38th

Kalau soal itu, Widya juga kasihan, pasti. Elang sudah begitu baik padanya, selalu ada kapanpun ia butuh. Dan Elang juga tidak pernah marah-marah.

Normalnya, kaum perempuan akan menjatuhkan pilihan pada laki-laki dengan kriteria penyayang.

Tapi siapa yang pernah bisa menebak keinginan hati seseorang.

Aras boleh jadi memiliki karakter berlawanan dengan Elang yang baik hati dan penyayang, yang menjadikannya sebagai lelaki yang mudah untuk dibenci. Tapi, Widya menjalani tuntunan hatinya secara alamiah. Dan saat ia bersama Aras, rasanya ia tidak menginginkan hal yang lain lagi.

Mungkin ini yang dikatakan orang-orang sebagai faktor X. Aras memiliki faktor X yang sebetulnya juga masih ia jajaki, jika memang faktor itu yang menunjukkan jalan bagi Widya untuk ketertarikan padanya.

Dan ini bukan soal Aras yang cukup lihai urusan ranjang, ya. Bukan.

Bukan juga soal Aras yang cukup jago urusan keterampilan mulut.

Bukan. Kedua faktor itu hanya pelengkap.

Mungkin karena Aras itu selalu bikin penasaran? Separuh perempuan suka  dibuat penasaran, dan rasanya Widya masuk dalam kategori perempuan yang suka dengan laki-laki setipe Aras ini.

Aras mengulang. "Kamu kasihan sama dia? Atau merasa bersalah?"

Widya membalik badan. Pertanyaan Aras barusan memang cukup ia jawab dengan memberikan punggung. Si masokis, Aras Yatalana.

"Dy. Jawab dulu."

"Kamu jelasin dulu gimana perasaan kamu waktu kamu mutusin Kalya, baru aku jawab."

"Kenapa jadi balik ke aku?" Aras terdengar protes.

"Iya karena kamu tuh memang suka ngungkit sesuatu yang harusnya nggak kita omongin sekarang." Widya meremas bantal guling saking gemasnya.

Tempat tidur bergoyang saat Aras memajukan badannya. Kaki kanannya menimpa kaki Widya yang juga sama-sama berada di dalam selimut.

Rupanya ia hendak memeluk dari belakang.

"Maaf kalo begitu."

Widya berdehem. "Gampang banget minta maaf."

"Daripada nggak minta maaf?"

Aras selalu punya stok jawaban yang bikin kesal. Kalau Aras peka, ia tidak perlu menjawab. Lebih baik diam saja.

"Dy?"

Aras membelit kedua kaki Widya, seolah-olah menjadikannya bantal guling.

"Kenapa?"

"Kamu aku jadikan guling kalo tidur."

"Kayak gini?"

"Hmm."

"Trus aku diem aja terus kayak gini sampai pagi?"

Bukannya apa. Pegal kan kalau semalaman kakinya dibelit seperti ini?

Kecuali ada kompensasinya.

"Gantian."

Widya menoleh setelah Aras melonggarkan belitan kakinya.

"Kamu lagi yang jadi guling."

Kerutan di kening Aras tercetak, tapi ia membiarkan Widya balas menjadikannya guling. Tapi guling versi Widya lebih tight. Kaki kiri Widya sampai naik ke pinggangnya.

Guling versi Widya kemudian diubah posisi oleh Aras menjadi posisi membungkuk di atasnya. Susah payah Widya menutupi dada polosnya yang menggantung indah.

"Aras ih." Widya berhasil menarik bantal kepala untuk menutupi tubuh bagian atasnya. "Nyebelin tauk,"

"Nyebelin atau suka?"

Widya menduduki perut Aras.  "Tunggu pembalasanku."

Sebelum Aras bergerak, Widya menahan kedua tangan Aras. Tapi tentu saja kendali itu hanya secara simbolis karena kini Aras bangun dan duduk dalam posisi bersila.

"Jangan suka cari masalah, kalo nggak mau dapat pelajaran."

