Chapter 17
Sudah empat hari ini Ataya masih saja berada di rumah sakit. Walau begitu Ataya sering kali bermimpi buruk. Mimpi itu selalu membuat rasa takut Ataya semakin menjadi.
"Bunda, kapan Taya bisa pulang?" tanya Ataya.
"Kalau kamu udah sembuh bener baru kamu bisa pulang, tapi kalau sekarang kamu masih belum bisa pulang," jawab Hasnah.
Ataya merasa seperti berada di dalam penjara, bukan fisik yang tersiksa tapi pikirannya. Membayangkan semua hal yang pernah terjadi, akankah hal tersebut terjadi lagi?
"Bunda ... Taya bosen di kamar, keluar yu cari angin, bentar aja," bujuk Ataya yang sudah merasa suntuk berada di dalam kamarnya.
Hasnah menerima permintaan putrinya. Dirinya langsung membawa Ataya ke kursi roda.
"Bunda Taya bisa kok jalan sendiri," ucap Ataya.
"Yasudah kalau begitu."
Mereka berdua jalan-jalan di halaman depan. Ataya sangat menikmati udara segar di sini, dibandingkan udara ac di dalam kamar, Ataya sangat suka suasana seperti sekarang.
Baru saja Ataya menikmati udara segar dan menghilangkan segala pikiran akan ketakutannya. Tapi tiba-tiba saja kejadian yang sama terjadi kembali.
Ataya melihat beberapa suster berlari dengan cepat menuju sebuah ruangan yang berada di samping gedung utama rumah sakit.
Tak lama mereka keluar sambil membawa seorang yang melakukan bunuh diri lagi. Kali ini korban mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri. Ataya melihat wajahnya begitu pucat, lagi dan lagi mata sang korban tidaklah tertutup dan lidahnya keluar.
Sang korban mungkin masih hidup, namun ia dalam keadaan sekarat, tapi Ataya sempat bertatapan dengan sang korban. Sekali lagi kejadian yang sama terjadi. Mata seperti itu, mata yang takkan pernah Ataya lupakan, dan lagi ketakutan Ataya kembali menghantui dirinya.
"Bunda, Taya mau pulang, sekarang!" paksa Ataya.
Dirinya sudah terlalu takut dengan semua banyangan yang ada dipikirannya. Ataya sudah mulai gila dengan pikirannya sendiri. Tatapan-tatapan mata tersebut masih saja menghantui pikirannya.
"Taya ... tenang sayang," ucap Hasnah mencoba menenangkan Ataya.
Jika boleh memilih Ataya ingin sekali melawan ketakutannya, tapi mengapa hal yang sama terjadi lagi?
Karena tidak kuat memikirkannya, Ataya langsung tak sadarkan diri, hal tersebut membuat Hasnah menjadi panik.
- - -
Sadar-sadar Ataya sudah dikelilingi beberapa orang.
"Taya?" ucap Ghina yang langsung memeluk Ataya tepat setelah dirinya sadar.
"Ghina, lo kenapa?"
Bukan hanya Ghina, di sana ada Tommy dan Dinda, ada Trian dan juga Patrick. Ataya tidak menyangka kalau teman-temannya akan datang kemari.
"Makasih ya udah mau nengok gua." Hanya perkataan itu yang sekarang bisa keluar dari mulut Ataya.
"Lo tuh kenapa bisa sakit begini, si? kalau ada masalah cerita sama gua!" ucap Ghina terdengar kesal.
"Haha ... emangnya gua tau kalau gua bakal mau sakit?" ucap Ataya.
"Oh, iya Taya, Bu Kenna minta kita bawain semua catatan dari semua pelajaran yang selama empat minggu ini kita pelajari, lo inget, kan sebulan lagi itu ulangan kenaikan kelas, jadi jangan sampai lupa belajar ... meskipun lo sakit," jelas Dinda.
"Makasih, ya Din," ucap Ataya.
Karena terlalu larut dalam masalah yang ia hadapi, Ataya lupa kalau dirinya juga memiliki kewajiban lain.
Ghina masih merasa kesal karena Ataya menyembunyikan sesuatu dari dirinya, walaupun ia masih belum tau apa yang disembunyikan darinya.
"Ghina ... bisa aku ngomong sebentar?" Trian mengajak Ghina pergi keluar untuk membicarakan sesuatu tentang Ataya.
Sementara itu Tommy dan Dinda memutuskan untuk pulang. Sekarang yang tersisa hanyalah Patrick.
Ataya tak tau harus berkata apa di depan dirinya. Selama ini rasa benci selalu tertanam jelas di hatinya, padahal sebenarnya Patrick tidaklah melakukan kesalahan apapun padanya.
"Makasih ya kak, lo udah mau jenguk gua," ucap Ataya sambil tersenyum.
Patrick tak percaya kalau Ataya masih mau berbicara pada dirinya.
"Selama ini, gua selalu salah berpikir tentang diri lo, dan sekarang gua sadar, kalau gua benci lu tanpa alasan yang jelas," jelas Ataya.
