FALL (2)
"Nggak diangkat, Kal?" tanya Elang yang duduk bersamanya di salah satu sudut kafe di Grand Indonesia. Mereka beberapa kali membuat janji bertemu, di tempat yang berganti-ganti, dengan topik pembicaraan selalu tentang Aras dan Widya.
"Nggak. Padahal aktif," jawab Kalya. Ditiupnya poni yang mulai memanjang sampai di atas kedua alisnya. "Aras udah benar-benar ngelupain gue ya?"
"Udah. Nanti aja lo hubungi lagi. Minum dulu kopi lo," ajak Elang yang kini juga menyodorkan potongan blueberry crumble yang dipesan Kalya namun belum disentuh sampai sekarang gara-gara Kalya terlalu sibuk terus menghubungi Aras.
"Ntar. Gue hubungi sekali lagi," tolak Kalya. Ia kembali menekan tombol panggil, dan menunggu dengan semakin tidak sabar.
Kalya masih menunggu sampai panggilannya tersambung kembali, namun lagi-lagi hasilnya nihil.
Akhirnya ia pun menyerah dan berbalik menghadapi pesanan kopi dan kuenya.
Elang tersenyum prihatin. "Mereka udah bahagia."
"Gue nggak pernah ikhlas, Lang. Bisa-bisanya Aras lebih milih Widya daripada gue. Di mana janji manisnya dulu?" Kalya mendengus keras. "Gue benci sama pembohong!"
"Tapi lo bilang Aras udah jujur ke lo soal perasaannya ke Widya."
"Iya, tapi nggak sampai ninggalin gue dan milih Widya!" Kalya menyeruput kopinya sekali teguk lalu meletakkan kembali cangkir ke tatakannya dengan gusar. "Lo liat aja gimana gue bakal berantakin hubungan mereka."
Elang tertawa. "Udahlah. Lo terima nasib lo aja."
"Nggak bisa gitu dong, Lang. Aras udah bohongin gue. Hubungan gue selama bertahun-tahun sama Aras, kayak nggak ada artinya di mata dia." Kalya menyipitkan mata, skeptis dengan segala ekspresi Elang yang sejak tadi jika tidak tersenyum juga tertawa.
Elang tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaannya saat ini. Posisinya sebagai perempuan yang pernah dicintai Aras, kini harus merelakan posisinya digantikan oleh perempuan lain yang dulunya ia anggap tidak akan pernah menarik perhatian Aras.
Tapi seiring waktu berlalu, Aras malah berpaling darinya. Jika saja ia bisa memprediksi hal tersebut, tentu saja ia tidak akan pernah membiarkan Aras menikahi Widya.
"Jadi, gimana? Lo siap kan bantuin gue?" tanya Kalya.
"Gue belum mikir ke situ."
Kalya menatap Elang. "Lang, lo serius mau bantuin gue nggak sih?"
"Gue nggak tau, Kal."
Kalya menggeleng-geleng. Sebenarnya Elang ini maunya apa? Jika ia memang mau membantu, mengapa harus terlihat ragu seperti ini?
Jangan-jangan ia berubah pikiran.
"Lo masih mau dapetin Widya? Ya lo inisiatif dong." Kalya lalu mengingatkan Elang. "Lagian, lo kenapa sih jadi pasrah begitu? Kalo mau, lo perjuangin cinta lo sampai dapat."
"Tapi gue udah ikut bahagia kalo Widya bahagia."
"Ah, basi!"
Elang membalas tanpa pikir panjang. "Lo sama gue aja, biar lo nggak payah ngejar Aras lo itu. Kita kan senasib? Biar gue juga nggak perlu capek terus ngejar Widya."
"Lo nawarin diri lo sebagai alternatif?" Kalya memasang tatapan menantang.
"Lo nggak bisa liat gue sebagai laki-laki?"
