3
Dona memasuki kamar kosnya dengan langkah berat. Pintu kayu yang mulai kusam itu ia tutup perlahan, seolah ingin menunda dunia luar masuk ke dalam ruang kecil yang menjadi tempat peristirahatannya. Kamar ini sederhana, hanya berisi kasur single, meja belajar dengan lampu kecil, dan lemari pakaian yang sudah mulai reot. Meski sempit, tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa memiliki kendali atas hidupnya.
Ia melepaskan ransel dan duduk di tepi kasur, melepas sepatu dan menghela napas panjang. Tugas koas hari ini terasa melelahkan, seperti biasa. Hanya satu bulan lagi, masa koasnya akan selesai, tapi tantangan berikutnya sudah mengintai: ujian kelulusan yang menentukan apakah ia layak menyandang gelar dokter. Setelah itu, ada program interenship yang harus ia jalani sebelum benar-benar dianggap sebagai dokter penuh. Perjuangan itu belum selesai, dan Dona tahu ia harus terus bertahan.
"Ramadona, kamu pasti bisa," gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri, seperti kebiasaannya sejak kecil.
Ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah benda kecil yang selalu memberinya semangat. Sebuah gincu dengan kemasan usang, catnya sudah pudar, tetapi tetap ia simpan dengan hati-hati. Gincu ini adalah satu-satunya peninggalan orang tuanya—orang yang meninggalkannya di depan panti asuhan bertahun-tahun lalu.
Surat yang ditinggalkan bersama gincu itu hanya berisi dua hal: nama lengkapnya, Ahmad Ramadona, dan permintaan maaf karena mereka tidak mampu membesarkannya.
Gincu itu menjadi benda yang paling berharga bagi Dona. Ia tidak pernah tahu mengapa orang tuanya meninggalkan benda itu, tetapi baginya, gincu itu adalah pengingat bahwa meski ia ditinggalkan, ia memiliki sesuatu yang istimewa. Dari kecil, Dona sering bermain-main dengan gincu itu, mencoba memoles bibirnya dan berdandan. Kebiasaan itu terus ia lakukan hingga dewasa, bukan karena ingin menjadi orang lain, tetapi karena ia merasa itu membuatnya lebih percaya diri.
Ponselnya bergetar, menariknya kembali ke realitas. Ia meraih ponsel dari meja dan membuka notifikasi Instagram. Ada pesan masuk dari akun bernama Moreno Prawirohadjo. Dona mengerutkan kening karena mengenali pria itu sebagai suami dari teman satu gengnya, Agmi. Dona membaca isi pesan itu dengan alis terangkat.
“Brand ambassador untuk produk skincare?” bisiknya. Reno menjelaskan bahwa ia adalah cucu dari Prof. Sumarto, pendiri P-Farma, perusahaan farmasi besar. Produk skincare ini adalah cabang baru dari perusahaan tersebut, dan mereka membutuhkan wajah yang menarik untuk mempromosikannya.
Namun yang membuat Dona terperangah adalah nominal yang tertera dalam kontrak penawaran itu. Jumlah uang yang bisa ia dapatkan dari pekerjaan itu cukup untuk menopang hidupnya selama lebih dari setahun tanpa harus bekerja.
Ia menatap pesan itu dengan campuran perasaan. Tawaran ini terlalu menggiurkan untuk dilewatkan, tetapi ada risiko besar yang harus ia pikirkan. Identitasnya sebagai Bella Mooi, sang beauty influencer TikTok, adalah rahasia besar. Suaranya yang berat, wajahnya yang tak biasa, semuanya bisa terbongkar jika ia menerima pekerjaan ini.
Namun, matanya kembali melirik gincu di tangannya. Benda kecil itu mengingatkan Dona pada satu hal: ia telah melewati banyak hal dalam hidupnya yang penuh perjuangan. Jika dulu ia bisa bertahan tanpa orang tua, mengapa ia harus menyerah sekarang?
"Bagaimana kalau aku pakai konsep misterius?" gumamnya. Ia membayangkan dirinya meniru Master Limbad, tidak berbicara sama sekali dan menggunakan papan tulis kecil untuk berkomunikasi. Itu mungkin bisa mengalihkan perhatian dari suaranya yang berat.
Dengan ragu tapi penuh harapan, Dona akhirnya mengetik balasan: "Tertarik. Bisa kita bicarakan lebih lanjut?"
Ia tahu langkah ini berisiko, tapi peluang ini adalah salah satu yang tak datang dua kali. Sebagai seseorang yang telah belajar untuk terus berjuang, Dona memutuskan untuk mengambil kesempatan itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top