27th

Kedua tangan Aras di atas kemudi, terkepal kuat. Mesin mobil sudah dinyalakan, tapi dimatikannya kembali setelah mendengar kalimat pelan namun menusuk yang diucapkan Widya.

"Aku mau cerai," ulangnya.

"Gue anggap gue nggak dengar omongan lo barusan," Seperti tameng,  ucapan Aras seakan memblokir rencana Widya.

Mereka akan cerai, tapi tidak sekarang.

"Kamu mau apalagi, Ras? Selama ini kamu bebas ngelakuin apa yang kamu mau tanpa pernah mikirin konsekuensinya."

"Maksud lo apa sebenarnya?"

"Aku sudah muak dengan semua sandiwara kita selama ini, Ras." Widya menarik napas pendek. "Hidup sama kamu nggak pernah sekalipun buat aku bahagia. Karena sikap kamu yang semaunya, egois, nggak akan pernah bisa berubah pelan-pelan bakal hancurin semuanya. Dan aku sadar, aku nggak mau kita pisah saat aku sudah terlanjur hancur. Sekarang waktu yang tepat. Dan kamu bisa mulai hubungan kamu sama Kalya secara sah. Kamu ceraikan aku dan nikahin dia. Selesai."

"Nggak akan bisa semudah itu." Aras menggumam. Ia menatap ke depan. Tangannya kini mencengkeram kemudi.

"Kenapa nggak?" Widya benci mendengarnya.

Apalagi yang Aras tunggu? Ia hanya tinggal menjatuhkan talak melalui ucapan dan besok mereka bisa mulai mengurus proses perceraian. Widya memastikan tidak akan meminta apa-apa.

Demi kebebasan, detik itu juga ia akan setuju jika Aras menceraikannya.

"Gue nggak akan cerain lo, Dy."

Widya mencengkeram erat tali tas selempangnya. Ia lalu membuka seatbelt. Ia lebih memilih pulang berjalan kaki daripada semobil dengan Aras.

"Aku rasa pembicaraan kita sudah nggak ada gunanya lagi, Ras." Widya bermaksud membuka pintu, namun Aras lebih dulu menguncinya. Widya menahan diri untuk tidak menggedor-gedor  pintu. Parkiran mulai ramai oleh beberapa orang yang akan pulang. Gedoran pintu dan teriakan histerisnya hanya akan memperburuk keadaan.

Ia susah payah mengatur napas.

"Turunin aku di pinggir jalan."

"Nggak." Aras menolak. Ia terus memutar kemudi hingga mobil mengarah ke pintu gerbang.

"Dy, gue nggak akan cerain lo. Karena  lo adalah tanggungjawab gue. Dan kalaupun nanti lo mau kita pisah, gue akan pastikan hal itu terjadi saat nenek udah nggak ada."

Widya mengempaskan punggung dan bersedekap.

Saat ia memejamkan mata, saat itu juga airmatanya meluruh.

***

"Jaga Widya baik-baik ya, Ras? Widya udah nggak punya siapa-siapa lagi selain keluarga kita. Janji sama Nenek."

Aras mengusap wajahnya.

Rencana yang telah disusunnya selama beberapa bulan ini, harus ia batalkan demi janji kepada nenek. Saat nenek masih terbaring sakit, hanya permintaan itu yang berulang-ulang dipintanya.

Jaga Widya

Sayangi dia

Dia tanggungjawab kamu, sekarang.

Jangan bikin dia nangis.

Widya udah nggak punya siapa-siapa.

Terus dan terus menerus. Berulang-ulang hingga otaknya lelah memikirkan.

Mengapa tanggungjawab sebesar itu dibebankan padanya? Mengapa harus ia, mengapa bukan orang lain? Ia harus menerima permintaan nenek untuk menikahi Widya demi melindunginya. Tidak ada penolakan, karena ia tidak akan pernah bisa menolak permintaan nenek yang sangat disayanginya, sekalipun hal itu bertentangan dengan rencananya dulu untuk menceraikan Widya.

Sekarang, selama niat itu masih ada di dalam hati dan belum terwujud dalam ucapan, ia masih suami Widya.

Aras membuka pintu kamar. Sepulang dari acara reuni, ia dan Widya memilih tempat yang berbeda. Widya langsung masuk ke kamar, sementara ia mengalah dan menunggu di ruang TV.

Namun sekarang sudah tengah malam. Ia butuh istirahat.

