23

Bella duduk di kursi panel utama, senyumnya mengembang seperti biasa. Di sampingnya, Dona yang menyamar sebagai Bella Mooi dengan anggun mengamati kerumunan menggunakan papan tulis kecilnya. Sesi tanya jawab dimulai, dan salah satu penonton, seorang wanita muda dengan suara lantang, mengacungkan tangan.

“Dokter Isabella,” katanya, nada suaranya terdengar kritis. “Kenapa Anda children free? Bukankah seorang wanita yang sukses seperti Anda justru harus menunjukkan bahwa memiliki anak bisa menjadi kebanggaan, bukan beban?”

Bella membeku sejenak. Wajahnya tetap tersenyum, tetapi kilasan trauma melintas di matanya. Dengan napas berat, ia menjawab, “Saya memilih untuk tidak punya anak karena saya tidak ingin membawa mereka ke dunia yang sudah rusak ini. Saya rasa itu pilihan pribadi.”

Namun, wanita itu tidak puas. “Bukankah itu egois? Dunia ini tidak akan berubah jika kita semua menyerah.”

Kata-kata itu seperti duri yang menusuk jauh ke dalam ingatan Bella. Ia teringat semua penghinaan dan tekanan dari netizen yang dulu pernah menghakiminya ketika ia menyebut anak sebagai beban. Matanya berkilat, tapi ia tidak melanjutkan argumen.

Dona, yang memperhatikan ketegangan itu, segera menengahi. Ia menulis sesuatu di papan tulisnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi:
“Dunia bisa menjadi lebih baik jika kita mulai dari hal kecil. Misalnya, menggunakan produk skincare dengan bahan alami seperti produk kami.”

Kerumunan tertawa, suasana mencair. Dona, tanpa ragu, mengambil sample gratis dan menyerahkannya kepada wanita itu. “Coba ini dulu,” tulisnya lagi di papan. Wanita itu mendesah, tetapi menerima sample tersebut, akhirnya memilih untuk diam.

Setelah acara selesai, Bella menarik napas panjang. “Aku tidak mood. Aku ingin jalan-jalan sendirian,” katanya pelan kepada Dona. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik pergi, meninggalkan Dona yang tertegun.

Dona merasa hampa tanpa Bella di sisinya. Ia berjalan keluar gedung, berniat kembali ke hotel, ketika seorang pria paruh baya menghampirinya.

“Isabella?” tanya pria itu, wajahnya penuh harap.

Dona kaget, tetapi segera menyadari bahwa pria itu telah salah mengenalinya sebagai Dokter Bella. Namun, ada sesuatu yang familier dalam raut wajah pria itu—seperti versi muda dari Kakek Bella.

"Maaf, kamu mirip sekali dengan putriku," ucap pria itu yang tampak menyadari kalau dia salah orang.

“Apakah anak Anda itu Dokter Isabella?” tulis Dona di papan kecilnya.

Pria paruh baya itu mengangguk pelan.

“Benar. Saya Sujarwo. Ayah Isabella,” jawab pria itu. “Saya hanya ingin memberinya ini.” Ia mengeluarkan buket bunga yang indah. “Saya tahu dia mungkin akan menghindari saya, tapi tolong, sampaikan ini padanya. Katakan padanya bahwa saya ingin sekali bertemu.”

Dona menerima bunga itu, berjanji akan memberikannya pada Bella. Namun, hatinya penuh dengan pertanyaan.

Malam itu, Bella kembali ke hotel setelah menghabiskan waktu di Malioboro. Dona menyambutnya dengan buket bunga itu. “Ayahmu menitipkan ini,” tulis Dona di papan.

Mata Bella langsung berubah dingin. Ia meraih buket itu dan membuangnya ke tempat sampah.

“Kenapa kau melakukan itu?” tulis Dona, tatapan matanya penuh kebingungan.

“Ayahku sudah pergi terlalu lama,” jawab Bella dingin. “Aku tidak butuh dia lagi.”

Dona menatap Bella dengan tatapan penuh kecewa. “Dia mencoba kembali. Apa Dokter tidak bisa memberinya kesempatan?” tulisnya, memegang papan di hadapan Bella.

Bella tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top