Kalya menyeruput kopinya perlahan. Sekalipun pernah memiliki hubungan dengan Elang, tapi waktu itu kan ia hanya menganggap Elang sebagai cowok yang cukup enak diajak ngobrol namun bukan cowok yang menjadi targetnya. Sejak dulu, ia selalu lebih menyukai kepribadian Aras yang lebih menantang untuk ditaklukkan. Elang itu terlalu baik, pantas saja sering ditinggalkan cewek.
"Bisa. Tapi lo bukan tipe gue."
Elang mengangkat alis. "Yakin?"
***
Perlakuan Aras jadi semakin manis. Mengantar ke tempat kerja, makan siang bersama, hingga pulang kerja bersama-sama. Belum lagi, sikapnya yang selalu memastikan Widya dalam keadaan baik-baik saja sampai Widya harus mengingatkan Aras untuk bersikap sewajarnya. Widya bukan tipe perempuan yang selalu menjadi pusat perhatian, makanya ia jadi cukup kaget dengan perubahan sikap Aras.
Belum lagi, Aras sesekali memeluk dan memegangi perutnya. Seperti sekarang.
"Ras, kamu mau cuma makan malam nasi sama kecap doang. Gangguin mulu dari tadi," keluh Widya saat Aras masih betah memeluknya dari belakang sambil mengecup bahunya.
"Delivery aja, susah amat," jawab Aras cuek.
"Aku kan pengen masak? Kalo mau delivery, aku juga nggak mau bela-belain masuk dapur."
Aras yang belum melepaskan pelukannya, menempelkan bibirnya di pipi kiri Widya. "Masak sambil dipeluk gini, nggak bisa?"
Widya mengerutkan kening. "Coba aja kalo bisa."
Aras tertawa. "Dy, nggak usah repot masak."
"Tapi aku mau masak." Widya hanya tidak mau setiap saat Aras saja yang selalu dituruti keinginannya. Sekali ini, ia memang benar-benar ingin memasak. "Aras, ih! Sebel tau nggak? Nempel mulu kayak ulat bulu."
Aras makin tertawa lebar mendengar gerutuan Widya. "I like your smell. Jadi jangan salahin aku kalo nempel terus sama kamu."
"Tapi aku kan bau, Ras. Bau keringat. Nanti aja abis mandi baru boleh nempel-nempel gini lagi."
Aras mengecup bahu Widya sekali lagi. "Ya udah kalo gitu. Abis mandi aja baru aku peluk-peluk lagi."
Setelah Aras melonggarkan pelukan, kemudian melepaskannya, Aras berpamitan untuk mandi. Widya tersenyum sekaligus masih merasa salah tingkah. Aras segera mengalah mungkin karena kuatir juga jika bau keringatnya sendiri semakin menjadi dan merusak momen-momen yang seharusnya romantis.
Wow, romantis. Sejak kapan satu kata itu ia ucapkan?
Widya jadi bergidik sendiri.
Ya ampun. Apa ia mulai mendambakan romantisme bersama Aras? Apakah ia memang akan merasa jauh lebih bahagia jika bisa terus melalui momen romantis bersama Aras?
Aduh, mendadak hatinya jadi lemah.
Mau masak malah teringat wajah Aras.
Aduh, please. Jangan lebai, Dy. Batinnya.
Nyaris seperti lirik lagu dangdut lagi.
Widya menggeleng-geleng kuat. Ia harus segera menyelesaikan semua masakan untuk makan malam lalu bersiap-siap mandi. Sepertinya ia butuh relaksasi dari otaknya yang mulai melantur ke mana-mana.
***
Selesai makan malam dan bersih-bersih, Widya langsung menuju ke tempat tidur untuk segera beristirahat. Aras keluar sebentar dari kamar untuk membereskan ruang kerjanya. Jadi, Widya menunggui Aras sambil memainkan ponsel. Tujuan pertamanya Instagram, seperti biasa mengecek notifikasi yang berhubungan dengan bisnisnya. Setiapkali membuka Instagram selalu saja ada testimoni yang masuk. Belum lagi jika ia membuka WA dan Line. Selalu saja ramai oleh orderan dan testimoni. Ia dan operator solution sama-sama menghandle akun tersebut, meski ia sendiri hanya sekadar melihat-lihat saja. Urusan melayani pesanan dan sebagainya bukan menjadi bagiannya.
