45th

Finally bisa ngepost jugaaaaa....

Sebenarnya ini lagi kena sindrom males nulis tapi teringat timbunan naskah gantung semakin banyaaak!!! Hiks, dan sepertinya BIL (mungkin) baru bisa kelar di bulan puasa. Secara, ada beberapa bagian yang memerlukan penjelasan lebih panjang, tentang gimana awal mula Aras sama Widya bisa nikah, sama gimana proses mereka berbaikan. Cuma, aku agak sulit kalo mesti nulis panjang2 sekali ngepost makanya jumlah chapternya tumpeh2 :DDDDDDD menyaingin MWB.

Keep support me, Bebeb2 :)))))

____________________________________________________________ 

Apa? Aras ada di sini?

Siapa yang memberitahu ia tinggal di sini?

Kepala Widya masih terlalu pusing untuk diajak berpikir.

"Bude?"

Widya membalik badan menghadap ke pintu kamar yang ditutupi tirai bermotif bunga-bunga. Ternyata Bude masuk ke dalam kamar.

"Iya. Aras ada di luar. Katanya mau ketemu sama kamu."

Widya memegangi kepalanya," Jangan dibiarin masuk ke sini, Bude."

"Lho kenapa? Dia kan suami kamu?"

"Jangan, Bude. Aku kan masih marah sama dia?"

Ditambah lagi perkelahian antara Aras dan Elang kemarin. Sudah cukup ia menghadapi Aras dan persoalan di antara mereka yang belum selesai.

"Kan bisa dibicarakan baik-baik, Widya? Waktu tahu kamu lagi sakit, Aras nawarin mau anter ke rumah sakit."

Sok baik.

"Bude tolong kasih tau dia pulang aja."

"Jangan begitu, Nak. Kamu kalau ada masalah jangan malah marahan. Dibicarakan sampai tuntas. Suami isteri ada kalanya bertengkar tapi harus ada usaha supaya bisa baikan lagi."

Widya berkeras. "Aku tetap nggak mau ketemu sama dia."

Bude Ratih mengelus kepala Widya. "Ya udah. Bude keluar dulu."

***

Seperti dugaannya, Widya enggan bertemu.

Aras menarik napas panjang.

Sudah saatnya ia mengambil langkah lebih maju.

"Bude, saya mohon. Ijinin saya masuk ke kamar. Saya nggak akan bisa ngomong kalau saya pergi lagi. Mau nelepon, nomer saya udah diblokir sama Widya. Tolong, Bude. Saya mau ketemu Widya."

"Tapi Widya nggak mau ketemu kamu. Dia sudah pesan sama Bude."

"Nggak pa-pa, Bude. Dia nggak akan bisa marah karena lagi sakit. Saya cuma minta waktu dijinin ngerawat Widya."

Bude Ratih kemudian mengangguk pelan. Jika ada hal yang bisa ia lakukan, hal itu adalah tidak menghalangi ketika Aras ingin bertemu Widya.

"Ya sudah. Kamu boleh masuk ke kamar. Tapi jangan maksa kalau Widya nggak mau."

"Iya, Bude."

Aras beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu kamar yang tadi dimasuki Bude Ratih. Ia berjalan sepelan mungkin. Penuh kewaspadaan sekaligus was-was jika Widya bermaksud menyerang.

Tapi ia kan sedang sakit?

"Berani banget kamu,"

Dari atas tempat tidur, Widya melihat ke arahnya.

"Aku yang maksa Bude buat ijinin ketemu kamu."

"Keluar."

"Dengar dulu,"

Widya membalik badan memunggunginya. "Keluar,"

"Dy,"

"Aku bilang keluar!" teriakan Widya yang cukup nyaring teredam begitu saja oleh nyeri di kepalanya. Hanya sekali berteriak ia sudah terdengar mengaduh dan mengeluh pusing.

"Dy, yang mana yang sakit. Kita ke dokter ya?" Tatap mata Aras ditujukan ke wajah dan kepala Widya

"Nggak usah!"

Aras hanya menggeleng pelan. Disentuhnya rambut Widya dengan hati-hati.

"Dy, mana yang sakit?"

Widya berbalik dan menjauhkan tangan Aras yang sempat mengelus kepalanya.

"Aku bilang pergi, ya pergi, Ras. Kamu nggak ngerti juga ya?"

"Aku sayang sama kamu, makanya aku nggak akan pergi." Aras tanpa takut kemudian duduk di tepi tempat tidur. "Kamu kurang darah kan? Nanti aku beliin makanan yang bisa bikin tekanan darah rendah sama anemia kamu cepat sembuh."

Widya menghindari tatapan Aras, sementara Aras mengusap dahinya, menyingkirkan helaian rambut yang tampak berantakan.

"Kamu mau makan apa?" tanya Aras saat memijit-mijit kepalanya sepelan mungkin. Ia bahkan memakai balsem sehingga rasa dingin perlahan meresap ke sekitar pelipis dan tengkuknya.

