4
Bella berdiri di taman yang indah, penuh bunga warna-warni yang berayun lembut ditiup angin. Ia merasa kecil, seperti anak-anak lagi. Di hadapannya, ayahnya sedang tersenyum hangat, membungkuk untuk menggendongnya.
"Yuk, main, Nak," kata laki-laki itu, suaranya penuh kasih sayang.
Bella kecil mengangguk antusias, tertawa riang ketika tubuhnya terangkat ke udara. Ayahnya memutarnya perlahan, membuat Bella merasa seolah sedang terbang. Mereka tertawa bersama, menikmati momen kebahagiaan yang terasa begitu nyata.
Namun, kebahagiaan itu terhenti tiba-tiba ketika seorang wanita asing muncul dari kejauhan, menggandeng seorang anak kecil. Wanita itu cantik, rambutnya tergerai sempurna, dengan senyuman yang memikat.
“Mas, sini!” panggil wanita itu sambil melambai.
Ayah Bella berhenti bermain dan menurunkan Bella dari gendongannya.
“Papa mau ke sana dulu, ya,” ucapnya singkat.
"Tapi, Pa, jangan pergi!" Bella memanggilnya sambil meraih tangan ayahnya, tapi laki-laki itu melepaskan genggamannya tanpa ragu.
Ia berjalan menjauh bersama wanita dan anak kecil itu, meninggalkan Bella sendirian.
“Papa! Jangan pergi! Jangan tinggalin Bella!” teriak Bella kecil sambil menangis, namun tak ada jawaban. Ayahnya bahkan tidak menoleh.
***
Bella terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menindih. Ia menyeka wajahnya, menemukan air mata yang mengalir tanpa sadar.
“Lagi-lagi mimpi sialan itu,” gumamnya, frustrasi. Ia menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya yang gelap.
Sudah berulang kali ia bermimpi tentang ayahnya, tentang pengkhianatan yang terus membayangi pikirannya. Sejak kecil, Bella tahu ayahnya lebih memilih pergi bersama wanita lain, meninggalkan keluarga mereka dalam kehancuran. Bayangan itu tak pernah benar-benar hilang, meskipun ia mencoba melupakannya.
Ponselnya berbunyi, memecah keheningan malam. Sebuah pesan dari grup WhatsApp keluarga muncul: "Arisan keluarga bulan ini: Minggu depan, tanggal 25."
Bella memutar bola matanya dengan kesal. Ia membenci acara itu, terutama karena Budhe Endang yang selalu menjadi sumber kekesalan. Wanita paruh baya itu selalu menanyakan hal yang sama setiap kali mereka bertemu.
“Kapan nikah, Bella? Jangan pilih-pilih, nanti keburu tua!” Budhe Endang pasti akan berkata begitu.
Jika bukan itu, Budhe akan sibuk mengenalkan lelaki yang katanya calon suami ideal, tapi kenyataannya selalu toksik. Pernah sekali, Bella mencoba mengikuti saran Budhe dan bertemu seorang lelaki yang tampaknya sempurna. Namun di balik senyum manisnya, lelaki itu adalah manipulator yang suka mengontrol.
Bella tahu, dia bukan tidak laku. Parasnya yang cantik membuat banyak lelaki mendekatinya, tapi ia tidak pernah bisa benar-benar percaya. Di benaknya, selalu muncul pertanyaan yang sama: Apakah dia akan setia? Atau akan meninggalkanku seperti Ayah?
Sebuah notifikasi lain muncul di ponselnya. Pesan dari Reno, sepupunya. "Bella, bantu aku jadi konsultan produk skincare, dong. Minggu depan launching di Bali."
Bella membaca pesan itu sekali lagi, memastikan tanggalnya. Ia tersenyum tipis, menyadari sesuatu.
"Syukurlah, ada alasan buat nggak datang ke arisan," gumamnya.
Tanpa banyak pikir, Bella membalas pesan Reno
Bella_
Oke, aku ikut.
Meskipun ia tak terlalu tertarik pada proyek Reno, pergi ke Bali jauh lebih baik daripada menghadapi interogasi keluarga. Setidaknya, ia bisa kabur dari bayang-bayang Budhe Endang—dan kenangan pahit tentang ayahnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top