31

Ketika Bella melangkah untuk kembali ke kamarnya, ada satu pesan masuk dari Dona. Senyuman Bella terkembang. Padahal baru saja dia memikirkan tentang lelaki itu, bagaimana dia bisa langsung muncul.

Mooi_
Kak, aku lolos beasiswa LPDP!

Bella ikut senang membaca kabar dari Dona itu. Akhirnya dia mendapatkan apa yang di cita-citakan.

Kak Bella_
Wah selamat! Harus dirayain nih. Traktir aku dong di angkringan biasanya.

Mooi_
Aku lagi bokek, Kak. Huhuhu.

Bella tertawa melihat emoticon menangis yang dikirimkan Dona. Dia lalu mengetikkan pesan balasan.

Kak Bella_
Ya udah, aku yang traktir.

Mooi_
Yeeeei!

Bella tersenyum dan memasukkan ponselnya ke saku. Bella tak mengerti padahal baru saja dia suasana hatinya sangat buruk gara-gara ayahnya, bagaimana bisa hanya dengan beberapa kata dari Dona saja membuat hatinya jadi lebih ringan.

***

Di angkringan yang sederhana namun penuh kenangan, Bella sudah duduk lebih dulu dengan secangkir teh hangat di depannya. Dona datang dengan membawa nasi kucing dan beberapa tusuk sate kulit favorit mereka.

"Jadi, bagaimana rasanya jadi penerima beasiswa LPDP?" tanya Bella sambil tersenyum.

"Rasanya... campur aduk. Bangga, senang, tapi juga sedikit takut. Bagaimana kalau aku nggak bisa memenuhi ekspektasi orang-orang?" Dona menjawab sambil menuang teh dari termos.

"Jangan pikirkan itu. Kamu lolos karena kerja kerasmu sendiri. Sekarang waktunya menikmati pencapaianmu," kata Bella sambil memandang Dona dengan bangga.

Setelah beberapa menit menikmati makanan mereka dalam keheningan yang nyaman, Bella membuka pembicaraan. "Ngomong-ngomong, aku mau cerita sesuatu. Tadi di pernikahan adikku, ayahku datang... dan dia bawa selingkuhan sama anaknya."

Dona tertegun. Ia meletakkan gelasnya dan menatap Bella dengan penuh perhatian.

"Terus?"

Bella menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Ibu tetap tenang. Dia nggak marah, nggak mengamuk. Padahal aku yang ngelihat itu langsung panas hati. Tapi ibu malah bilang kalau menyimpan dendam dan amarah itu hanya bikin dia lelah."

Dona mengangguk pelan. "Ibumu luar biasa. Dia sudah berdamai dengan masa lalu, ya?"

"Sepertinya begitu," Bella mengakui, suaranya terdengar lebih pelan. "Dia bahkan menasihati aku buat memaafkan ayah."

Dona menatap Bella dengan penuh empati. "Dan bagaimana perasaanmu sekarang? Kamu mau mencoba memaafkan ayahmu?"

Bella mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Sejujurnya, aku belum bisa. Tapi mungkin... aku akan mencobanya. Ibu bilang aku harus melepaskan semuanya biar nggak lelah terus-terusan."

Dona meletakkan tangannya di atas kepala Bella dan mengelus-elusnya. "Kak Bella sudah dewasa ya! Aku bangga deh!"

Mendengar kata-kata itu, Bella mendelik kesal dan menepis tangan Dona.

"Hei! Aku ini sepuluh tahun lebih tua darimu. Jangan memperlakukanku seperti adik kecilmu!" ketusnya mengingatkan.

Dona tertawa kecil. "Oke, oke. Tapi umur itu cuma angka. Kakak tahu kan, dewasa itu bukan soal usia?"

Bella hanya menghela napas sambil menatap Dona. Ada kekesalan kecil di matanya, tapi di balik itu, ada rasa hangat karena merasa dihargai.

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, mereka melanjutkan obrolan santai, saling berbagi cerita dan mimpi. Dalam hati, Bella merasa beruntung memiliki seseorang seperti Dona di sisinya—seseorang yang, meskipun lebih muda, selalu mendukung dan memahami dirinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top