Patrick senang mendengar hal tersebut, tapi sayang dirinya sudah terikat pada janjinya untuk tetap menjadi senior bagi Ataya.
"Cepet sembuh ya, sori gua gak bisa bawain apa-apa untuk lo," ucap Patrick.
Ataya merasa senang kalau hubungan diantaranya dengan Patrick mulai membaik, meskipun ia merasa ada sesuatu yang berubah dari diri Patrick.
"Kalau begitu, gua pamit dulu, ya ... gua masih harus pantau anak-anak latihan," pamitnya.
Ataya hanya menggangguk saja. Setelah itu Patrick langsung pergi meninggalkan dirinya seorang diri.
Sementara itu ...
"Taytay!" Ghina langsung mendekat kearahnya dengan tatapan kesal.
Begitu dekat Ghina langsung memeluk erat Ataya. "Kenapa, si lo ceroboh banget?!" ucap Ghina sambil terus memeluk Ataya.
Ataya sangat terkejut mendengar hal tersebut dari Ghina, mungkinkah ia sudah tau permasalahan jam tangannya yang hilang?
"Ghin, gua bisa jelasin kok," ucap Ataya.
"Untuk apa lo jelasin lagi, aduh ... Ataya lo tuh harusnya gak usah berpikir yang macam-macam. Akhirnya lo jadi sakit, kan," dumel Ghina pada Ataya. "Lo tau, kalau gak ada lo itu gua kesepian tau di kelas!" lanjutnya.
"Maaf ya Ghin, gua gak bermaksud begitu, lagian siapa yang mau juga masuk rumah sakit!" jawab Ataya.
"Makanya kalau ada apa-apa cerita dong, jangan dipendem sendiri!"'
Ataya tambah bingung, apakah Ghina sudah tau atau belum, sekarang Ataya bingung harus bereaksi bagaimana.
"Tadi Trian cerita ke gua soal hubungan lo sama pacar online lo itu, kenapa lo bisa nyembunyiin itu dari gua?! Ghina masih tampak kesal dengan sahabatnya.
"Ah ... masalah itu, sekarang udah baik-baik aja kok, gua udah baikkan sama pacar gua," jawab Ataya.
"Syukurlah kalau begitu, lo tau kata Trian lo marah kaya orang kerasukan, serem banget," ucap Ghina yang lagi-lagi termakan kata-kata Trian.
Ataya langsung menatap sinis kearah Trian, dan saat itu Trian langsung menunjukkan jam tangannya, mengisyaratkan agar dirinya bercerita soal jam tangannya yang hilang.
Ataya langsung menghela napas, siap tak siap hal ini pasti akan terjadi juga. "Ghina, ada sesuatu yang mau gua bicarain sama lo, tapi janji ya jangan marah," ucap Ataya terdengar ragu.
Ghina langsung mengangguk sebagai jawaban iya. Lagipula apa si hal yang bisa membuat Ghina marah pada Ataya?
Ataya langsung menceritakan semua soal jam tangannya yang hilang. Dan reaksi yang diterima Ataya tidaklah sesuai ekspetasinya.
"Jadi ... iya begitu, tapi Ghin, gua janji bakal gantiin jam tangannya. Walaupun mungkin gak sebagus yang lo kasih ke gua."
"Jadi begitu?"
Ataya mulai ragu, ia yakin kalau Ghina pasti kecewa padanya. Jam tersebut ia pesan khusus dengan ukiran namanya.
"Kapan, si lo gak berbuat hal ceroboh di depan gua?" ucap Ghina yang berhasil membuat Ataya terkejut.
"Maksudnya?"
"Iya lo tuh benar-benar ceroboh tau, gak ... hanya karena soal jam tangan lo sampai sakit dan berantem sama pacar lo, yaampun Ataya ... dewasalah walau hanya sebentar," ucap Ghina yang masih belum bisa dipahami oleh Ataya.
Ataya masih merasa bingung, dirinya langsung melihat kearah Trian.
"Trian udah cerita ke gua soal itu. Yaampun Ataya mana bisa gua marah sama anak kecil kaya lo?" ucap Ghina benar-benar geregetan pada Ataya.
"Tapi lo sampai pesen ke bunda lo untuk beli jam tangan itu, jam tangan itu berharga banget untuk gua," jelas Ataya.
"Tapi kesehatan lu itu lebih berharga bagi gua. Gua gak suka lo sakit kaya gini!" tegas Ghina. "Sekarang lo harus cepet sembuh, Bu Endin terus nanyain lo ke gua," lanjutnya.
Ataya tidak menyangka akan hal ini, Ghina tidak marah dan dirinya justru lebih mementingkan kesehatannya dibandingkan dirinya sendiri yang selalu saja berpikir macam-macam.
Ghina langsung memeluk Ataya. "Tenang Tay, gua gak akan marah, bagi gua kejujuran itu lebih baik dibandingkan lo harus jadi kaya gini," ucap Ghina sambil memeluk mengelus rambut Ataya dan perkataannya berhasil membuat Ataya mengeluarkan air mata.
"Makasih ya Ghin, lo udah mau jadi sahabat gua ..." lirih Ataya.
TBC ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top