Bahagia Setelah Berpisah
"Pulang, Bu. Ada urusan penting, bolehkan saya pergi?"
"Ya, baiklah. Hati-hati, jangan lupa makan."
"Baik, Bu. Terima kasih."
Dengan berat hati, Fatimah melepas kepergian Hanum. Meskipun banyak tanya dalam diri Fatimah, dia menaruh curiga atas kepergian menantunya. Setelah hari itu, Hanum tidak lagi terlihat di rumah sakit. Mereka menganggap biasa, mungkin dia ingin istirahat. Tapi itu berlangsung cukup lama, hingga seminggu lamanya sampai Nurhayati dan Furqon mulai terlihat tanda-tanda akan bangun.
"Nur... Nur..." Terdengar lirih suara Furqon memanggilnya, tapi matanya tetap terpejam. Sementara itu, tangan Nurhayati mulai bergerak dan tiba-tiba.
"Bang Furqon!!!" Nurhayati terbangun, seperti mendapatkan mimpi buruk. Melihat itu, Maudy langsung memanggil dokter.
"Syukurlah keadaannya sudah sadar, semoga akan terus membaik ke depannya." Dokter Anton menjelaskan setelah memeriksa, kemudian ia pamit.
"Alhamdulillah, Kakak senang melihatmu sudah bangun," ucap Azzam.
"Kepala Nur sedikit sakit Kak."
"Istirahatlah dulu, jangan terlalu banyak bergerak."
"Kak, di mana Bang Furqon?"
Mereka terdiam saling berpadangan, setelah sekian lamanya hubungan keduanya tidak membaik. Akan tetapi, hari ini Nurhayati menanyakan keberadaan suaminya. Hal ini menjadi pertanda baik, bahwa Nurhayati tidak bersungguh-sungguh ingin terlepas dari Furqon. Namun, yang membuat mereka terdiam bukan itu permasalahannya, yang menjadi masalah ialah keadaan Furqon saat ini sedang berbaring di kamar rumah sakit seperti dirinya.
"Setidaknya kamu istirahat dulu, Furqon baik-baik saja." Azzam mengalihakan pembicaraan.
"Tidak Kak, aku bermimpi Bang Furqon kecelakaan."
"Itu hanya mimpi Nur, semuanya baik-baik saja."
"Nur... Nur... Nurhayati..."
Samar-samar terdengar suara yang tidak begitu asing di telinga Nurhayati. Dia mencoba menajamkan telinganya, memastikan bahwa yang didengarnya itu tidak salah.
"Itu... itu... suara Bang Furqon," ujar Nurhayati seraya berusaha bangkit dari tempat tidurnya.
"Suara apa? Kakak tidak mendengar suara apapun."
"Tidak Kak, itu suara Bang Furqon. Bagaimana aku bisa lupa dengan suara suamiku sendiri, tolong bawa aku padanya."
Azzam terdiam, lalu perlahan dia mengganggukkan kepalanya. Dia mendekati Nurhayati dan membantunya berdiri, kemudian membawa Nurhayati pada Furqon. Setelah masuk ke ruangan, didapatinya Furqon dalam keadaan sedang berbaring di tempat tidur.
"Bang Furqon," tangis Nurhayati lirih seraya memeluk Furqon dan mencium tangannya.
"Nur..." Furqon tersenyum dan membalas pelukannya.
"Aku merindukanmu," lanjut Furqon dengan suara lirih.
"Aku juga merindukanmu."
"Katakan padaku, kenapa kamu meninggalkanku?"
"Tidak peduli seberapa lama aku pergi, yang terpenting aku bahagia bisa melihatmu kembali setelah sekian lamanya."
"Tapi aku peduli, terutama tentang kondisi kesehatanmu."
"Aku baik-baik saja, buktinya aku berada di sini."
"Kenapa kamu masih saja tidak mau jujur padaku? Aku tahu kamu sakit, aku sudah tahu semuanya."
"Aku tidak menyembunyikan apapun darimu."
Furqon bangkit dari tempat tidurnya, ia memposisikan diri berhadapan dengan Nurhayati yang sedang duduk di atas kursi roda.
"Ini apa?" tanya Furqon sambil menunjukkan lingkaran kertas bertuliskan nama Nurhayati di pergelangan tangannya.
Ini biasa digunakan oleh pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Tentu saja Furqon mengetahui hal itu yang kemudian membuat Nurhayati tidak dapat mengelak pertanyaannya lagi.
"Aku tahu kamu sakit, dokter memvonismu mengidap penyakit radang selaput otak stadium akut. Saat aku ingin mencari kebenarannya, aku kecelakaan di depan rumah sakit. Hari ini aku baru sempat menanyakan ini padamu," lanjut Furqon.
Sementara itu, Nurhayati terdiam tak mampu mengatakan sepatah katapun. Tangisnya pecah, ia tak sanggup mengatakan yang sejujurnya. Akan tetapi, Furqon masih menunggu penjelasan dari Nurhayati.
"Kamu benar, maafkan aku karena tidak jujur padamu."
"Nur, aku masih suamimukah? Kenapa kamu menyembunyikan semua ini dariku?"
"Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini, aku hanya membutuhkan waktu untuk menjelaskan ini."
