25
Dona menghela napas panjang saat melepas jas putihnya di ruang ganti. Hari-harinya sebagai dokter internship hampir berakhir, dan ia merasa lega sekaligus bangga. Semua rotasi panjang, dari bangsal hingga UGD, telah dilewatinya. Kini ia lebih terampil menangani pasien, lebih tajam dalam berpikir, dan lebih tenang menghadapi situasi darurat. Insentif bulanan sebagai dokter internship juga membuat perjuangannya terasa lebih berarti. Hari itu, ia pulang dengan senyum di wajah, siap menikmati malam terakhir sebelum fokus menutup masa internship-nya.
"Kak, aku sampai angkringan duluan ya," pesan Dona melalui WhatsApp. Menjadi rekan kerja untuk mempromosikan produk skincare membuatnya berteman baik dengan Bella. Bahkan dia sudah menghilangkan gelar Dokter dari panggilannya pada Bella dan menggantinya dengan Kakak. Yah, Bella itu lebih tua hampir sepuluh tahun darinya. Walaupun terkadang Dona merasa dia lebih dewasa dari cewek jutek itu.
“Jangan pesan terlalu banyak, nanti perutmu penuh sebelum kita ngobrol,” balas Bella singkat.
Tak lama, Bella datang dengan blazer kasual yang tetap menonjolkan aura mewahnya. Duduk di bangku kayu sederhana, ia tersenyum kecil melihat Dona sibuk memilih menu. Tempat ini adalah favorit mereka sejak masa roadshow skincare. Meski Bella biasanya menghindari tempat sederhana, ia selalu menerima ajakan Dona ke angkringan ini.
“Jadi, setelah internship selesai, kamu mau ngapain, Don?” tanya Bella sambil menyeruput teh hangatnya.
Dona tersenyum, matanya berbinar. “Aku lagi ajukan beasiswa LPDP buat jadi dokter spesialis anak.”
Bella menaikkan alisnya. “Kenapa bukan spesialis kulit dan kelamin? Bukannya kamu cocok banget di dunia kecantikan?”
Dona terkekeh. “Aku suka anak-anak, Kak. Dari dulu aku ingin jadi dokter spesialis anak. Waktu adikku di panti sakit dulu, aku janji sama diriku kalau aku akan merawat anak-anak seperti dia. Itu cita-citaku.”
Bella mengangguk pelan. “Pantas saja kamu penuh semangat kalau soal anak-anak.”
Namun, raut wajah Bella berubah. Ada sesuatu yang tampaknya mengganjal pikirannya. Dona yang peka langsung menangkap sinyal itu.
“Kak, sebenarnya ada apa?” tanya Dona lembut. “Kamu nggak mungkin ngajak aku keluar cuma buat makan. Biasanya ada yang mau diomongin.”
Bella mendesah, meletakkan sendoknya. “Adikku, Aina,” katanya. “Dia pacaran sama tukang ojek.”
Dona mengerutkan dahi, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Aku nggak setuju. Menurutku, Aina bisa dapat yang lebih baik. Tukang ojek? Apa dia bisa kasih masa depan yang layak buat adikku?” lanjut Bella dengan nada frustrasi.
Dona menatap Bella, lalu berkata pelan, “Kak Bella, bukannya Kakak sendiri nggak pernah memandang rendah aku yang jelas-jelas nggak punya apa-apa?”
Bella terdiam. Kata-kata Dona membuatnya tercenung.
“Uang nggak bisa beli kebahagiaan, Kak. Kalau Aina bahagia sama dia, kenapa harus dipaksa cari yang lain?” tanya Dona lagi.
Bella mendesah berat. “Aku cuma nggak mau dia menderita, Don.”
“Kak, kebahagiaan itu nggak cuma soal uang. Kakak sendiri pernah bilang, kan? Meski Kakak kaya, kadang Kakak masih merasa kesepian.”
Bella tak menyangkal. Ia tahu ada kebenaran di balik kata-kata Dona. Selama ini, ia sering merasa ada yang kurang, meski hidupnya penuh kemewahan. Namun, kebahagiaan Aina bersama pria sederhana itu seolah membuktikan bahwa uang memang bukan segalanya.
Malam itu, percakapan mereka membuat Bella banyak berpikir. Hubungannya dengan Dona, meski sederhana, terasa begitu tulus. Sementara itu, Dona merasa bersyukur memiliki Bella, teman yang telah banyak membantunya, bahkan di luar urusan medis. Angkringan itu menjadi saksi kehangatan persahabatan mereka yang semakin erat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top