BROKEN HEART IS NEVER EASY

DILARANG ME-REMAKE CERITA INI! Aku sedang bersiap untuk menerbitkan ulang di Wattpad.

Mau berteman denganku lebih dekat? Temui aku di media sosialku supaya kita lebih akrab:

Instagram/Twitter/Facebook/LINE: ikavihara

WhatsApp 0895 6038 79876

Please vote this up and leave me a comment, or two :-)

####

Jika orang bisa menemukan segala informasi yang mereka perlukan dengan bantuan Google, Amia ingin memasukkan keyword "kebahagiaan" di kolom pencarian. Siapa tahu Google hits juga bisa menunjukkan kepadanya apa itu kebahagiaan dan di mana kebahagiaan bisa ditemukan. Lebih bagus kalau disertai rute untuk ke sana. Untungnya, dia masih cukup waras untuk tidak menggantungkan hidup pada sebuah mesin pencari.

Salah satu kebahagiaan lepas lagi dari hidupnya. Kenapa hubungannya harus berakhir secepat ini? Baru sedikit kebahagiaan yang dia rasakan. Sisanya? Sakit hati dan kecewa. Bagaimana mungkin Riyad akan menikah sementara dia tidak melamar Amia—pacarnya selama tiga tahun ini? Apakah ada yang salah di sini? Apa dia melewatkan sesuatu?

Kenapa mendadak sekali Riyad mengabarkan berita itu? Bukankah menyiapkan pernikahan perlu waktu lama? Setidaknya laki-laki itu sudah melamar, bertunangan dan segalanya sejak berbulan-bulan yang lalu. Apakah—selama bersama Amia—dia diam-diam mempersiapkan pernikahan?

Hati Amia dipenuhi pertanyaan-pertanyaan bodoh. Apa wanita itu lebih baik darinya? Apa wanita tersebut pengacara juga, sehingga bisa lebih memahami dan mencintai Riyad daripada Amia?

Yes, once he got someone better, he moved on without caring about you. You meant nothing but a love-toy to him. Sebuah suara di kepalanya menjawab.

Jawaban yang terpaksa disetujui oleh Amia. Membuat hatinya semakin merana karena penuh dengan penyesalan. Seharusnya dia tidak kenalan dengan Riyad. Seharusnya dia tidak membiarkan Riyad mendekatinya. Seharusnya dia tidak jatuh cinta. Seharusnya. Seharusnya. Seharusnya. Berapa banyak kata seharusnya yang harus keluar lagi di hatinya?

Apa yang salah dengan dirinya sehingga orang yang dia cintai memperlakukannya seperti ini. Setelah habis-habisan mencintainya, Amia ditinggalkan demi wanita lain. Apa hanya laki-laki berengsek seperti itu yang tersisa untuknya?

"Jadi ketemu sama Riyad?" Vara menggeser kursi dan duduk di samping Amia. Sengaja mereka datang pagi-pagi ke kantor untuk melaksanakan misi curhat antara sahabat.

Kemarin Amia berhasil menahan diri untuk tidak menjawab panggilan dan SMS dari Riyad. "Nggak. Orang berengsek gitu."

"Makanya, Am. Dulu juga aku bilang kamu datang saja ke resepsinya. Show your middle finger. Aku bantuin bikin kekacauan di sana." Vara merobek bungkus Oreo.

Amia tertawa. "Ogah. Ngapain mempermalukan diri sendiri?"

Meskipun alasan sebenarnya dia tidak datang adalah tidak sanggup melihat Riyad dan siapa pun itu tersenyum bersama di pelaminan. Sudah cukup hatinya tesiksa selama ini. Tidak perlu ditambah beban lagi.

Sambil mengunyah biskuit favoritnya, Vara menanggapi, "Bukan memalukan, Am. Itu akan jadi hari paling bersejarah buat kamu. Biar dia tahu bahwa dia nggak lebih dari sekedar sampah yang tiap hari kita injak."

"Dia SMS. Bilang dia masih cinta sama aku." Padahal selama mereka pacaran dulu, tidak pernah secara khusus Riyad mengirim SMS berisi kalimat cinta.

Kali ini Vara tertawa keras. "Cinta? Kamu percaya? Dengar ya, Am, jangan pernah memperlihatkan kalau kamu masih cinta sama dia. Itu akan membuat dia ingin ... main dua. Di rumah dia akan bercinta sama istrinya dan di luar dia pacaran sama kamu? Jangan mau dibodohi laki-laki berengsek."

"Bukan aku percaya sama dia, Var. Cuma aku masih patah hati. Sebelum ini aku mencintainya." Sampai detik ini juga masih. Amia memasukkan biskuit hitam ke mulutnya.

