29th (fix)

Widya mendongakkan wajah setelah menemukan keberanian untuk mendorong tubuh Aras sedikit menjauh. Potongan roti yang masih berada separuh di dalam mulut, dikeluarkan dan ditampung di tangannya. Ia tidak mau sampai mati keracunan memakan roti itu.

"Dasar gila!"

Tanpa menghiraukan Aras, Widya berlari menuju kulkas dan meminum air dingin langsung dari botol.

Selain kasar, Aras juga bejat! Widya sampai bergidik jika mengingat bagaimana gerakan mulut Aras saat menjejalkan potongan roti ke dalam mulutnya. Aras bisa saja menggunakan tangannya, tapi kenapa harus pakai mulut?

Oh! Mungkin ia sedang modus!

Oke. Apa yang terjadi barusan bukan sebuah ciuman. Sekalipun pertemuan bibir Aras dan bibirnya juga telah terjadi, tapi sekali lagi, itu bukan ciuman!

Widya beralih ke bak cuci piring dan menggosok bibirnya kuat-kuat dengan jari. Ia tidak akan membiarkan bibirnya ternoda jejak pemaksaan Aras.

"Aku benci sama kamu, Ras!"

Widya tidak dapat membendung kebencian. Perasaan itu berkobar di dalam. Aras benar-benar sudah memancing kemarahannya.

"Gue nggak peduli."

"Aku mau pergi."

"Gue udah bilang lo nggak boleh pergi."

"Bodo!"

"Hei!!"

"Aku mau ketemu Elang!"

"Langkahin dulu mayat gue."

"Kamu mau aku bunuh sekarang, Hah!!!"

"Gue udah bilang, lo nggak boleh pergi. Lo isteri gue, dan dosa lo membantah gue!"

"Arghh!!" Widya berteriak frustrasi.

Satu-satunya hal yang terpikir adalah melepas tas selempang kemudian melemparkan kepada Aras.

Sial banget, karena Aras menangkap tas yang dilemparkannya hanya dengan satu tangan. Seharusnya Widya ingat jika Aras pernah jadi kapten tim basket. Gerakan bola cepat dan bahkan yang sulit diprediksi bisa ia tangkap dengan mudah.

Aras tanpa rasa bersalah mengambil ponselnya.

"Ini gue tahan dulu. Kalo lo mau ponsel lo kembali, lo ambil sendiri." Aras mengantungi ponsel milik Widya dan melambaikan tangan. "Gue mau mandi dulu. Gerah."

Sialaaaaan

***

Ponsel adalah salah satu dari sekian banyak benda terpenting yang dimiliki seseorang. Begitupun Widya. Karena terbakar emosi, ia sampai kehilangan akal sehat. Ia tidak mempertimbangkan jika Aras bisa saja mengambil ponsel dan menggunakannya sebagai senjata untuk menundukkannya.

Ia bisa saja menghubungi Elang melalui ponsel yang satu lagi. Tapi, ponsel yang kini berada di tangan Aras berisi begitu banyak kontak dan informasi. Lagipula SIM card yang biasa ia gunakan ada di ponsel iphone itu.

Ya Tuhan, kenapa ia tidak mencekik Aras saja tadi sampai mati?

Lalu bagaimana caranya ia bisa mendapatkan ponselnya kembali?

Aras pasti menyembunyikan di tempat aman. Tempat yang tidak akan bisa ia temukan meskipun mencarinya. Tapi selama benda itu masih berada di dalam rumah, pasti bisa ditemukan.

Iya kan?

***

Aras tersenyum puas menatap ponsel Widya yang berhasil ia dapat berkat kecerobohan pemiliknya. Awalnya ia tidak terpikir untuk mengambil, tapi saat ia mengingat Widya sempat memasukkan ponsel ke dalam tas, otaknya mulai bekerja cepat.

Ia bisa menggunakan ponsel itu untuk melumpuhkan perlawanan Widya. Ponsel seperti hidup mati seseorang. Banyak informasi berharga di dalamnya, dan jika Widya cukup cerdik melock ponselnya...

Oh, ia dalam keberuntungan besar, karena ponsel tersebut tidak terkunci. Ia bebas menjelajah, menemukan hal apa saja yang tersimpan di dalamnya.

Hmm, wallpaper cherry blossom.

Penjelajahan pertama adalah galeri foto. Bukan sebuah kejutan besar ketika Aras menemukan foto-foto selfie Widya dengan beragam pose dan ekspresi, mulai gaya biasa, gaya cute, hingga duck face. Ia membuat beberapa kolase, dan editan foto.

Foto makanan, OOTD customer yang mungkin diunduh dari berbagai sumber. Testimoni online shop Solution, kumpulan meme, dan masih banyak foto lainnya.

My Wedding

Album khusus berisi foto-foto pernikahan mereka. Sama seperti di album lainnya, Widya juga membuat beberapa kolase, dan editan foto.

Believe in love. Do I believe in love?

Scrolling terhenti sejenak pada foto yang memuat dirinya.

