Maaf Aku Harus Pergi


Furqon terlihat lebih sehat daripada pagi tadi, ia mengimami shalat isya kedua istrinya. Ia belum benar-benar pulih, sehingga tak sanggup pergi ke masjid melaksanakan shalat berjamaah. Namun dalam sekejap, Nurhayati sudah menghilang dari mushala rumahnya. Furqon menyapukan pandangan mencari istrinya.

"Di mana Nurhayati?" tanya Furqon.

"Mungkin ke belakang, Mas. Mari, ku antar ke kamar!"

Hanum menawarkan diri pada Furqon. Furqon tidak menolak, dia hanya menganggukkan kepala dan membiarkan Hanum mendekap tubuhnya.

"Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot membantuku, sebaiknya kamu istirahat saja," ucap Furqon.

"Tidak, Mas. Membantu suaminya bukan merepotkan, tentu saja ini salah satu kewajibanku. Lagi pula kamu sedang sakit."

"Aku tidak apa-apa, aku bisa melakukan sendiri. Alhamdulillah sudah lebih baik, baiknya kamu istirahat saja."

"Aku akan mengantarmu sampai kamar, kemudian aku akan istirahat."

"Matamu terlihat lelah, pasti sangat penat menyelesaikan pekerjaan rumah sendirian. Aku akan baik-baik saja naik ke atas sendirian."

"Tidak, Mas. Aku akan mengantarmu."

"Kamarmu lebih dekat, nanti kamu justru ikutan sakit."

Hanum melepaskan paksa lengan Furqon, dia begitu sangat kesal padanya. Bahkan hanya sekadar membantunya saja Furqon sangat keberatan. Dia bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Hanum melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

"Sampai kapan kamu tidak melibatkan aku untuk urusanmu? Kamu bahkan tidak pernah menghargai usahaku untuk memberikan pelayanan padamu. Meski sangat sederhana, tidak sebaik yang dilakukan Mbak Nur padaku. Tapi kamu bahkan tidak pernah menyentuh makanan yang aku masak untukmu. Berapa kali aku harus membuang makanan, sebab kamu tidak memakannya. Berapa kali aku tertidur dan lupa makan malam hanya menunggumu pulang agar bisa makan bersamamu. Sampai kapan kamu bersikap dingin padaku? Aku ini istrimu, istri sahmu juga. Seperti halnya Mbak Nur. Tapi kamu tidak pernah menganggapku, kamu hanya menjadikan aku patung hidup. Tidak pernah kamu libatkan aku dalam urusan apapun. Dalam pikiranmu hanyan Nurhayati, Nurhayati dan Nurhayati, aku juga ingin mendapatkan tempat itu, Mas."

Hanum mengungkapkan segala perasaannya, ia bahkan meninggikan suaranya. Lalu berlari masuk ke dalam kamarnya. Furqon mengetuk pintu kamarnya, tapi kamar itu sudah terkunci.

"Han, kamu kenapa? Aku minta maaf, kumohon bukalah pintunya."

"Pergi, Mas. Aku tidak ingin bicara apapun denganmu."

Hanum mengurung diri di kamarnya, sambil menangis. Ia benar tidak ingin bicara pada Furqon. Kali ini, Hanum benar-benar tidak tahan dengan sikap Furqon. Sudah lama sekali dia pendam semua rasa sakit ini.

"Arrgghh!" pekik Furqon kesal.

Furqon menjatuhkan tubuhnya di sofa, rasa pusing di kepalanya sudah mulai reda. Akan tetapi ia benar-benar sangat bingung dengan sikap Hanum, merasa bersalah atas apa yang pernah ia lakukan padanya.

Nurhayati melihat pertengkaran itu, hatinya merasa sedih melihat kondisi Furqon yang menghadapi sikap dirinya dan juga Hanum. Tapi dia tidak ingin menjadi penghalang untuk membuat ikatan lebih dekat antara Hanum dengan Furqon.

Furqon membaringkan tubuhnya di sofa, sampai ia benar-benar tertidur di sana. Nurhayati terbangun saat menyadari suaminya tidak ada di kamar. Ia turun ke lantai bawah dan mendapati Furqon tidur di sofa, kemudian ia naik kembali dan membawakan selimut untuknya.

***

Nurhayati bangun lebih awal dari yang lain, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Ia sengaja melakukan itu agar semua orang di rumah tidak mengetahui, ketika diam-diam mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah mengerjakan pekerjaannya, Nurhayati mendekati Furqon yang tertidur di sofa sejak semalam.

"Tidurmu nyenyak sekali, Bang. Syukurlah keadaanmu sudah lebih baik, jadi aku bisa pergi dari rumah ini. Maafkanlah aku karena harus meninggalkanmu, kamu harus belajar untuk mencintai Hanum dan menghargai semua yang dilakukannya untukmu. Dia harus mendapatkan tempat di hatimu, Bang. Jika boleh aku pun meminta pada Allah agar Dia memberikanku banyak kesempatan hidup bersamamu, tapi kenyataan tidak. Aku bukan istrimu yang dulu, yang pertama kali kamu nikahi. Aku sakit, dan penyakit ini yang akan menjadi alasan aku pergi jauh meninggalkanmu. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Suatu saat kamu akan mengerti alasanku melakukan semua ini."

Dengan penuh cinta Nurhayati menyentuh wajah suaminya, wajah yang selalu menjadi alasan ia bertahan dalam penyakit yang di deritanya. Wajah itu yang membuatnya tersenyum, merasa aman dan tenang.

