Chapter 20
Keesokkan harinya.
Lagi-lagi hari ini dirinya dibuat kesal dengan pelajaran IPS Geografi, memang sulitnya tidak sama seperti Akuntansi dan Ekonomi, tapi tetap saja jika harus menghitung menggunakan rumus, Ataya lebih memilih menyerah sebelum perang di mulai.
Setelah pulang sekolah, dirinya berniat untuk bermain sebentar dengan keponakkannya Letya, tapi saat baru sampai rumah, belum sempat Ataya pergi ke kamar kakaknya. Dibalik pintu Ataya mendengar kalau kakanya sedang berdebat dengan seseorang lewat handphonenya.
"Kenapa bisa? kamu bilang cuma tiga bulan, segitu aja udah lama loh!"
Kalau dari bahasanya, sepertinya Rima sedang berbicara dengan suaminya, Ataya tidak mau ikut campur, tapi apalah daya rasa penasarannya justru mengalahkan rasa malasnya kali ini.
"Lima bulan itu bukang waktu yang sebentar Jen!"
"Kamu gak kepikiran apa aku sama Letya gimana di sini?"
"Ini tuh rumah orang tua aku loh!"
Sepertinya Jeno lebih memilih pekerjaannya lagi, baru kali ini Ataya mendengar kakaknya berdebat seperti itu. Biasanya Rima akan .
"Berapa kali aku sering mahamin kamu. Justru kamu yang gak pernah mahamin aku!"
"Kamu pikir ngurus anak sendirian itu mudah! Lestya juga butuh perhatian ayahnya!"
"Kamu tau, kan aku gak mungkin membebankan Letya ke bunda dan ke ayah!"
"Sekali ini saja Jen, ya ...."
Rima sudah mulai mengeluarkan air matanya. Ingin sekali Ataya menenangkan kakaknya, tapi ini adalah masalah rumah tangga, dan Ataya tidak memiliki HAK untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.
"Iya! kamu selalu memikirkan kerja-kerja dan kerja dengan embel-embel untuk masa depan kita bersama! sebenarnya yang masa depan kamu itu, aku atau karir kamu?!"
"Jen, dari pertama aku hamil, aku tetap mahamin kamu kalau kamu gak pernah bisa nganter aku periksa ke rumah sakit. Juga waktu aku dirawat di rumah sakit selama sebulan lebih, aku masih juga coba ngertiin kamu!"
"Tapi apa kamu mikirin aku? apa aku sakit? apa aku sedih? apa aku kesepian? kamu gak pernah sekalipun punya waktu banyak untuk aku!"
"Setelah melahirkanpun, ini masih dalam waktu sebulan Jen, tapi kamu masih juga harus pergi ninggalin aku sama Letya di rumah bunda!"
Suasana semakin kacau di saat Letya terbangun dan menangis. Tapi Rima masih saja larut dalam amarahnya.
"Dari awal nikah, kita sama-sama janji untuk memahami satu sama lain. Selama ini, udah dua tahun Jen, kita selalu ingin punya anak sampai melakukan ini dan itu! tapi mana tanggung jawab kamu sebagai suami dan ayah?!"
"Aku memenuhi semua janji aku ke kamu. Aku turutin semua kata-kata kamu, kalau kamu masih harus meraih impian kamu, kamu masih harus fokus sama karir kamu, kamu masih harus berhubungan baik dengan rekan perempuan kamu, kamu masih harus begini dan begitu, semuanya aku turutin! gak ada yang gak aku tolak!"
"Dari awal nikah, aku selalu memaklumi semua keinginan kamu! sampai sekarang punya anakpun, aku masih coba memaklumi kamu dan karir kamu. Tapi untuk sekarang ... aku mikir, sehari hanya berapa jam kamu ada untuk aku?!"
"Kamu kerja dari jam delapan pagi dan pulang jam sembilan malam, itupun kalau kamu tidak lembur. Sesampainya di rumah kamu hanya mandi dan langsung tidur, apalagi yang kurang! Aku gak pernah nuntut ini dan itu dari kamu Jen!"
Suaranya mulai melemah karena serak, Rima terus saja menangis tanpa suara. Dirinya tak mau tangisan anaknya malah semakin menjadi.
Karena kuat memegang handphonenya lagi, Rima langsung mengeletakkan handphone tersebut di lantai, dirinya sekarang mulai fokus pada Letya yang sudah suara tangisannya justru semakin membesar.
"Sekarang semua terserah kamu Jen, apapun keputusan kamu ... aku sudah pasrah."
Akhirnya Rima mengakhiri teleponnya.
Ataya langsung menutup pintu kamar Rima secara perlahan. Dirinya tak mau mengganggu kakaknya yang sedang dalam keadaan tidak baik.
