17th

Tapi bagaimana caranya?

Mengenai bentuk pembalasan, Widya tidak memiliki bayangan sedikitpun.

Bisa jadi Aras tidak peduli. Atau ia peduli, tapi pura-pura terlihat tidak peduli.

Bukankah Aras pernah bilang bahwa selamanya urusannya tidak akan pernah menjadi urusan Widya. Berarti sebaliknya begitu juga kan? Ia mau melakukan apa, sampai jungkir balik sekalipun, Aras tidak akan memberikan reaksi apa-apa.

Sebal tapi itu faktanya. Aras terlalu keras kepala.

Oke, balik ke rencana semula.

Mungkin ia bisa mulai membuat janji makan malam dengan Elang. Nonton film, boleh juga. Atau cukup mengundangnya ke rumah dan memasakkan makanan kesukaan Elang.

Mereka bisa menghabiskan waktu bersama, tentunya setelah ia memberitahu Aras jika ia akan bersenang-senang dengan Elang.

Kedengarannya cukup menyenangkan. Ia bisa membayangkan wajah Aras melongo saat melihatnya pergi dengan Elang. Atau jika ia mengabari melalui ponsel, Aras akan melarang. Setelah itu, Aras akan benar-benar marah, jadi ia memiliki kesempatan  untuk menyamakan skor mereka.

Mereka sama-sama cemburu.

Adil kan?

Kening Widya mengerut.

Tunggu dulu.

Mengapa ia bisa menggunakan kata itu?

Memangnya ia cemburu?

Cem-bu-ru?

Astaga. Amat sangat tidak mungkin.

Sungguh amat sangat tidak mungkin.

Cemburu kepada Aras?

Cemburu kepada laki-laki yang tidak tahu diri itu?

Apa untungnya? Kalau Aras tahu, hal itu akan menjadi triple menyebalkan.

"Duh. Udah mendidih dari tadi."

Widya beralih melihat air yang telah mendidih di dalam panci. Ia cepat-cepat membuka bungkus mie instant dan memasukkan kepingan mie ke dalam air. Sambil menyelesaikan hidangan cepat saji tersebut, ia mencoba kembali menyusun rencana.

Tapi, bagaimana dengan nenek Adilla?

***

Aras membasuh mukanya dengan air dingin yang mengalir dari keran di wastafel. Saat akan menyeka muka, ia teringat handuk putih kecil yang diberikan Widya padanya. Ia mencari-cari handuk itu dan menemukannya di bawah lipatan selimut. Saat sedang menyeka muka, ponselnya berdering, menandakan nada SMS. Ia memastikan wajahnya benar-benar kering saat membuka ponsel.

Ras, aku mau ngundang Elang makan malam di rumah

Bunyi SMS itu lebih tepat disebut pernyataan daripada menanyakan izin.

Terserah

Saat mengetik balasan dan mengirimkan, Aras tidak mengira akan ada balasan SMS lagi.

Oke. Makasih

Terimakasih karena telah mengijinkan laki-laki lain bertamu ke rumah mereka saat ia tidak ada di rumah.

Kebanyakan suami akan keberatan andai dikirimi SMS semacam itu. Tapi ia bukan seperti suami kebanyakan. Jadi tidak ada masalah.

Tapi...

Akan jadi masalah jika lebih dari itu.

Dia mau nginap?

Aras sedikit memperhalus pertanyaan yang sejak tadi bercokol di kepalanya.

Semacam pertanyaan apakah mereka akan tidur bersama malam itu.

Tempat tidur mereka tidak akan digunakan untuk hal maksiat apapun yang bisa diperbuat Widya dan Elang.

Nggak

Good. Krn kalo hal itu sampai terjadi, urusannya bukan hanya sama lo, tp jga sama dia

Kedengarannya kayak kamu jealous ya?

Gue harap begitu, but no thanks. I'm not jealous

Bagus deh

Aras tidak lagi berminat berbalasan SMS dengan Widya. Selain karena ia memang tidak punya keinginan, ia juga tidak habis pikir mengapa Widya bisa punya pemikiran jika ia sedang cemburu.

Apakah Widya memaksanya untuk cemburu?

Atau barangkali ia memang sedang cemburu?

Rasanya hal itu selain absurd juga sangat mustahil.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, SMS yang dikirimkan terkesan berapi-api.

Terus kenapa jika Elang menghabiskan malam dengan Widya? Ia akan menghajarnya sampai luka-luka?

Aras menimang-nimang ponsel di tangan. Antara akan menelepon Widya atau tidak.

***

"Halo." Widya mengangkat panggilan.

"Iya? Ada apa, Lang? Jadi kan?"

***

"Nomornya sedang sibuk."