Tapi wajah itu juga yang telah membuatnya terluka, menangis dan menderita. Meski itu, menjadi alasan ia berpura-pura marah agar ia punya alasan meninggalkan rumah. Tidak pernah ingin membiarkan wajah itu menangis dan bersedih atas apa yang telah terjadi padanya.

"Mas, Bangun! Sudah subuh, kamu belum shalat subuh 'kan?" Hanum membangunkan Furqon.

"Nurhayati!" Furqon terperanjat.

Sambil terkantuk-kantuk, Furqon bangun dengan memicingkan mata. Ia melihat Hanum berada di hadapannya.

"Ini Hanum, Mas."

"Hanum, tadi aku seperti..."

"Ada apa? Mimpi lagi?"

"Tidak, tadi aku seperti mendengar Nurhayati bicara padaku. Tadi dia di sini, aku yakin ini bukan mimpi."

"Sudahlah, kamu mengigau mungkin. Bangunlah, shalat subuh terlebih dulu. Mungkin Mbak Nur masih di atas, aku tidak melihatnya di sini."

"Aku memang masih di sini, Bang. Tetap saja kamu masih bisa merasakan kehadiranku, meski dalam keadaan tertidur. Tapi maaf Bang, aku harus pergi."

Dari balik dinding yang membatasi ruang tengah dengan dapur, Nurhayati mengintip. Ia menyeka rintik yang turun dari kedua permata indahnya, lalu pergi melalui pintu belakang rumahnya.

"Ya, kamu benar," ucap Furqon sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya, lalu sesekali menarik dalam napasnya.

"Kamu sudah sehat?"

"Alhamdulillah sudah lebih baik, aku akan bersiap. Hari ini harus berangkat ke kantor."

"Jangan Mas, hari ini jangan dulu masuk. Kamu harus pemulihan dulu, besok saja ke kantor."

"Tapi aku masih banyak pekerjaan di kantor. Tetapi, baiklah! aku akan istirahat satu hari lagi."

"Pergilah mandi dan shalat subuh, aku tunggu di bawah."

"Ya, aku bersihkan diri dulu."

Furqon naik ke lantai atas, dia membersihakan diri dan kembali dengan pakaian baru dengan tubuh yang lebih segar. Namun, dia masih belum mendapatkan Nurhayati di kamarnya. Awalnya Furqon tidak merasa curiga, mungkin saja Nurhayati sedang melakukan pekerjaan di luar.

"Han, Nurhayati di mana? Aku tidak melihat dia di manapun?"

"Aku di sini, Mas. Kamu masih tanyakan dia saja."

"Aku hanya bertanya, apa salahnya?"

"Jelaslah salah, istrimu bukan hanya dia tetapi aku juga. Lalu kamu anggap aku ini apa?"

"Iya aku tahu, tapi aku pikir kalian mempersiapkan ini bersama. Of course, aku juga menganggapmu sebagai istriku."

"Bohong."

"Han, aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku hanya bertanya baik-baik padamu."

"Aku tidak tahu, mungkin di belakang."

"Tapi ini seperti..."

"Seperti mbak Nur yang merapikan rumah dan meja makan? ya, ini memang mbak Nur yang siapkan. Aku bangun semua sudah rapi dan di meja makan sudah ada makanan tertata rapi. Duduklah, kamu harus makan. Jangan bilang gak selera makan lagi."

Rasanya, menyimpan rasa sakit itu sudah terlalu sulit bagi Hanum. Kali ini, dia memberanikan diri untuk mengutarakan rasa kecewanya kepada Furqon. Meskipun hal ini akan membuat Furqon marah padanya.

"Han, aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Atas sikapku selama ini."

"Untuk apa minta maaf, aku juga mengerti kok posisiku di rumah ini. Aku rasa memang tidak pantas di sini."

"Maksudmu apa? Jangan bicara begitu, kamu dan Nurhayati tanggung jawab aku. Kalian tidak perlu bersaing untuk apa pun."

"Aku ingin pergi dari sini."

Furqon terhentak, dia sangat terkejut mendengar permintaan Hanum. Bukan sebuah solusi yang baik jika Hanum meninggalkan rumah. Meskipun sudah berada di Jakarta, tentu saja penjahat itu akan terus mencarinya. Furqon tetap akan bertanggung jawab menjaga amanah mendiang kedua orang tua Hanum.

"Jangan gila, Han! Aku tidak mau ada apa-apa denganmu, aku tidak mengizinkanmu pergi kemanapun."

"Akau tidak berguna di sini, percuma saja. Untuk apa aku bersamamu, tetapi kamu tidak memerlukan aku."

"Kamu bicara apa? Aku ingatkan kamu jangan berbuat yang macam-macam."

"Kamu mau apa? Selama ini juga kamu tidak peduli padaku."

"Baik, Han. Kamu akan mendapatkan hak dan melakukan kewajibanmu, kamu boleh melakukan apapun untukku. Tapi, jangan pernah bertindak gegabah."

"Aku akan pergi dari rumah ini, dengan ataupun tanpa persetujuan darimu."

"Hanum!!"

"Apa? Aku bukan anak kecil, yang menurutmu memerlukan penjagaan orang dewasa. Aku tidak mau menjadi bonekamu saja."

"Aku akan memberikan yang kamu mau, tapi tolong jangan konyol."

"Terserah kamu, aku tidak peduli. Aku akan tetap pergi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top