan sekali di telinga Amia. Tapi semua sudah terlanjur terjadi dan Amia tidak bisa memundurkan waktu lalu mencegah dirinya jatuh dan cedera.
"Kenapa kamu bisa jatuh? Seperti anak kecil saja." Setelah mengomentari kejadiannya, sekarang Gavin mulai mengomentari Amia.
"I didn't fall, I was testing my ninja skills!" sergah Amia cepat.
"Ninja?" Gavin tersenyum geli.
"Gara-gara simulasi terkutuk itu." Amia teringat lagi dan kesal.
"Terkutuk?"
"Siapa coba yang bikin simulasi tapi nggak kasih pengumuman dulu?"
"Memang tidak diumumkan. Bencana itu datang tanpa salam, Amia. Dan simulasi diadakan untuk melihat apa semua orang masih ingat materi safety induction...."
"Wow, Bapak harus dibelikan cermin. Waktu safety induction, Bapak malah main HP dan nggak memperhatikan sama sekali." Amia mengingatkan Gavin.
"Aku sudah hafal semua prosedurnya, Amia. Aku sudah lama kerja di bidang ini."
Amia menggerutu pelan. Tentu saja Gavin tidak panik sama sekali. Kalau ada apa-apa, mungkin helikopter perusahaan sudah siap di atap untuk mengangkutnya.
"Mana sepatumu?" Gavin memperhatikan Amia yang sejak tadi telanjang kaki.
"Hilang." Tadi Amia panik dan ingat dia tidak punya flat shoes di kantornya. Jadi dia memaksa memakai sepatu sepuluh sentinya, bukan meniru Vara yang lari tanpa sepatu.
"Apa saya boleh pinjam HP Bapak untuk menelepon orang di kantor? Siapa tahu mereka nemu sepatu saya dan menyimpannya."
"What is it with women and their shoes?" Gavin menggumam, tapi cukup keras dan Amia bisa mendengar.
"Execuse me?" Amia tidak terima. Gavin tidak bisa menghinanya dan sepatunya. Seperti kebanyakan wanita di dunia, dia menyukai sepatu dan memperlakukan sepatu tersebut seperti anak-anaknya sendiri. Sampai Amia pernah berpikir kalau rumahnya kebakaran, dia akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan sepatunya. Tentu saja keluarganya harus selamat lebih dulu, tapi setelah itu, sepatunya. Hari ini betul-betul hari terburuk. Selain kakinya cedera, dia juga berpotensi kehilangan sepatu.
"Nothing. Kamu tidak pulang?" Gavin mengalihkan topik pembiacaraan.
"Masih nunggu Vara ambil mobil."
"Kenapa tidak minta dijemput Adrien?"
"HP ketinggalan di kantor jadi ... hoi ... hoi ... apa nih?" Amia panik saat Gavin tiba-tiba mendorong kursi rodanya. "I'll drive you home."
"No, thanks. Tolong, Pak! Saya nunggu Vara, kasihan nanti dia kecele kalau datang ke sini." Akan lebih aman kalau dia pulang bersama sahabatnya daripada dengan atasannya.
"Kalau dia tidak ketemu kamu di sini dia pasti cari kamu di rumah." Gavin memberi alasan logis sambil terus mendorong kursi roda Amia menuju mobil.
"Pak, tolong! Saya sudah janji mau nunggu Vara!" Tentu saja Gavin tidak mendengarkan.
"Astaga! Bapak nggak bisa memanfaatkan orang yang nggak berdaya gini." Amia berteriak panik karena Gavin mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di kursi depan.
"Biar kamu cepat istirahat di rumah." Gavin menutup pintu di samping kiri Amia. "Bapak bisa nggak, jangan sembarangan menyentuh saya? Memangnya siapa yang kasih izin Bapak buat gendong saya? Salaman saja kita nggak pernah." Amia tidak nyaman disentuhsentuh orang asing. Apalagi kalau orang asingnya punya wangi yang menyenangkan seperti atasannya ini. Jelas ini berpotensi membuat Amia tidak akan bisa tidur malam nanti. Gavin hanya diam dan membiarkan Amia meneruskan protesnya.
***
Berbeda dengan kata-katanya yang tajam, tubuh Amia lembut sekali. Sudah lama Gavin tidak bersentuhan dengan wanita. Dan menyentuh kulit Amia tadi seperti membangunkan kembali setan-setan di dalam dirinya. Setan-setan itu menyuruhnya mencium Amia.
Tubuh Amia lebih ringan daripada yang dia perkirakan. Iya, yang berat itu menerima konsekuensi setelah nekat menggendongnya. Tentu saja Amia semakin membencinya. Tatapannya yang semula tidak pernah ramah, sekarang ... well, sekarang Amia tidak mau menatapnya.
Gavin melirik Amia yang diam di sampingnya. Parahnya dia tidak mungkin berbasa-basi menanyakan di mana rumah Amia, karena dia sudah pernah datang ke sana.
Sejak tadi Gavin tidak bisa mencegah matanya bergerak ke kiri. Amia cantik, tentu saja. Sampai Adrien khawatir kecantikan adiknya akan mengundang mara bahaya di kantor mereka. Apa yang lebih bisa menarik perhatian laki-laki dalam sekali lihat selain wajah yang cantik? Kepribadian? Gavin tidak tahu apa itu berperan banyak dalam memproduksi sesuatu bernama ketertarikan. Sejauh yang dia ketahui dari interaksinya dengan Amia, hanya satu kepribadian gadis itu yang jelas terlihat. Amia menyuarakan apa yang tidak disukainya.
Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Tadi sekretarisnya memberi tahu ada satu pegawai yang cedera saat simulasi. Gavin merasa ada yang sangat salah dengan dirinya. Hanya karena mendengar nama Amia, otaknya langsung dibanjiri dopamine, cairan di otak yang katanya lebih banyak menstimulasi orang untuk berbuat buruk seperti seks bebas, minum alkohol, dan berjudi.
Bagi Gavin efek dopamine lebih dari itu. Dopamine is motivation that drives people to do crazy things. Hal gilanya bukan tentang dia berjalan-jalan di kota memakai popok. Tapi dia menyambar kunci mobil di ruangannya dan memberi tahu sekretarisnya bahwa dia ada urusan mendesak di luar kantor. Urusan apa lagi kalau bukan mendatangi Amia dan memastikan dengan mata kepala nya sendiri bahwa gadis itu baik-baik saja.
Dari semua hal di dunia, Gavin tidak tahu untuk apa Tuhan menciptakan sesuatu bernama romance. Romance is nice feeling, but it's not very productive. Gara-gara itu Gavin meninggalkan rapat begitu saja karena khawatir pada Amia.
####
Jika teman-teman menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, teman-teman bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku: Geek Play Love(Dinar/Jasmine), The Danish Boss(Kana/Fritdjof), My Bittersweet Marriage(Afnan/Hessa), When Love Is Not ENough(Lilja/Linus), Midsommar(Mikkel/Liliana), Bellamia(Gavin/Amia) dan Daisy(Daisy/Adrien). Harga mulai dari Rp 25.000,-
Tersedia di: Toko buku, Shopee Ika Vihara(Bebas ongkir), Google Playstore
Atau WhatsApp aku di 0895603879876 juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.
Terima kasih untuk tidak membeli buku/e-book bajakan, dengan begitu aku bisa terus melakukan riset untuk menulis lagi dengan pendapatan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top