26
Bella berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pantai selutut berwarna putih dengan motif bunga tropis. Sebuah topi pantai lebar melengkapi penampilannya. Hari ini adalah arisan keluarga dengan tema pantai, dan untuk pertama kalinya, Bella merasa sedikit antusias. Bukan karena tema, tapi karena kabar bahwa Budhe Endang, pengganggu langganannya, absen akibat mencret.
Setibanya di lokasi, Bella disambut oleh tawa riuh keponakan-keponakannya yang berlari-larian di antara meja-meja yang dihias dengan nuansa biru dan putih. Bau kelapa dari mocktail dan suara musik tropis melengkapi suasana santai di hotel milik keluarga mereka. Di sudut lain, ia melihat kakeknya, duduk di kursi rotan dengan senyum lebar.
"Bella sayangku!" seru kakeknya sambil melambaikan tangan. “Ke sini, cucuku yang paling cantik!”
Bella tersenyum lebar dan berjalan mendekat. Kakeknya adalah satu-satunya orang yang selalu memanjakannya sejak kecil, memberikan cinta yang konstan di tengah keluarga yang berantakan. Saat ia tiba, kakek langsung mengusap kepalanya dengan penuh kasih.
Namun, senyuman Bella memudar ketika ia melihat Aina mendekat, menggandeng seorang pria yang tak asing baginya. Habib, pacar Aina, hadir di acara ini—dan dengan jas resmi pula. Di tengah semua orang yang berpakaian santai, penampilan Habib tampak kaku dan tidak pada tempatnya.
Bella hampir saja membuka mulut untuk mengomentari jas yang dikenakan Habib, tapi kakek langsung memotongnya dengan berbisik. “Habib mungkin salah kostum, tapi hatinya benar.”
Bella menahan napas, terkejut. Bagaimana Kakeknya bisa bersikap santai seperti itu.
Kakek melanjutkan, “Aku suka anak ini, Bella. Dia pria yang baik. Dia dan Aina saling mendukung. Dan Habib bukan ayahmu.” Kakek memandang Bella dengan sorot mata lembut namun tegas. “Jangan biarkan rasa sakit masa lalu menutup hatimu untuk orang lain. Kamu, seperti Aina, berhak bahagia. Tapi itu hanya mungkin kalau kau membuka hatimu.”
Bella tercekat. Kata-kata itu seperti menghantam pertahanannya. Ia hanya bisa menunduk, merasa emosinya mengaduk-aduk.
Kakek menariknya ke dalam pelukan hangat, lalu berkata dengan nada penuh penyesalan, “Aku juga minta maaf, Bella. Aku gagal mendidik ayahmu menjadi pria yang baik. Itu membuat kalian semua menderita. Tapi aku ingin kau tahu, semua ini bisa berakhir. Kaum hanya perlu memilih kebahagiaan.”
Air mata menggenang di pelupuk mata Bella. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam suara kakek yang menyentuh bagian terdalam hatinya. Saat kakek mengusap kepalanya, air mata itu akhirnya jatuh.
“Kakek,” Bella berbisik lirih, “apa Aina akan bahagia bersama Habib?”
Kakek tersenyum dan menjawab dengan bijaksana, “Kebahagiaan adalah pilihan, Bella. Jika Aina dan Habib saling mendukung, mereka akan bahagia. Begitu pula denganmu. Kamu bisa bahagia, asal kamu memilih untuk itu.”
Bella menghapus air matanya dan menatap Aina serta Habib yang sedang berbicara dengan sepupu mereka. Mungkin, sudah saatnya ia mulai percaya bahwa cinta dan kebahagiaan bisa datang dari tempat yang tidak terduga.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top