05 - Japan

Pesawat yang mereka berdua tumpangi mendarat dengan selamat. Petra sempat panik karena ini adalah pertama kalinya dia naik pesawat. Siapa lagi kalau bukan Levi yang menenangkan. Karena hanya mereka berdua yang pergi.

Petra takjub melihat pemandangan di sekelilingnya. Saat ini mereka dalam perjalanan ke sebuah hotel tempat di mana mereka menginap. Musim panas di Jepang memang keren. Tidak salah Levi memilih waktu.

"Hoi, tutup mulutmu. Air liurmu menetes. Itu menjijikan," ucap Levi dingin.

Petra mengelap air liurnya yang hampir menetes. Di mata seorang pria, gadis seperti itu memang menjijikan tapi Petra tidak peduli. Peduli setan apa yang dikatakan orang lain tentangnya. Dia happy-happy aja asal tidak mengganggu orang lain. Matanya masih fokus memandangi jalanan di Kota Tokyo. Benar-benar sama persis apa yang diliatnya di TV.

Levi melirik Petra sekilas sebelum pandangannya kembali fokus pada tablet yang ada di tangannya. Ini sudah sesuai dengan rencananya. Bukan tanpa alasan di pergi ke Jepang. Pria itu bukan tipe yang suka menghambur-hamburkan uang. Ada suatu alasan yang membuatnya harus terbang ke Jepang bersama Petra.

"Kapan kita sampai?"

"Entahlah, 15 menit lagi mungkin."

Mata Petra berbinar membuat Levi yang meliriknya sekilas menjadi mengangkat alisnya. Belum pernah Levi bertemu gadis se-aneh dan se bar-bar Petra.

Taksi berhenti di depan hotel. Setelah memberi ongkos, Levi segera keluar membawa barang-barangnya dan Petra.

"Berikan padaku, aku bisa sendiri," ucap Petra. Tanpa banyak bicara Levi memberikan koper Petra.

Mereka menuju meja resepsionis untuk memesan kamar hotel. Petra melihat-lihat sekeliling. Masih belum pudar rasa kagumnya pada negeri matahari terbit ini. Impiannya sejak kecil untuk pergi ke Jepang akhirnya terwujud. Ya, walaupun harus pergi dengan orang yang dia benci.

"Maaf Tuan, sekarang hanya tersisa satu kamar."

"Apa, satu kamar? Jangan bercanda."

Petra yang mendengar keributan antara Levi dan resepsionis segera menghampiri mereka.

"Ada apa?"

"Hanya tersisa satu kamar di sini," ucap Levi menjelaskan.

"Maaf, tapi apa tidak ada kamar yang kosong?"

"Tidak ada nona. Hanya tinggal tersisa satu."

Keadaan yang sangat bagus pikir Petra. Sudah senang dia pergi ke Jepang eh, malah jadi begini. Lalu sekarang apa? Satu kamar hotel dengan Levi? Orang yang paling dia benci?

"Baiklah, ku ambil. Berikan kuncinya."

Petra terkejut bukan main. Bisa saja kan mereka mencari hotel lain? Dia mencoba menahan mulutnya mati-matian agar tidak nyerocos hal yang tidak-tidak.

Levi yang sedikit peka dengan keadaan Petra juga tidak bisa melakukan apapun. Palingan nanti dia hanya nyerocos hal yang tidak berguna begitu pikir Levi. Toh, Levi juga bukan pria bejat yang suka bermain dengan wanita.

"Bagus, sekarang apa?" ucap Petra setelah memasuki kamar hotel.

Levi mengedikkan bahunya yang sukses membuat Petra merasa kesal. Ingin dia cabik-cabik cowok yang satu ini. Oke, dia akui mungkin itu mustahil malah sangat mustahil.

Beruntung di kamar ini ada dua ranjang terpisah. Dan itu berarti mereka tidak perlu tidur satu ranjang. Boro-boro tidur satu ranjang, bahkan Petra tidak pernah membayangkan nasibnya jadi seperti ini.

Beberapa menit yang lalu Levi bilang ingin pergi keluar. Kesempatan yang bagus untuk Petra. Niatnya saat sampai di hotel, dia mau langsung mandi. Tapi harus berdebat sebentar dengan Levi. Huh, menyebalkan.

"Oke, sekarang waktunya berendam."

Petra mengambil pakaiannya dari dalam koper. Dia tidak mungkin lupa membawa pakaiannya dan kemudian keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Dan mendapati Levi sudah berada di sana. Bruh, hidupnya bukanlah novel romansa.

"Nah, ini baru yang namanya hidup."

Gadis itu berendam sambil memejamkan matanya. Mencoba menikmati sentuhan air di tubuhnya. Melepaskan sejenak pikiran tentang Levi.

"Uh, aku muak dengan pria itu."