Aras melebarkan kedua paha Widya yang kini duduk di pangkuannya.

"Pelajaran apa sih?" Widya menyambut sukacita pelajaran apa yang diberikan Aras kali ini.

Ia mendengar suara Aras dan suaranya bersahutan saat penyatuan disertai pelepasan terjadi. Susul-menyusul. Berulangkali. Dalam ritme cepat. Memaju adrenalin, memompa darahnya hingga semakin berdesir-desir.

"I thougt i'll die," ucap Widya terengah-engah.

***

"Kamu jangan ketemu Elang dulu untuk sementara waktu."

Widya sedang membuatkan kopi ketika Aras mengatakan hal itu.

"Kenapa?"

Aras mengambil alih cangkir kopi di tangan Widya.

"Biar aku yang ketemu sama dia."

Kedua mata Widya melebar. "Jangan, Ras. Biar aku saja."

Widya tahu bukan hal mudah menemui Elang lagi setelah ia menyerahkan diri kepada Aras. Tapi keadaannya akan lebih parah jika Aras yang menemui Elang. Bukannya ia terlalu percaya diri dua laki-laki itu sedang memperebutkan dirinya.

Tapi Aras itu...sangat ekspresif jika sedang marah. Dan ia cukup yakin Aras akan mempertahankan egonya sebagai seorang suami di hadapan Elang.

Ia sangat menghargai perasaan Elang.

***

Widya menatap Elang yang sedang berdiri mematung memandangi rumah yang mereka lihat minggu lalu. Selain nampak serius, sesungguhnya Elang sedang begitu marah padanya.

"Aku mau ketemu langsung sama Aras."

"Jangan, Lang. Aku mohon. Bukan salah Aras. Aku yang salah."

"Kamu pulang saja, Dy. Aku nggak bisa mutusin apa-apa sekarang."

"Tapi...,"

Elang marah. Sesuatu yang memang telah ia prediksi sebelumnya.

"Berharap saja hubungan kita nggak bocor ke mana-mana."

"Maksud kamu apa, Lang?"

"Gimana kalo aku nemuin keluarga Aras dan ngasih tau soal hubungan kita?"

"Jangan, Lang."

"Jadi jangan pernah berpikir aku akan ngelepasin kamu."

Widya menggeleng kuat-kuat. Ia tidak bisa membayangkan jika Elang datang menemui keluarga Aras dan membongkar hubungan mereka selama ini? Kalya mungkin juga akan melakukan hal yang sama, namun Aras bilang jika ia masih bisa mengatasinya.

Lalu bagaimana dengan Elang? Ia tidak akan bisa menghentikan apapun yang akan dilakukan Elang. Ia hanya berharap Elang mau mengerti akan posisinya selama ini.

"Rumah ini akan selesai sekitar sebulan lagi. Gimana menurut kamu?"

"Lang,"

Elang mengangkat satu tangan. "Jangan singgung soal permintaan kamu tadi. Karena kamu sudah tahu jawaban aku."

Widya terdiam. Ditatapnya wajah Elang. Kedua manik matanya terarah lurus kepadanya, seakan hendak mengulitinya hidup-hidup.

"Aku akan memastikan Aras cerain kamu, Dy."

Widya menarik napas. "Aku cinta sama dia, Lang."

"Termasuk tidur sama dia?"

Widya menjawab dengan anggukan pelan.

Elang membuang muka. "Kalo gitu, Aras udah melanggar kesepakatan."

"Maksud kamu?"

"Jadi, kamu nggak tahu apa-apa, Dy? Soal Aras?"

Widya menggeleng.

"Dia udah nyerahin kamu ke aku setelah kalian menikah. Dan sebagai gantinya, dia nanti akan menikahi Kalya. Tapi ternyata rencana itu berubah di tengah jalan ketika neneknya sakit."

Elang melanjutkan.

"Aras nggak pernah mencintai kamu, Dy. Kalau dia bilang cinta sama kamu, dia bohong."

---------------------××××××-------------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top