"Yah, itu perlu waktu, Am. Hukum alam itu, semakin kamu berusaha melupakan dia, semakin kuat kenangan tentang dia akan mengikutimu. Coba untuk santai. Nggak usah memaksakan diri untuk melupakan dia."

Mereka sudah tiga tahun bersama, demi Tuhan. Melupakan semua itu tidak akan cukup memakan waktu dua tiga hari. "Susahlah, Var."

Vara bertepuk tangan sekali. "Mari kita menyusun rencana untuk menghabiskan waktu biar nggak banyak melamun, Am. Orang patah hati tidak boleh dibiarkan sendiri."

Melamun. Kebiasaan buruk yang timbul hubungannya dengan Riyad berakhir. Berandai-andai kalau saja kondisi mereka berbeda. "Mau ngapain?"

"Gym? Berenang? Melukis? Banyak nanti kita lakukan satu-satu. Aku ajak Arika dan yang lain juga." Vara mengeluarkan idenya.

Spending time with friend is one of the best ways to survive broken heart. Sepertinya patut dicoba. "Aku ngikut aja sama kamu, Var."

"Kalau dia ingin selingkuh dari istrinya yang sekarang ini, Am, yakin dia juga akan melakukan hal yang sama kalau kamu yang jadi istrinya. Jadi, bersyukurlah." Vara menyentuh lengan Amia sebelum menggeser kursi ke mejanya sendiri.

True. If someone can contemplate cheating on their partner, he will do the same to us. Now I am pretty safe in my future. Dalam hati Amia setuju dengan apa yang dikatakan sahabatnya. Amia menyalakan komputer. Seberapa besar pun cintanya kepada Riyad dan pengakuan Riyad bahwa dia mencintai Amia, tidak akan mengubah keadaaan. Sekarang Riyad adalah laki-laki beristri dan Amia tidak ingin mengganggu rumah tangga mereka. Orang punya sebutan untuk wanita-wanita semacam itu. Gelar yang tidak ada bagus-bagusnya dan Amia tidak mau menyandangnya.

She cut him off everywhere. Block his calls, e-mail dan segala hal yang mungkin menghubungkan dengan Riyad. Juga menghilangkan nama Riyad dari daftar teman atau following di media sosial, tempat yang berpeluang besar menghadirkan update informasi dari laki-laki itu. Daripada nelangsa melihat tagging dari istrinya juga.

Arrrgh, broken heart is never easy. Amia mengacak rambut.

***

"Amia, tolong ini berikan ke Pak Gavin ya?" Erik menyerahkan satu amplop cokelat besar kepadanya. Dengan bingung Amia menerimanya.

"Pak Gavin?" Amia mengangkat kepala.

"Orang produksi yang baru," jawab Erik.

Amia hanya mengangguk dan mengambil amplop cokelat besar dari tangan atasannya. Setelah melongok sebentar ke meja Vara, Amia berjalan menuju lift, menempelkan kartu pengenal pegawai ke mesin pemindai di samping kanan pintu untuk membuat pintu lift menutup. Departemen produksi. Nama lainnya adalah surga. Isinya lelaki semua. Mereka dan departemen pemeliharaan berbagai lantai.

Dengan senang hati Amia akan pergi ke sini walaupun tahu ini bukan tugasnya. Tugas Amia mengurus pajak. Tapi sudahlah, sekali lagi, departemen produksi bukan tempat yang patut dihindari.

"Amia." Tony, salah satu orang dari departemen produksi, berpapasan dengannya.

"Plant?" Amia melihat Tony memakai seragam kebangsaan, baju putih lengan panjang dan celana putih, sepatu bersol tebal, helm berwarna kuning, masker dan kacamata di tangan.

Tony mengangguk dan menggerutu, "Sial betul. Pas kamu main ke sini, pas aku on duty." Sebelum meninggalkan Amia, Tony bergaya memberi hormat.

Kalau diadakan survei kepada seluruh laki-laki di gedung ini, mengenai siapa gadis paling menarik, Amia akan ada di urutan pertama. Disusul Vara. Sebetulnya dari segi penampilan, Vara tidak kalah dari Amia. Hanya saja menurut sebagian orang, sahabatnya itu dinilai terlalu jutek.

Amia menempelkan ID card di mesin scanner untuk membuka pintu ruangan departemen produksi. Sistem keamanan yang sedikit merepotkan. Setiap masuk ke mana-mana harus selalu menempelkan kartu ini atau pintu tidak mau terbuka sama sekali.

Pandangan Amia menyapu ruangan lebar di depannya. Mencari siapa orang yang dimaksud Erik tadi. Mencari wajah baru. Gavin. Nama yang belum pernah dia dengar. Akan perlu waktu seharian kalau begini. Amia memutuskan mendekati meja yang paling dekat dengan tempatnya berdiri.

