29

Hari itu adalah momen yang paling dinantikan Aina, adik Bella. Acara pernikahan berlangsung meriah di sebuah ballroom hotel mewah di Surabaya. Bella, yang mengenakan kebaya hijau pastel, terlihat anggun mendampingi adiknya sepanjang prosesi. Meski senyuman terus terukir di wajahnya, ada sedikit kekosongan di matanya.

Ayah mereka, yang telah lama absen dalam kehidupan Bella, hadir sebagai wali nikah Aina. Sejak awal acara, Ayah hanya berbicara secukupnya dengan Bella. Tidak ada basa-basi, apalagi percakapan hangat. Ayah hanya fokus pada tugasnya sebagai wali, menghindari kontak mata dengan Bella sebanyak mungkin.

Namun, Bella mencoba mengabaikan rasa sesak di dadanya. Yang terpenting adalah Aina. Melihat adiknya bahagia saat mengucap akad nikah, Bella merasa sedikit lega. Setidaknya, Aina mendapatkan keluarga baru yang mencintainya.

Setelah akad selesai, Bella berjalan menuju area makanan untuk mengambil minuman. Tanpa sengaja, dia bertabrakan dengan seorang wanita muda yang tampak gugup.

“Halo, Kak Bella?” panggil wanita itu dengan canggung.

Bella terdiam. Itu Shintia, adik tirinya—anak dari selingkuhan ayahnya. Di sebelah Shintia, berdiri ibu tirinya, wanita yang menghancurkan keluarganya bertahun-tahun lalu.

Mata Bella langsung dipenuhi kilatan amarah. Adegan di bianglala, ketika ayahnya meninggalkannya untuk bersama wanita ini dan anak haramnya, kembali menghantam pikirannya seperti gelombang pasang.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” Bella berteriak dengan nada marah, menarik perhatian beberapa tamu di sekitar mereka.

Shintia terlihat ketakutan, melirik ibunya yang tampak bingung. Bella melanjutkan, “Kalian nggak punya malu, ya? Datang ke sini setelah semua yang kalian lakukan pada keluarga kami?”

Sebelum situasi semakin memanas, Tante Sasa dan Om Edwin, kerabat dekat keluarga, segera datang menghampiri. Tante Sasa dengan lembut menepuk bahu Bella, “Ayo, Bella, kita masuk ke dalam dulu.”

Namun, Bella tidak bisa langsung tenang. Ketika mereka membawanya masuk ke ruang belakang, Bella malah bertemu Ayahnya, yang sedang bersiap untuk kembali ke acara.

Bella, yang masih dikuasai amarah, mendekati Ayahnya. “Berani-beraninya Ayah bawa mereka ke sini! Ayah pikir mereka pantas ada di sini, di pernikahan Aina?”

Ayahnya menghela napas panjang, tampak lelah. “Aku hanya ingin mereka juga menjadi bagian dari keluarga ini. Itu salah?”

“Salah?” Bella mendengus sinis. “Ayah menghancurkan keluarga kita demi mereka. Jangan mimpi aku akan anggap mereka keluarga!”

Teriakan Bella membuat suasana tegang. Untungnya, Kakek segera masuk ke ruangan itu, menatap Ayah dengan tajam.

“Aku sudah bilang dari awal, aku nggak mau lihat mereka di sini,” kata Kakek dengan nada tegas. “Kalau kamu tetap keras kepala, aku nggak segan mencabut hak warismu. Sekarang juga, bawa mereka pergi.”

Ayah tampak terkejut, tetapi tidak berani membantah. Dengan wajah masam, dia keluar dari ruangan untuk mengurus kepergian tamu tak diundang itu.

Bella duduk di kursi, menunduk, mencoba menenangkan dirinya. Tante Sasa menepuk bahunya dengan lembut.

“Udah, Bella. Jangan biarkan mereka merusak hari bahagia ini. Aina butuh kamu di sisinya,” ujar Tante Sasa.

Bella mengangguk perlahan. Dia tahu amarahnya tidak akan mengubah masa lalu. Tapi luka itu, luka yang ditinggalkan oleh pengkhianatan ayahnya, masih terlalu dalam untuk sembuh.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top