Baru saja dia kembali memejamkan matanya, terdengar suara yang paling ia benci. Jika begini terus mungkin Petra akan gila. Bukan akan lagi, tapi sudah gila.

"Kau di dalam?" Petra menjawabnya dengan deheman yang berarti 'iya'.

"Cepat! Aku juga mau mandi!"

Petra menahan amarahnya. Sial, tidak di rumahnya, tidak di hotel, tidak di manapun, sama saja. Sebenarnya siapa sih yang salah? Petra? Ayolah, dia hanya korban. Levi? Uh, bahkan dia tidak berminat sedikit pun padanya.

"Baik Tuan," ucap Petra dengan gaya bicara yang dibuat-buat seperti pelayan.

"Hih, dasar menyebalkan," gerutu Petra.

Akhirnya mau tidak mau walaupun memang harus mau, Petra menyudahi acara berendamnya yang menyenangkan. Bahkan belum ada 20 menit dia berendam. Sialan, pikirnya.

Pintu kamar mandi dibuka. Petra dengan muka kesal berjalan melewati Levi yang berdiri di depannya. Oke, dari semua kejadian ini Petra belajar satu hal.

Menahan amarah

Petra akui dia bukan orang yang sabar. Dia tipe yang jika tidak sesuai dengannya maka dia tidak segan-segan mengomentarinya. Sedikit tidak baik memang, tapi itulah dia. Tapi, semenjak kejadian itu. Dia menjadi orang yang lebih sabar. Well, dia mendapatkan pelajaran baru.

"Jika kau lapar, pesan saja."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku nanti saja."

Bukan maksud Petra untuk peduli pada Levi. Hanya saja, dia tidak mau berdebat lagi dengan pria keturunan Jerman itu. Apa jadinya nanti jika dia ngomel-ngomel tidak dipesankan makanan. Membayangkannya saja Petra sudah pusing.

"Uh, aku lapar. Katanya tadi pesan saja."

Petra memesan beberapa makanan untuknya dan untuk Levi. Ya, dia memutuskan untuk begitu. Jadi nanti dia dan Levi bisa makan siang bersama.

Makanan yang dipesan Petra datang. Cepat juga, pikirnya. Belum ada 10 menit sudah datang. Jepang benar-benar keren. Dengan segera dia membuka pintu dan mempersilahkan seorang waitres untuk masuk.

"Terima kasih," ucapnya dalam bahasa Jepang.

Di saat yang hampir bersamaan, Levi keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Petra melihat dengan tatapan biasa-biasa saja.

Dia bukan gadis yang akan sok-sok malu kemudian menutup wajahnya dengan tangan melihat hal seperti itu. Dia sudah sering melihatnya di adegan film-film Amerika.

"Jika kau sudah selesai, langsung makan saja. Aku duluan," ucap Petra mengambil makanannya.

"Hem."

Pria itu masuk kembali ke kamar mandi dengan pakaian bersih di tangannya.

"Gilak, bagus juga tubuhnya," ucapnya pelan.

****
Petra sudah lama selesai dengan makan siangnya begitu pun Levi. Entah ke mana pria itu pergi tadi. Dia bilang ingin jalan-jalan sebentar keliling hotel.

Niatnya Petra ingin ikut, tapi Levi malah melarangnya. Dan juga pria itu mengingatkannya tentang tugasnya di sini. Sial, ini namamya pengkangan.

Tiba-tiba dering telepon berbunyi. Petra segera mengecek handphonenya. Tapi suara itu bukan berasal dari handphone miliknya.

"Lah, terus punya sapa kalo bukan aku?"

Petra mencari sumber suara dan menemukan handphone – sudah jelas milik Levi – yang tadi berdering. Dia melihat di layar kontak.

"Mr. Rall?"

Entah kenapa dia merasa nama orang itu mirip dengan namanya, Petra Rall. Tapi dia menepis pikiran itu dengan, kan banyak nama yang sama di dunia ini. Handphone Levi terus berdering. Petra ingin mengabaikannya saja. Tapi bagaimana jika itu penting? Ah, sudahlah.

"Halo? Levi kau di situ. Apa putriku ada bersamamu? Apa dia baik-baik saja?"

Petra mematung. Dugaannya dari awal memang sudah benar. Tidak salah. Nama yang mirip dengan keluarganya. Dan sekarang suara ini. Dia berani bersumpah jika ini adalah suara ayahnya.

Banyak pertanyaan yang beterbangan di kepala gadis itu. Ayahnya mengenal Levi? Pria yang telah menculiknya dan menjadikannya pelayan pribadinya? Ini gila. Apa dunia sesempit ini?

"Ayah?"



****************

Huhhff, waw. Ni ada apa sih sebenernya? Gini amat gak sih?
Oke, keknya di bab selanjutnya kita dah masuk konflik yang sebenarnya.

Jadi selama ini apa?

Pemanis:v

Dahlah, oke jan lupa vote ma komen
Ketemu di bab 6

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top