"Aku masih marah sama kamu jadi nggak usah nawarin apa-apa." Widya menyahut. Tapi ia tidak bisa mencegah Aras memijiti area tengkuk dan bahunya.

"Kamu lagi sakit, Dy. Marahnya nanti aja dilanjutin kalo kamu udah sembuh."

Widya menghela napas. Kini Aras masih terus memijiti badannya sampai ke lengan dan turun ke kaki. Andai saja ia tidak sedang sakit, sudah dicegahnya Aras mengambil kesempatan untuk berbaik-baik dengannya.

"Kamu jangan ke mana-mana dulu. Aku mau beli makanan sama obat-obatan." Aras mengusap dahinya kemudian beranjak dari tempat tidur.

Sekujur tubuh Widya terasa lebih nyaman setelah dipijit Aras. Ia tidak tahu jika Aras lumayan bisa diandalkan untuk urusan memijit.

Sekitar setengah jam kemudian, Aras kembali. Kali ini membawa bungkusan. Bude Ratih masuk membawa nampan yang diletakkan di meja kecil di dekat tempat tidur.

"Ini ada sate kambing sama tengkleng. Ada sup buntut juga. Pake nasi. Ayo, Widya. Dimakan dulu."

"Kalo ini obat penambah darah sama multivitamin." Aras menunjukkan bungkusan yang ia taruh di dekat nampan berisi makanan tadi.

Setelah Bude Ratih tidak berada di dalam kamar, Aras mengambil piring berisi nasi.

"Ayo, Dy. Makan dulu," kata Aras pelan.

Widya menatap piring di hadapannya. Aras bertanya apakah ia ingin nasinya disiram kuah tengkleng atau dibiarkan kering. Aras meletakkan dua tusuk sate di atas piring.

"Kalau nggak mau nasi, ada lontongnya juga." Aras mendekatkan piring itu. Ia sendiri terlihat tidak yakin jika Widya mau menerima suapannya.

Widya menelan ludah. Perutnya terasa panas karena lapar, meski ia tidak yakin bisa makan dengan kondisi kepala yang masih pusing.

"Siram dulu nasinya pake kuah. Bisa seret makannya nggak pake kuah," ucap Widya setelah meyakinkan diri jika ia akan memakan makanan itu.

Aras menurunkan sedikit piringnya sehingga ia bisa menyendok kuah dalam mangkuk ke atas nasi yang masih hangat.

"Sendoknya," kata Widya lagi. Biar saja Aras ia suruh-suruh sampai ia puas.

Aras menyodorkan kembali piring nasi ke hadapan Widya.

"Daging satenya lepasin dulu dari tusuknya."

Aras menatapnya, lalu beralih ke piring. Setusuk sate diambil dan coba dilepaskan dagingnya dengan bantuan sendok. Karena ingin cepat, Aras juga menggunakan tangannya melepaskan daging dari tusuknya. Bumbu kacang berlumuran di jari-jarinya.

"Nggak ada tissue," kata Aras setelah menjilati ujung jari-jarinya.

Widya langsung bergidik. Tapi ia berusaha mengabaikan dan mulai menyendok nasi.

"Orang sakit harus disuapin." Aras merebut sendok dari tangannya dan menyendokkan nasi bercampur potongan daging sate.

Widya mulai mengunyah nasi suapan Aras tadi pelan-pelan.

Terpaksa.

Selain karena ia merasa mual, makanan itu adalah makanan yang dibelikan oleh Aras.

"Udah."

"Baru dua suap,"

Widya menjauhkan piring dan sendok di hadapannya. "Mual."

"Kalau nggak dipaksa, kamu bisa tambah sakit. Ayo dimakan lagi."

"Aku sambil makan lihat kamu, makanya mual," ucap Widya ketus.

Aras bukannya marah, ia malah tertawa pelan mendengar ucapan ketus Widya.

"Kamu jangan kebanyakan ngomel, nanti tambah sakit."

Piring yang dipegang Aras baru saja diturunkan ke atas meja. Diambilnya kantung plastik berisi obat-obatan.

"Penambah darah udah diminum?" tanya Aras sambil melihat isi kantung plastik.

"Udah."

"Ini ada vitamin, tapi nanti saja diminum."

Aras mengembalikan kantung plastik putih tersebut ke tempat semula.

"Istirahat dulu, sambil aku pijitin."

"Nggak usah. Pulang aja sana."

"Nanti kalo kamu udah sembuh."

"Aku udah sembuh." Widya beralasan supaya Aras bisa langsung pergi saat itu juga. Meski Aras telah berjasa membelikan makanan dan obat-obatan, hal itu tidak akan mengaburkan ingatan Widya jika Aras adalah musuhnya saat ini.

Aras membuang napas. Ia mengabaikan tatapan tajam Widya saat ia mencoba menyelimuti Widya.

"Panas tauk!" sergah Widya sambil menurunkan selimut.

Sudah tahu kamar cuma ada kipas angin kecil, masih saja dipakaikan selimut. Dasar aneh.

"Pulang aja, makanya. Biar tenang tidurnya pakai AC."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top