Di kamar Ataya terus kepikiran, apa mungkin selama ini cerita kakanya hanya bentuk manipulasi dia agar tidak ketahuan kalau sebenarnya ia menyimpan rasa sakit yang sangat dalam.
Selama ini, sejak awal menikah, tak sekalipun kakaknya itu mengeluhkan soal rumah tanggannya, ia selalu bilang kalau ia sangat bahagia dan terkadang ia juga membagikan beberapa foto saat ia berlibur bersama suaminya.
"Jejen itu orangnya romantis, iya walaupun terkadang ia memang suka keluar dari ekspetasi kakak, tapi kakak senang bisa bersama orang seperti dia." Itulah kalimat kakaknya yang sangat menempel diingatan Ataya. "Kakak percaya kalau dia itu pasti bekerja keras untuk membahagiakan kakak juga."
Sering kali Ataya larut dalam cerita kakaknya yang entah nyata atau hanya karangannya saja. Tapi Ataya sangat menyukainya, berkat semua cerita kakaknya, sampai saat ini pula, Ataya masih berusaha untuk percaya sepenuhnya pada Canavaro.
"Cinta itu memang rumit, gua harap kak Rima bisa mendapatkan yang terbaik apapun keputusan kak Jeno ke depannya nanti," gumam Ataya.
- - -
Keesokkan harinya.
Di Sekolah lagi dan lagi, Ataya dibuat bingung, kali ini bingung karena banyaknya bapau yang ia bawa. Hampir ada dua puluh bapau yang ia bawa, itu semua atas perintah Rima.
Hari ini, entah setan apa yang merasuki sepupunya, mereka berangkat tanpa melihat jam, sehingga saat sampai di sekolah hanya ada beberapa orang di kelasnya.
"Taya lo mulai jualan? berapaan satunya?" tanya Bunga yang terlihat tertarik pada bapau tersebut.
Harga? nah, iya kenapa gak kepikiran juga sama gua, uangnya, kan lumayan! Pikiran licik Ataya mulai meracuni.
"Dua ribuan, mau?" tanya Ataya.
"Boleh deh, gua laper banget nih." Bunga langsung mendekati Ataya.
Perlu diketahui kalau orang kaya Bunga memang anak yang sangat rajin, tapi tidak dengan makan, dirinya lebih memilih untuk makan, makanan di sekolah dari pada harus terlambat belajar.
"Pilih aja sendiri," ucap Ataya.
Bunga menggambil dua bapau yang Ataya perlihatkan padanya.
"Em ... enak, gak terlalu manis lagi," puji Bunga sambil menikmati bapau tersebut.
"Gua beli empat deh, laper banget nih soalnya."
Ataya hanya tersenyum saja mengetahui kalau masakkan kakaknya ada gunanya juga, maksudnya Ataya tidak perlu berpikir lagi untuk membagikan semua makanan tersebut ke teman-temannya.
Bunga langsung membayar Ataya denga uang pas, setelah itu ia kembali ke tempat duduknya untuk membaca kembali semua materi pelajaran hari ini.
- - -
Jam istirahat ada beberapa anak yang membeli bapau yang disalah gunakan oleh Ataya. Sampai akhirnya bapau tersebut tersisa lima buah.
"Amel! beli loh, kapan lagi gua jualan kaya gini!" ucap Ataya memaksa.
"Yaampun ... yaudah deh gua beli," ucap Amel langsung mengeluarkan uang lima ribuan. "Gua beli dua, kembaliannya buat jajan lo, ok!"
Makasih Amel, lo baik banget sama gua! Batin Ataya, merasa harga dirinya tersakiti hanya karena uang seribu rupiah.
Selanjutnya pembeli terakhir adalah Patrick. Dirinya sengaja datang ke kelas Ataya karena tau kalau Ataya sedang berjualan.
"Kak, Pat?"
"Tinggal tiga, kalau gitu gua beli semuanya deh," ucap Patrick sambil tersenyum ke Ataya.
Ketika harus bersikap formal pada Ataya adalah hal yang paling sulit bagi Patrick. Tapi hanya inilah satu-satunya cara agar ia tetap bisa berkomunikasi dengan Ataya, meskipun hanya sebagai senior dan junior.
"Ini kak, makasih ya," ucap Ataya sambil memberikan bapau tersebut pada Patrick.
Ataya sendiri tidak nyaman dengan sifat formal seperti sekarang. Tapi Ataya juga merasa dengan seperti ini akan jauh lebih baik dibandingkan hubungan mereka sebelumnya. Ataya hanya mau menjaga jarak dengan Patrick agar Recella dan gengnya juga tidak selalu memandang jelek dirinya.
TBC ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top