27

Pagi yang cerah menyapa kamar Bella. Ia menyalakan lampu kamar mandi dengan gerakan malas, lalu menghadap cermin besar di depannya. Botol-botol skincare tersusun rapi di meja, mencerminkan rutinitas yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bella memulai dengan cleanser berbusa lembut, membersihkan sisa-sisa malam yang masih melekat di wajahnya.

Namun, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada rutinitas itu. Ia teringat ucapan Dona di angkringan kemarin lusa. "Uang tidak bisa membeli kebahagiaan," kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalanya, mengusik seperti lonceng kecil yang terus berbunyi.

Bella, yang selalu bangga dengan pencapaian dan stabilitas finansialnya, tidak pernah berpikir bahwa kekayaan bukan segalanya. Tapi Dona benar. Meskipun punya semua yang ia inginkan-apartemen mewah, pakaian berkelas, dan karier yang cemerlang-ia merasa hampa. Setiap malam, ia tidur sendirian, tanpa ada seseorang yang benar-benar memahami isi hatinya.

Sambil mengoleskan toner ke wajah, Bella mengingat percakapan terakhir dengan kakeknya. "Habib pria yang baik," ujar kakek dengan nada lembut namun tegas. "Dia dan Aina saling mendukung. Itu yang paling penting dalam hubungan. Bella, Habib bukan ayahmu. Jangan biarkan bayang-bayang masa lalu membuatmu menilai orang lain dengan cara yang salah."

Bella menghela napas panjang, lalu mengoleskan serum. Kata-kata kakeknya menyentuh bagian terdalam dirinya. Benar, kenapa ia selalu memandang semua laki-laki seperti ayahnya-pria yang meninggalkan keluarganya demi selingkuhannya? Habib bukanlah ayahnya. Ia adalah pria sederhana, seorang guru yang bekerja keras demi mengejar mimpinya, dan yang terpenting, ia mencintai Aina dengan tulus.

Bella mengambil pelembap dari botol kecil berwarna pastel dan memijatnya lembut ke wajah. Ia teringat kata-kata ibunya, yang biasanya diam dalam urusan percintaan Aina. Namun kali ini, ibunya berkata, "Habib mungkin sederhana, tapi dia punya agama yang bagus. Itu bekal yang cukup untuk kebahagiaan Aina. Kau harus percaya pada adikmu."

Bella berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin. Apakah selama ini ia terlalu keras pada Aina? Terlalu menuntut agar adiknya mendapatkan seseorang yang "sempurna" hanya karena ia takut Aina akan mengulangi kesalahan keluarga mereka?

Ia menyelesaikan rutinitasnya dengan sunscreen, melindungi wajahnya dari sinar matahari-tapi hari ini, ia merasa ingin berhenti melindungi hatinya dari dunia. Mungkin sudah waktunya ia membuka diri, seperti yang kakeknya sarankan.

Bella meraih ponsel di meja rias, jari-jarinya melayang sejenak sebelum mengetik pesan untuk Aina.

Kak Bella_
Aina, kamu dan Habib sangat cocok. Aku berdoa agar kalian bahagia. Tapi bukan berarti aku merestui kalian.

Bella tersenyum kecil sembari mengetikkan kalimat itu pada adik kecilnya. Bella masih saja gengsi, biarlah, dia harus menjaga imagenya yang stay cool.

Seketika, beban yang selama ini mengganjal di dadanya terasa terangkat. Bella tersenyum tipis, merasa lebih ringan. Ia akhirnya menerima bahwa kebahagiaan bukan soal kesempurnaan, melainkan keberanian untuk percaya pada cinta-dan keputusan Aina adalah bukti dari keberanian itu. Bella tahu, langkah kecil ini mungkin akan menjadi awal perubahan besar dalam hidupnya sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top