Bagus. Saat ia harus memastikan jika Widya tidak berbuat macam-macam di rumah, justru Aras harus bersabar menunggu sampai nomer Widya available dihubungi.

Awas saja kalau tidak diangkat!

***

"Aras?"

Mau apalagi dia?

Was-was, ditambah sedikit tegang dan spekulasi, Widya mengangkat telepon Aras.

Jika ia mau mencegah Elang datang ke rumah, rasa-rasanya sudah terlambat.

***

"Pastikan dia pulang sebelum jam 10 malam. Tidak ada acara nginap."

Kalian mau ngapain juga terserah, asal jangan masuk ke dalam kamar.

".....,"

"Cuma mastiin aja."

".....,"

"Kenapa nggak sekalian aja kalian ketemuan di luar seperti biasa?"

"....,"

"Kenapa dibatalkan?"

***

Widya memijit pelipisnya. Batal, batal saja sekalian. Ia juga tidak senafsu itu mengajak Elang makan malam lalu berlanjut ke tempat tidur. Kalaupun ia melakukannya, setelah ia dan Elang punya status resmi.

Bukan status gelap seperti sekarang.

Tujuannya memberitahu Aras hanya untuk membuatnya cemburu.

Namun reaksi Aras benar-benar mengerikan.

Apa ia semurahan itu tidur dengan laki-laki lain?

Pertanyaan Aras telah menyinggung harga dirinya.

Ternyata selain gemar bertindak sesuka hati, Aras juga paling tidak bisa menjaga omongan.

Terserahlah!

Masih dengan emosi menggebu-gebu, Widya menelepon Elang.

"Jemput sekarang, Lang. Kita makan di luar aja."

Elang tidak ada protes sedikitpun, jadi Widya tidak perlu payah mengatur pertemuan lagi. Elang berjanji akan segera datang.

***

"Punya kamu, Dy."

Elang meletakkan piring-piring berisi lontong dan sate ayam, berikut gulai dan es teh manis.

"Makasih," Widya segera mengaduk es teh manis dengan sedotan dan menyeruput rasa dingin, manis, dan agak pekat dalam dua kali hirup.

"Not a fancy dinner," Elang tersenyum.

"Aku nggak komplain kok."

"I know you won't." Elang merapikan posisi piring di atas meja mereka sampai cukup rapi untuk mulai makan. "Style kamu kan kayak gini. Makanan khas kaki lima, gerobakan, lesehan. Justru malah aneh kalo kamu minta makan malam di restoran mahal."

Widya mengambil setusuk sate. "Karena makanan seperti ini murah meriah tapi bikin kenyang."

"Jadi bisa lebih hemat juga kan? Khususnya untuk gajiku yang nggak seberapa."

Widya menelan makanan dan mengambil jeda untuk menarik napas.

"Jadi, rencana kamu buat ngambil KPR jadi?"

"Jadi dong." Elang mengunyah makanan pelan-pelan. "Aku udah lihat-lihat cluster di tempat teman kantor. Lokasinya strategis dan pastinya dekat dengan basecamp usaha kamu. Jadi nanti kamu nggak kelamaan di jalan kalo mau berangkat kerja."

Hati Widya menghangat mendengar ucapan Elang. Meskipun belum punya rumah sendiri, Elang sudah punya tabungan yang cukup untuk membayar DP rumah dan menyelesaikan cicilan setahun pertama.

"Kalau ada waktu, kamu temenin lihat-lihat rumahnya ya?"

Widya mengangguk. "Pasti, Lang."

Elang menangkupkan telapak tangan hingga Widya merasakan telapak tangan hangat itu menutupi punggung tangannya.

"Semoga penantian ini nggak sia-sia ya?"

Widya menatap Elang. "Maksud kamu?"

"Aku takut kamu berubah."

"Berubah jadi Supergirl?"

Elang langsung tergelak.

"Berubah jadi nggak cinta lagi sama aku."

Widya melepaskan tangan Elang. "Aku nggak suka kalo kamu ngomong kayak gitu, Lang. Apa aku kelihatan berubah?"

"Aras punya dua hal yang aku nggak punya. Pertama, dia jauh lebih mapan. Dan yang kedua, dia punya lisensi agama dan negara untuk memiliki kamu."

"Tapi dia nggak sebaik kamu, Lang. Dan dia juga punya perempuan lain." Widya kembali meraih tangan Elang yang tadi sempat ia tepis. "Jangan ngomongin dia lagi ya? Karena sekarang kita ada di sini untuk bisa ngabisin waktu sama-sama."

"Makan lagi yuk?" Elang mengambil setusuk sate. "Mau disuapin?"

Widya menggeleng kuat-kuat. "Nggak usah. Apaan sih?"

***





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top