35
Bella duduk di apartemennya, menatap layar laptop yang terbuka di depannya. Ia telah menghabiskan waktu berjam-jam membaca berbagai artikel dan dokumen tentang proses adopsi anak di Indonesia. Namun, satu informasi membuatnya mendengus frustrasi: untuk mengadopsi anak, salah satu syaratnya adalah pasangan suami istri yang sudah menikah.
"Menikah," gumam Bella sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. "Kenapa harus menikah? Apa nggak cukup niat dan kemampuan finansial?"
Ia menutup laptopnya dengan kesal dan melirik ponsel di meja. Foto bayi itu masih tertanam jelas di pikirannya—bayi yang begitu mirip dengannya. Hingga kini, belum ada di grup keluarga yang menyatakan minat untuk memenuhi tantangan kakek mengadopsi bayi itu. Bella merasa aneh, seperti ada sesuatu yang memanggilnya untuk bertindak.
“Kenapa aku nggak bisa berhenti mikirin dia?” pikir Bella, akhirnya menyerah pada rasa penasarannya.
Malam itu, Bella memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Ia mengenakan jaket panjang dan masker, berharap tak ada yang mengenalinya. Ketika sampai di ruang bayi, ia langsung menuju inkubator tempat bayi itu dirawat.
Namun, kali ini ada sosok lain yang berdiri di sana. Bella terkejut melihat Dona, yang ternyata sedang bertugas.
“Dona?” tegur Bella sambil melepas maskernya.
Dona menoleh, sedikit terkejut melihat Bella. “Kak Bella? Tumben malam-malam ke sini. Lagi inspeksi?”
Bella menggeleng pelan. “Nggak, cuma… penasaran sama bayi itu.”
Dona tersenyum tipis sambil memandangi bayi yang tertidur. “Dia cantik, ya?” katanya, suaranya terdengar lembut.
Bella memperhatikan bagaimana Dona dengan hati-hati merapikan selimut bayi itu. “Kamu kelihatan nyaman banget sama bayi ini. Kenapa?”
Dona menunduk sejenak sebelum menjawab. “Karena dia mengingatkan aku pada diriku sendiri. Aku juga pernah ditinggalkan, Dok. Di depan panti asuhan. Rasanya kayak ngelihat versi kecil aku di sini.”
Kata-kata Dona menusuk hati Bella. Ia terdiam sejenak, memandang bayi itu dengan perasaan campur aduk.
“Dia beruntung kamu yang merawatnya sekarang,” ujar Bella akhirnya.
Dona hanya tersenyum kecil. “Tapi dia tetap butuh keluarga. Kasihan kalau terus di sini tanpa ada yang mau mengadopsinya.”
Bella mengangguk pelan, pikirannya berputar cepat. Mendadak, sebuah ide gila terlintas di kepalanya. Ia tahu itu mungkin hal paling tak masuk akal yang pernah terpikirkan, tapi ia tak bisa mengabaikannya.
“Don,” kata Bella tiba-tiba, menatap langsung ke mata laki-laki itu.
Dona menoleh, bingung dengan nada serius Bella. “Ya?”
“Apa kamu mau menikah?”
"Jelas mau dong."
Melihat ekspresi Dona yang biasa aja, Bella tahu Dona tidak memahami maksudnya. Dona sendiri kebingungan kenapa Bella bertanya seperti itu. Jelas menikah dan berkeluarga adalah tujuan hidupnya dari dulu. Mereka juga beberapa kali pernah membahasnya.
"Oke, kalau gitu gimana kalau kita ke KUA besok."
Dona ternganga. "Apa Kak?"
Bella menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya sendiri. “Kalau kita menikah, kita bisa memenuhi syarat untuk mengadopsi bayi ini. Kamu bilang dia mirip kamu, dan aku juga merasa hal yang sama. Kita bisa memberinya keluarga.”
Dona terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ide itu begitu tiba-tiba dan tidak terduga. “Kak, ini... ini nggak masuk akal.”
“Mungkin,” jawab Bella dengan nada tegas. “Tapi aku serius. Kita bisa membicarakan detailnya nanti. Yang penting sekarang, bayi ini nggak boleh terus-terusan sendirian.”
Dona menatap Bella, mencoba mencari tanda-tanda bahwa ini hanya lelucon. Tapi mata Bella serius. Sangat serius.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top