41st
Yes,aku tahu ini pendek banget, tapi feelnya udah cukup keknya :DDDD
--------------------------------------------------------------------------
Naluri Aras mengatakan, Widya masih enggan pulang ke rumah untuk waktu lama. Widya terlalu marah untuk mempertimbangkan pulang apalagi sampai berbaikan dengannya. Kalau ia tidak pernah berharap sesuatu yang terlalu muluk, rasanya mimpi itu bisa dikatakan sangat muluk.
Widya tidak mau diantar pergi ke tujuannya yang entah ke mana. Aras telah berusaha membujuk Widya untuk mengurungkan niat dan kalaupun ia harus pergi, setidaknya tempat tujuannya bukan tempat asing dan merupakan tempat yang ia ketahui dan bisa ia datangi sewaktu-waktu. Ia mungkin bukan orang yang cukup diandalkan untuk melakukan negosiasi selain negosiasi bisnis, tapi demi keutuhan rumahtangganya, ia akan mencoba cara itu.
Tapi bagaimana bisa bernegosiasi, jika keberadaan Widya saja tidak ia ketahui?
Ia tidak mencoba membuntuti Widya karena Widya sudah meminta sekali itu saja Aras memenuhi permintaannya, termasuk tidak berusaha mengikuti apalagi mencarinya. Widya akan memberikan informasi jika masa perenungan sudah selesai.
Mungkin pemberitahuan mengenai gugatan cerai yang akan datang.
Karena kemungkinan untuk memaafkannya juga sangat tipis.
Aras menyalahkan Elang sepenuhnya atas kabar tersebut. Jika saja Elang tidak memberitahu Widya soal kesepakatan itu, hubungannya dengan Widya akan baik-baik saja.
Belum. Ia belum melakukan pembalasan kepada Elang. Pembalasan yang berpotensi semakin menegaskan posisi Elang sebagai musuh terbesar dalam hidupnya.
Musuh.
Jika ia pernah menahan diri untuk menyerang Elang, maka saat ini dia akan benar-benar menghabisi laki-laki yang sudah berani melangkah terlalu jauh mencampuri urusan rumahtangganya bersama Widya.
Widya tidak mungkin akan menemui Elang setelah mengetahui kenyataan yang ada. Widya juga pasti membenci Elang, meski kadar kebencian terbesar tetaplah tertuju padanya sampai kemarahan Widya berada di level paling tinggi.
Jadi, tempat tujuan Widya tidak mungkin ke rumah Elang.
Lalu bagaimana dengan keluarganya?
Satu-satunya keluarga Widya yang ia ketahui berdomisili di Jakarta hanya Bude Ratih. Kesalahannya yang lain, karena ia tidak dekat dengan keluarga Widya. Ia tidak pernah peduli apalagi sampai bertanya-tanya siapa-siapa saja keluarga Widya yang kemungkinan masih memiliki hubungan dekat dengan Widya hingga jika dihadapkan pada masalah ini, ia tahu harus mencari ke mana.
Lalu, bagaimana dengan basecamp online shop milik Widya yang dikelola bersama rekan kerjanya, Dhea?
Tempat itu bisa jadi titik terang mendapatkan informasi tentang Widya.
***
"Saya nggak tau Widya di mana. Mas nggak nyoba telepon?"
"Nomernya nggak aktif. Nggak bisa dihubungi." Itu alasan Aras kepada Dhea.
"Oh, kalo itu juga saya nggak tau. Ini abis dihubungin juga nggak aktif." Dhea menunjukkan ponselnya seolah ponsel itu memang bisa berbicara kepada Aras bahwa Widya memang sedang tidak ingin dihubungi. Bukan tidak bisa dihubungi.
"Kamu tau nggak, rumah kerabat Widya di sekitar Jakarta?"
Dhea masih terus mendengarkan ponselnya, nampak penasaran sekaligus yakin seseorang akan menjawab teleponnya.
"Eh, aktif. Halo, Dy. Lo di mana? Ini...,"
Aras menunjukkan isyarat untuk tidak menyebutkan namanya. Dhea masih nampak bingung tapi ia segera menyambung.
"Oh, ini. Mau ngirim laporan penjualan. Lo di mana sih?"
"....,"
"Oh, oke. Oke. Tapi lo dateng jam berapa?"
"....,"
"Mm, ya. Oke. Iya, ada tawaran COD lagi. Lo parno banget sih. Oke. Jam 4 ya? Oke. Abis itu, kita makan."
Klik.
Dhea menghela napas lega karena usahanya menelepon Widya tidak sia-sia. Meski ia tidak tahu jika Aras amat sangat butuh informasi soal Widya. Napas leganya itu lebih kepada keberhasilannya menghubungi Widya setelah berpuluh-puluh kali panggilan yang disambut kata-kata operator yang super menyebalkan.
"Widya mau ke sini sekitar jam 4. Packingan udah makin numpuk dan karyawan yang kemarin janji mau datang mendadak lagi sakit. Jadi dia datang mau bantuin packing."
Aras malah memandang menerawang ke sekitar area basecamp. Di tempat ini, Widya membangun usahanya selama bertahun-tahun. Dan ia hanya pernah datang sekali, sebagai formalitas setelah menjadi suami Widya.
Jam dinding menunjukkan 14.50.
Masih sejam lagi sebelum rencana Widya datang ke sana. Ia masih punya waktu sebelum kembali bersembunyi.
"Basecamp biasanya tutup jam berapa?" tanya Aras sambil memandangi tumpukan kardus yang masih tersegel. Ia pernah menanyakan hal tersebut kepada Widya dan seingatnya Widya pernah menjawab. Tapi ia lupa.
"Nggak menentu. Tapi paling larut sih bisa sampai jam 2 subuh. Kan di sini ada karyawan yang nginap, jadi kalo lagi overload ya bisa lembur."
"Kalo Widya, biasanya sering datang ke sini?"
Dhea mengerutkan kening, merasa pertanyaan itu terlalu aneh ditanyakan oleh Aras yang adalah suami Widya sendiri. Apakah suami tidak pernah tahu kesibukan isterinya?
"Sebelum nikah sih setiap hari. Waktu masih awal-awal buka, kadang nginap di sini sama saya waktu kami belum bisa rekrut karyawan. Kan waktu itu dia rangkap kerjaan. Macem-macem. Kadang jadi operator, kadang malah jadi kurir. Bagi kerjalah sama saya."
"Capek ya pasti."
"Semua kerjaan juga capek pastinya, Mas. Apalagi kalo mesti jadi kurir. Untung banget sekarang udah dipickup sama pihak ekspedisi sama kurir sendiri. Waktu dulu sih, masih dikit langganannya. Hujan badai dilewati deh, asal bisa sampai tuh paket ke customer."
Pandangan Aras bergeser ke deretan paket yang sudah dikemas.
"Mas beruntung punya isteri kayak Widya. Orangnya sabar dan pekerja keras. Soal setia sih, saya nggak pernah ragu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top