Aras Yatalana, the devil. But he's my hubby now.

Tiga buah fotonya yang sedang memakai beskap diedit dengan bermacam tulisan dan simbol.

Es balok

Es batu

Hubby nyebelin!

Aras tanpa sadar tertawa namun tertahan. Ia tidak pernah terpikir akan sampai pada tahap ini. Melihat-lihat foto di galeri ponsel Widya yang ternyata terasa lebih mirip tempat curahan hatinya.

Aras terus melakukan scrolling ke album lain. Ia menemukan album bertitel count down

Dibukanya kumpulan foto-foto berlatar hujan disertai editan berupa angka-angka.

12 months before divo***

11 months before divo***

10 months before divo***

9 months before divo***

8 months before divo***

7 months before divo***

6 months before divo***

5 months before divo***

Divorce?

Aras kembali mengantungi ponsel saat Widya terlihat masuk ke dalam kamar. Ia melepaskan tas lalu masuk ke dalam walk in closet.

Widya menghitung mundur perceraian mereka.

Mengapa ia merasa hal ini jadi terasa berat untuk ditempuh?

Widya mempersiapkan diri untuk hal yang pernah mereka rencanakan. Tersisa lima bulan lagi.

Apakah Widya memang sudah benar-benar pasrah untuk bercerai?

Widya mengganti pakaian menjadi pakaian rumah, celana panjang dan kaus. Ia menghampiri Aras.

"Aku mau ngambil ponselku."

Aras menghela napas. "Nanti aja."

"Kapan?"

"Kalau gue mau ngasih."

"Balikin aja kenapa sih? Apa untungnya buat kamu? Mau ngestalk?"

"Iya."

Widya mendekat. "Balikin nggak? Pasti ada di saku kamu kan?"

"Di mana ya?"

"Aku nggak akan pergi sampai kamu kasih ponselnya." Widya mulai mengarahkan tangannya ke saku celana Aras.

"I'll give if you're begging."

"Nggak bakal!" Widya mendorong Aras yang masih menepis tangannya. Ia menduga ponsel itu benar ada di dalam sakunya karena Aras tidak membiarkannya meraba kantung celananya.

"Mau main di ranjang?" Aras memilih duduk bersila di tepi tempat tidur.

Widya terlihat gentar mendengar ajakan beraroma ledekan itu.

Tapi akhirnya Widya maju juga.

"Boleh."

Kali ini Aras yang berbalik terkejut.

Widya berdiri di hadapannya, menempatkan salah satu lutut di atas tepi tempat tidur. Aras memundurkan posisi duduknya, mengeluarkan ponsel dari kantung dan menyelipkan ke bawah bantal dengan sangat hati-hati.

"Silahkan diperiksa,"

Widya meraba kantung celana Aras kiri dan kanan. Berkali-kali sampai ia yakin memang tidak ada di sana.

Jebakan!

"Tunggu dulu." Aras menopangkan kedua tangan di atas tempat tidur. "Abis ngeraba-raba lo pikir bisa pergi gitu aja?"

"Mau ngapain? Mau ngeraba balik?" tantang Widya.

"Lo mau diraba?"

Widya menggeleng dan mengambil langkah mundur.

Celakanya, ia salah menaikkan lututnya hingga posisi tubuhnya oleng.

Dan sebelum ia jatuh tersungkur, Aras sudah lebih dulu memegangi pinggangnya. Widya mencari pegangan di kedua bahu Aras. Aras mendongak, beralih memegangi kedua lengan Widya.

Widya menurunkan posisi duduknya dan entah bagaimana caranya, pandangan mata mereka kini sudah setara. Selevel.

"Kenapa diam aja?" tanya Aras.

"Kamu mau aku marah?"

Aras menurunkan kedua kakinya hingga ikut menopang bobot tubuh Widya yang kini berada di atas pangkuannya. Ia kembali memegangi pinggang Widya, sambil membetulkan posisi duduknya.

"Aku mau nyekik kamu sampai mati." Widya menarik napas panjang. "Tapi setelah ini."

Widya merangkum wajah Aras dengan kedua telapak tangan, dan melumat bibirnya.

Ia memang ingin marah dengan cara ini.

Menciumi Aras sampai laki-laki ini kehabisan napas.

Widya mendorong Aras hingga punggung Aras menempel di permukaan ranjang. Ia ingin menyiksa Aras dengan ciumannya dan dengan segala perasaan frustrasi di dalamnya.

Aras menatapnya dengan pandangan berkabut. Ada gairah yang sama memantik di dalam sana. Gairah yang mampu membakar sekaligus mendinginkan amarah yang bergejolak di dadanya.

"Aku benci kamu, Aras Yatalana."

Aras balas melumat bibirnya, membuat Widya harus bersiap menerima serangan yang jauh lebih berbahaya.

"Let's do it," bisik Widya lirih.

Aras tidak lagi bersuara, namun ciuman Aras di sepanjang lehernya ia anggap sebagai jawaban.

Widya memejamkan mata.

Ah, Ras. Aku masih benci kamu.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top