Widya sudah berbaring di sisi sebelah kanan. Entah ia telah tertidur atau masih mengawang-awang. Aras tidak berusaha memastikan. Ia lebih memilih membiarkan Widya melampiaskan amarah jika memang itu yang ia inginkan.

Titik balik. Ia harus mulai belajar menerima kehadiran Widya.

Dan untuk langkah pertama, ia harus menjauhi Kalya.

***

Widya perlahan bangun dari tidur. Ia tidak tahu lagi berapa lama ia tertidur setelah menangis. Kepalanya terasa berat, dan meski wajahnya sudah kering dari airmata, rasa kesal kepada Aras masih betah bercokol di dalam hati dan pikirannya.

Begitu banyak energi yang ia habiskan untuk menangisi nasibnya yang melibatkan seorang Aras Yatalana di dalamnya.

Dalam temaram cahaya, Aras sudah tertidur di sampingnya dalam posisi memunggungi dan memeluk guling.

Widya tidak habis pikir setelah keributan sepulang reuni, Aras masih punya nyali tidur di sampingnya. Ia menahan diri untuk tidak menggulingkan tubuh Aras sampai terjatuh dari tempat tidur.

Ia memandang punggung Aras dengan tatapan dendam.

Lihat saja, Ras. Lihat saja siapa yang akan kalah.

Mulai detik ini ia akan menunjukkan kepada Aras bagaimana perlawanan yang sesungguhnya.

Dan ia butuh sosok Elang untuk membantunya.

***

Aras baru saja selesai jogging. Lima kali memutari kompleks dengan jarak kurang lebih dua kilometer sudah lebih dari cukup untuk disebut olahraga santai. Ia menyeka tangan dan wajahnya yang berkeringat dengan handuk kecil sambil ia memasuki rumah.

Saat memasuki dapur untuk mengambil air minum di dalam kulkas, ia mengecek jika Widya sudah bangun. Biasanya setelah bangun, Widya akan langsung turun untuk menyiapkan sarapan. Setelah olahraga, perutnya mulai terasa lapar.

Setelah meredakan haus dengan dua gelas air hangat, Aras meniti tangga menuju kamar. Pintu kamar dalam keadaan terbuka, dan saat melihat ke dalam, Widya sedang memasukkan ponsel ke dalam tas selempang hitam. Ia terlihat rapi mengenakan blus dan jins.

"Mau ke mana?" tanya Aras sambil menggosok rambutnya dengan handuk.

"Tumben nanya."

"Lo belum buat sarapan."

"Sori. Tapi aku ada urusan penting. Sarapan bisa kamu buat sendiri."

Aras menghela napas. "Tumben juga lo nggak nyiapin sarapan sebelum pergi."

Widya tersenyum sinis.

"Kamu nggak pernah butuh aku, Ras. Jadi buat apa aku harus capek-capek buatin sarapan? Oh, nggak cuma sarapan, tapi makan siang, makan malam, kamu bisa buat sendiri!"

Aras tersenyum. Widya sedang membuat gerakan emansipasi kebablasan, mungkin?

"Nggak masalah. Gue bisa pinjam ART di rumah khusus untuk masak."

"Bagus deh kalo gitu." Widya menyambar tas dan melewati Aras.

Namun Aras menahannya dengan memegang lengan Widya.

"Kalo lo mau perang ngelawan gue, sebaiknya lo lupain aja. Karena selain nggak mempan buat gue, juga nggak bakal ada untungnya buat siapa-siapa."

Widya menggerakkan tangan sebagai bentuk perlawanan.

"Saat lo masih isteri gue, setiap lo keluar rumah, lo harus pamit ke gue. Dan lo boleh pergi setelah gue bilang lo boleh pergi."

"Kamu nggak pernah pamit kalo mau ke mana-mana. Kenapa aku harus minta ijin?"

"Mulai sekarang, rulesnya berubah. Setiap gue mau pergi, gue bakal kasih tau. Lo boleh ngijinin atau ngelarang gue kalo lo nggak suka gue pergi. Hal yang sama berlaku juga sama lo."

Aras pelan-pelan melepaskannya. Menyisakan bekas memerah di lengan kiri Widya.

"Lo nggak boleh pergi. Dan...," Aras berbalik, lalu menatapnya sekilas sebelum membuang muka. "Tolong, buatin sarapan. Terimakasih sebelumnya."

***

😄😄😄😄😄😄😄

Arasku sayaaang 😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top