Pemilik meja langsung menoleh ke arah Amia, karena suara hak sepatu milik Amia yang terlalu keras beradu dengan lantai. Sepertinya bukan hanya pemilik meja ini. Seluruh orang di ruangan menoleh ke arah Amia. Amia memberikan senyum terbaiknya dan mengangguk—menikmati popularitas—kepada semua orang, lalu mengembalikan perhatian kepada si pemilik meja.

"Amia." Sambil tersenyum lebar laki-laki itu—namanya Ari setelah Amia membaca ID card di saku kemejanya—berdiri."Gavin itu yang mana, ya?" tanya Amia.

"Pak Gavin maksudnya?" Laki-laki di depan Amia itu memastikan, seperti takut salah dengar.

"Iya." Mungkin. Amia mengangguk. Jadi dia bapak-bapak?

"Pak Gavin bukan di sini tempatnya."

"Katanya Pak Gavin dari departemen produksi." Amia menambah penjelasan.

"Pak Gavin di lantai lima, kalau mau ketemu."

"Oh, okay. Thank you ya." Amia tersenyum lalu meninggalkan ruangan itu.

Sambil masuk ke dalam lift, Amia menggerutu lagi. Erik memberi instruksi tidak jelas sama sekali. Tidak ada siapa pun yang bisa ditanyai saat Amia mendarat di lantai lima. Lantai ini selalu sepi. Amia terus berjalan menuju sebuah ruangan besar tempat para sekretaris berkumpul dan bekerja.

"Kak Mel." Amia mendekati meja Melina, yang baru saja meletakkan gagang telepon.

"Hei, Am. Tumben ke sini." Wanita paruh baya itu tersenyum ramah.

"Disuruh Pak Erik ketemu Pak Gavin," jelas Amia sambil duduk di kursi di depan Melina. Kalau dia orang produksi, berarti dia atasan Melina, Amia menyimpulkan.

"Oh, itu ruangan Pak Gavin." Melina menunjuk ruangan di sebelah kanan. Tepat di tengah, di antara dua pintu.

"Bos besar?" Mata Amia membulat tidak percaya. Bukan atasan langsung Melina.

"Kamu langsung masuk saja, Amia. Pak Gavin sedang santai, nggak ada jadwal penting hari ini. Kakak mau ke bawah, fotokopi." Tanpa menunggu tanggapan dari Amia, Melina meninggalkan meja, setelah perihal absennya sekretaris Pak Gavin.

"Kak...." Tadinya Amia berencana menitipkan amplop ini padanya.

Mau bagaimana lagi. Terpaksa Amia membawa kakinya ke depan pintu. Wow! Ini akan jadi kali pertama Amia masuk ke ruangan bos besarnya. Sebelumnya belum pernah sama sekali. Tidak pernah ada urusan dengan mereka. Ragu-ragu Amia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Setelah tiga kali mengetuk dan memikirkan risiko buku-buku jarinya patah, Amia memutuskan untuk mendorong pintu lalu melongokkan kepala. Tatapannya terpaku pada meja besar di ruangan itu. Kosong. Tidak tampak keberadaan manusia.

Repot sekali mencari orang bernama Gavin ini, Amia sedikit jengkel. Erik juga memberi informasi tidak jelas sama sekali. Apa tidak bisa sekalian pakai tagging koordinat di mana persisnya posisi Gavin? Sudah berapa puluh menit waktunya terbuang sia-sia?

"Ya?" Sebuah suara membuat Amia melompat dan menjatuhkan amplopnya.

A deep baritone. Mata Amia bergerak mencari sumber suara.

"Astaga!" Amia mengelus dada dan menengok ke kiri. Orang yang dia curigai bernama Gavin itu sedang santai membaca koran di sofa.

Sebuah wajah muncul dari balik koran. My God! Baru kali ini dia bertemu laki-laki dan sukses membuatnya lupa bagaimana cara bernapas. Apa patung buatan Michelangelo benar-benar bisa hidup dan berjalan? Bagian bibir dan dagu seperti dipindahkan langsung dari wajah David. Rambut hitam legamnya sangat rapi, seperti dua menit lagi dia akan dipanggil masuk ke studio untuk membacakan berita. Matanya yang tersembunyi di dalam tulang dahi dan tulang pipi yang tinggi, menyorot tajam ke arah Amia.

####

Mau tahu lebih banyak tentang Romance in STEM*? Teman-teman bisa membaca dalam bukuku: My Bittersweet Marriage, When Love is Not Enough, Geek Play Love, The Danish Boss , Daisy, Midsommar, Midnatt dan Bellamia.

Incribed and signed copy bisa melalui

Shopee Ika Vihara(Subsidi ongkir Rp 20.000)

WhatsApp 0895603879876

Giveaway bulanan di Instagram (at)ikavihara

*STEM: Science, Technology, Engineering, and Mathematics

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top