Saat menutup Instagram, Widya teringat jika ia belum sempat mengecek WA yang masuk sejak kemarin. Sebelum ia menutup ponsel ia mengarahkan jemarinya ke aplikasi tersebut.
Sepertinya ada chat dari Elang yang terlewatkan.
Ia bukannya hendak bernostalgia dengan Elang. Hanya saja, ia ingin memastikan jika Elang tidak mengirimkan pesan aneh kepadanya.
Dan, yang jadi pertanyaan, apakah Elang telah move on darinya?
Hai, Dy. Kamu baik2 saja?
Kenapa Elang mengiriminya pesan semacam itu? Tentu saja ia dalam keadaan sangat baik.
Widya enggan membalas dan memilih menutup aplikasi tersebut sebelum sempat melihat notifikasi lain. Elang tidak boleh berada di dalam kehidupannya lagi.
"Udah nunggu lama?" tanya Aras saat menutup pintu.
"Nggak kok. Baru sepuluh menitan," jawab Widya sambil menggeser duduknya. Tadinya ia menduduki tempat Aras.
Aras duduk bersandar di sampingnya, tidak lupa mematikan ponsel yang tadinya masih dalam keadaan aktif.
"Mau langsung tidur?" tanya Aras.
"Kamu udah ngantuk?" Widya balik bertanya.
"Belum. Kamu?"
"Belum." Widya memperlihatkan layar ponselnya. "Mmh, aku abis ketemu disain kamar untuk anak."
Widya lantas menunjukkan artikel seputar dekorasi kamar khusus anak kepada Aras.
"Kamu mau warna cat pink pale? Itu kan warna cat yang cewek banget,Dy."
"Karena aku pengen punya anak cewek."
"Biru aja. Adem."
"Biru itu warna cowok."
Aras membalas. "Iya, karena aku mau punya anak cowok. Jagoan kecil yang bisa aku ajak main basket bareng."
"Cewek aja ah," Widya merasa cukup yakin anaknya berjenis kelamin perempuan.
"Cowok. Yakin deh, cowok."
Widya menghela napas. "Iya, cowok boleh, asal sifatnya jangan kayak kamu."
"Aku kenapa?"
"Kamu kan nyebelin?"
"Nyebelin? Aku udah baik gini masih dibilang nyebelin."
Aras tidak terima dikatakan seperti itu.
"Iya nyebelin karena kamu seringnya nggak mau ngalah. Selalu pengen diturutin. Nyebelin kan?"
"Tapi sayang sama kamu. Jadi, nggak bisa dibilang nyebelin juga kan?"
Widya menatap Aras dengan malas. "Iya, tapi kan tetep aja nyebelin."
Aras mencolek hidung Widya. "Coba bilang nyebelin sekali lagi."
Widya mencibir. "Nyebelin."
Aras menutup bibir Widya dengan bibirnya.
"Aras!" Widya menjerit tertahan setelah Aras melepaskannya.
"Ya?" sahut Aras tanpa rasa bersalah.
"Kamu memang suka gitu ya?" Widya masih menyisakan ekspresi kesal.
"Iya, karena kamu bawel."
"Coba bilang sekali lagi."
"Bawel."
Widya berbalik menutup bibir Aras dengan bantal.
"Harusnya dibalas kayak tadi dong." Aras menurunkan bantal sambil tertawa-tawa. "Eh, Dy. Ngomong-ngomong soal basket, gimana kalo Minggu pagi kita datenya di lapangan basket?"
Widya mengerutkan kening. Aras ngajak date di lapangan basket? Ih, date macam apa tuh?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top