Chapter 21

Bapau buatan kakaknya benar-benar menguntungkan, tak salah Ataya menerima bapau tersebut dari kakaknya. 

Saat ditengah jalan ia melihat seorang keluarga kecil yang terlihat bahagia, seketika ia teringat dengan masalah yang sedang dihadapi oleh kakaknya. 

Sebenarnya semalam, Ataya melihat kalau kakaknya sedang membanting-banting adonan bapau sambil menangis, mungkin itu caranya melampiaskan kesedihan yang sudah lama kakaknya tahan. 

Tapi apa ini, Ataya malah menggambil kesempatan untuk mendapatkan uang dari hasil kerja keras kakaknya sendiri. 

"Ah ... kenapa jadi kaya begini, si?!" dumel Ataya yang mulai merasa tidak enak. 

Hilang sudah mood Ataya sekarang. Percuma saja ia mendapatkan uang hari ini.

- - - 

Sesampainya di rumah, Rima sangat senang melihat kalau bapau yang dibawa Ataya habis. "Wish ... anak baik, abis juga bapaunya," goda RIma. 

"Iya abis, orang Taya jual bapaunya," balas Ataya yang kurang semangat.

"Haha ... seriusan?" 

Melihat ekspresi Rima, lagi-lagi Ataya  merasa iba pada kakaknya itu. Bagaimana bisa ia bertahan sampai sejauh ini? 

"Kak, kalau kakak ada masalah, kakak cerita aja sama Taya, jangan dipendem sendirian," ucap Ataya mencoba berterus terang pada kakaknya. 

Ia tak bisa mempertahankan rasa ibanya seperti ini. Ataya sangat benci rasa seperti itu. 

"Masalah?" Rima tampak bingung. 

Rima memang paling juara dalam memanipulasi ekspresi dan perasaan. 

"Jujur aja sama Taya, gak usah sungkan untuk berbagi, kakak gak sendirian di sini, jadi jangan merasa kesepian, bagaimanapun cerita kakak, Taya pasti denger kok, jangan pura-pura senyum seolah gak ada apa-apa," ucap Ataya. "Ataya tau kakak pasti sedang dalam masalah, iya meskipun Taya gak berhak juga untuk ikut campur, tapi Taya gak suka kakak terus begini!" lanjtunyaberhasil membuat Rima menangis. 

Rima langsung memeluk adiknya, mengeluarkan seluruh air mata yang tertahankan sudah sejak lama. Ataya pun langsung balik memeluk kakaknya. "Kalau kakak sudah gak kuat, di sini ada Taya ... kakak gak sendiri," ucap Ataya sambil terus mengusap pungung kakaknya. 

"Kakak harus gimana Taya ... harus gimana?" ucapnya. 

"Kakak udah berusaha untuk jadi istri yang baik, yang patuh pada perintah suami, tapi kalau begini terus ... kakak juga udah gak kuat ..." lirih Rima. "Kakak gagal jadi istri yang baik untuk suami kakak," lanjutnya. 

Karena Ataya merasa kalau Rima mulai lemas. Jadi Ataya langsung membawa Rima ke sofa yang ada di dekatnya. 

"Kakak ipar kamu, dia dapet perintah dari atasannya untuk menetap di sana sampai lima bulan ke depan, entahlah apa alasannya kakak juga gak tau," jelas Rima sambil sesengukkan. 

"Tapi ... ah!" Rima kembali memeluk Ataya sambil menangis. 

Di tengah situasi yang kurang bagus itu tiba-tiba datang seorang yang tak Ataya duga. 

"Kak--" ucapnya tanpa suara. Tapi orang yang dimaksud tak ingin Ataya memberitau Rima soal keberadaannya. 

Jeno memberikan isyarat pada Ataya kalau dirinya akan mendengarkan keluhan istrinya dari posisinya sekarang, jadi tetaplah melakukan apa yang sekarang ia lakukan. 

"Kak ... pelan-pelan, ya," ucap Ataya yang mulai mengikuti perintah Jeno. 

"Tapi kakak tuh gak suka sebenarnya dia pergi! tiga bulan aja udah lama Taya! kakak baru saja ngelahirin anaknya! anaknya Taya! anaknya!" Rima mulai larut kembali pada emosinya. "Kamu tau, kan kakak itu dua tahun baru bisa melahirkan Letya, dua tahun itu adalah waktu yang lama bagi kakak untuk bisa membuat keluarga kakak sempurna seperti sekarang ...." 

Rima menjelaskan pada Ataya. Sebenarnya selama dua tahun mereka menikah, dirinya ingin sekali memiliki keluarga yang normal seperti orang-orang. Anak yang bisa melengkapi kehidupan mereka berdua, juga suami yang bisa menyempatkan waktunya untuk dirinya. 

Sejak awal menikah, Rima sedikit merasa tertekan saat Jeno meminta dirinya untuk bisa memaklumi dia kalau jalan bersama rekan perempuannya. Selama itu pula hanya rasa ketakutanlah yang Rima rasakan, dibandingkan istrinya, suaminya lebih dekat dan akrab dengan rekan kerjanya. Apa kata orang-orang, tidaklah di dengar oleh Jeno, dan Rima tidak sama sekali memberitau Jeno karena ia sangatlah takut padanya.  

Apapun Rima turuti perintah Jeno, karena ia tak mau kehilangan Jeno hanya karena ia menjadi istri yang mudah berpikiran yang tidak-tidak, tapi ia tahan semua itu. Setiap kali Jeno keluar kota, Rima terus saja merasa khawatir, mungkinkah dia sudah makan? sakit? atau yang lainnya? karena Jeno tipe orang pekerja keras, jika pekerjaannya belum selesai, ia pasti takkan pernah berhenti meski harus menghabiskan waktu dua puluh empat jamnya miliknya. 

Walau begitu, Jeno selalu berkata padanya kalau ia baik-baik saja sambil tersenyum. Senyuman Jeno adalah satu-satunya alasan mengapa Rima selalu ingin mempercayai dirinya, karena itu pula Rima juga sebisa mungkin berusaha menjadi istri yang Jeno inginkan. 

Tapi semakin lama, bukan hal seperti ini yang Rima harapkan. Rima hanya mau suaminya memiliki pekerjaan sewajarnya saja. 

"Selama di rumah sakit juga, kakak berharap kalau dia bisa paling tidak beristirahat sebentar, tapi ... dia tetap bekerja, dan itu membuat kakak semakin ..." 

Rima sudah tidak kuat lagi, Rima langsung memeluk bantal sofa. Ia tak mau suaranya terdengar oleh anaknya yang sedang tidur saat ini. 

Ataya hanya bisa memperhatikan dirinya. Rima terus saja memeluk bantal tesebut sambil menyembunyikan wajahnya untuk menahan suaranya. 

Saat seperti ini, Jeno mulai memberikan Ataya isyarat kalau sekarang Ataya bisa pergi dan biar dirinyalah yang menyelesaikan ini dengan kakaknya. 

Mendapati perintah seperit itu, Ataya pergi secara perlahan, sedangkan Jeno mulai menempati posisi Ataya seperti tadi. 

"Taya ... kakak ma--" Rima langsung terkejut saat mendapati Jeno lah yang berada di sebelahnya itu. "Jejen ... kamu ... tapi ... AH!" 

Tidak peduli lagi, Rima langsung melemparkan bantal tersebut pada Jeno, ia juga langsung memukuli suaminya itu. Rima benar-benar kecewa pada Jeno, untuk kali ini saja ia benar-benar ingin melampiaskan semuanya agar suaminya itu tau. 

"Kamu ...." Rima kembali menangis sambil memekuli Jeno. 

Sekarang Jeno mulai mengerti persaan istrinya, dirinya langsung memeluk Rima sambil mengusap puncak kepalanya. "Maaf ya, mari kita mulai semuanya dari awal lagi," ucap Jeno sambil terus mengusap kepala Rima. 

Rima masih saja menangis, tapi dirinya sudah berhenti memukul suaminya. Sekarang keadaan sudah mulai membaik. Ataya suka pemandangan seperti ini. 

Di tengah rasa haru yang Ataya rasakan tiba-tiba saja ada telepon masuk ke handphone Ataya, tapi nomor tersebut dirahasiakan. 

Seketika Ataya teringat pada ucapakan Canavaro yang melarang dirinya untuk menjawab telepon misterius tersebut. 

Karena di rasa keadaan sudah membaik, kini Ataya lah yang harus menghadapi masalah serius. 

Tak lama telepon itu berhenti, Ataya menerima sebuah pesan darinya. 

Oh ... baby, kenapa kamu gak jawab teleponku (Unknow)

Aku kangen sama kamu (Unknow)

Besok adalah terakhir kamu melaksanakan UKK, bukan? (Unknow)

Ah ... bagaimana dengan jualanmu tadi, bukankah menyenangkan, bapaumu begitu enak. (Unknow) 

Ataya berhasil dibuat terkejut oleh pesan terakhir. Siapa pemilik nomor ini, bukankah itu berarti mereka satu sekolah? 

Aku gak sabar menunggu hari itu ... kita berdua pasti akan bersenang-senang, love you baby (Unknow) 

Ataya benar-benar merasa takut. Dirinya tidak bisa berkata-kata, jantungnya mulai berdegup sangat cepat sekali. 

Tak lama kemudian ia menerima sebuah telepon, tapi karena sudah merasa sedikit kesal, akhirnya Ataya mengangkat telepon tersebut. 

"Sebenarnya lo tuh siapa, si?! apa mau lo sama gua?!" teriak Ataya yang sudah merasa kesal. 

Tapi ternyata salah, yang menelponnya adalah Canavaro. 

"Varo?" Ataya langsung terjatuh karena merasa lemas. 

Dirinya bersyukur karena yang menelpon itu adalah Canavaro dan bukan si peneror itu. 

Ataya mulai menceritakan semua hal yang baru saja terjadi padanya. Ataya menceritakannya dengan rasa takut, karena Ataya pikir, orang yang menerornya pasti adalah orang yang benar-benar menggenal Ataya, mungkinkah ia salah satu temannya? 


TBC ... 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top