"Waktu? Kamu pergi meninggalkan aku begitu saja tanpa memberiku kabar. Seperti itukah sikap seorang istri pada suaminya? Jelaskan padaku!"
"Aku tidak bermaksud meninggalkan kamu, tapi keadaan yang memaksa aku untuk melakukan itu."
"Keadaan katamu? Omong kosog. Lantas mengapa kamu menyembunyikan semua ini dariku?"
Furqon mengoyangkan tubuh Nurhayati dengan keras, dia tidak marah. Hanya kecewa sebab Nurhayati tidak mau berbagi masalah dengannya. Seolah, Furqon tidak begitu berarti hingga Nurhayati tidak berbicara jujur mengenai kondisinya.
"Aku... aku... aku..."
"Aku apa? Semarah itukah kamu atas pernikahanku dengan Hanum? Apa memang kamu sudah tak menganggapku sebagai suamimu lagi?"
"Aku marah ketika kamu datang padaku dengan seorang wanita, aku marah dan sakit hati atas pengkhianatan ini. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, saat itu aku dalam keadaan sakit."
"Setidaknya kamu bicara padaku, Nur. Kamu bukan hanya membuat aku kecewa, tapi seolah aku sudah tidak dianggap lagi olehmu. Aku masih suamimu, dan selamanya akan tetap menjadi suamimu."
"Aku tidak mau kamu khawatir, aku mencintaimu dan hal itu yang membuat aku menyembunyikan kebenaran ini darimu." Nurhayati tertunduk, air matanya mengalir.
"Kamu pikir menyembunyikan ini dariku baik? Aku lebih khawatir ketika mengetahui kebenaran ini, aku merasa bersalah membiarkan kamu pergi dalam keadaan sakit. Kepergianmu membuatku sedih, aku ingin menjemputmu akan tetapi aku tahu kamu masih marah. Aku menyadari aku salah, aku ingin menjelasakan tentang pernikahanku dengan Hanum, tapi kamu enggan mendengarkan."
"Wanita mana yang tidak sakit hati, ketika melihat suaminya bersama wanita lain. Aku mencintaimu, tapi penyakit ini menghalangiku untuk bersamamu. Aku pergi bukan karena aku marah, aku pergi agar kamu bisa menerima Hanum sebagai istrimu bukan hanya menolongnya. Aku mendengarkan percakapanmu dengan Hanum, aku tidak perlu penjelasan. Alasanku pergi agar kamu bersamanya, suatu saat aku akan pergi meninggalkanmu. Aku bisa melepaskanmu, tapi kamu tidak. Aku ingin kamu mencintainya seperti cintamu padaku."
Furqon terdiam sejenak, dia tidak terima dengan alasan Nurhayati meninggalkannya. Tidak seharusnya Nurhayati berbohong hanya agar semua terlihat baik-baik saja. Bukan hanya itu saja, tetapi Furqon juga tidak bisa menerima Hanum begitu saja seperti Furqon menerima Nurhayati.
"Tidak Nur, tak ada yang dapat mengisi hatiku selain dirimu. Meski ada wanita lain dalam hidupku, tetap namamu yang akan mengisinya. Dan satu hal lagi, aku menerima jika kamu sakit, tapi aku tidak menerima jika kamu mengatakan akan meninggalkan aku. Kamu bukan Allah yang tahu kapan ajal menjemput, kamu hanya manusia biasa dan tidak berhak mengatakan hal apapun."
"Bang, aku..."
"Sssstt, jangan katakan apapun lagi. Aku tidak ingin mendengarkan apapun darimu."
Furqon memeluk Nurhayati dan mencium keningnya. Setelah penantian yang cukup lama akhirnya mereka bertemu kembali, saling berpelukan melepaskan rasa rindu. Melihat itu, hati keluarga yang menyaksikan merasa sedih dan terharu. Mereka tahu, bahwa sampai kapanpun keduanya takkan terpisahkan, terkecuali ajal.
"Maafkanlah aku, tolong."
"Tidak, tidak ada yang perlu dimaafkan. Lihatlah aku, berjanjilah bahwa kamu tidak akan melakukan hal ini lagi. Tetaplah bersamaku, jangan pernah pergi lagi meski hanya sedetik dalam pandangan mataku."
Nuhayati hanya diam, ia mengaggukkan kepala dalam dekapan Furqon.
***
Rintik-rintik hujan mengguyuri kota Metropolitan, jalanan licin dan kemacetan terjadi di mana-mana. Kota Metropolitan, ibu kota Jakarta memang terkenal dengan kemacetan yang terjadi di mana-mana bahkan dalam kondisi panas sekalipun terutama bila hujan turun. Tidak heran Jakarta macet, sebab banyak imigran yang datang dari berbegai kota bahkan pulau datang ke Jakarta untuk mengadukan nasib mereka.
Mereka pikir ibu kota akan merubah hidup merekanya, nyatanya tidak. Tidak sedikit yang menjadi gelandangan di kota Jakarta, bersebab mereka tidak memiliki keahlian apapun dan latar belakang pendidikan yang bahkan Sekolah Dasar saja tidak selesai. Emperan tokao yang menjadi tempat tidur dengan beralaskan koran dan kardus. Rumah-rumah kardus di bawah jembatan, sehingga menghambat aliran air yang sungai.
Semua ini karena pemerintah yang memiliki banyak hutang ke negara-negara maju, dan perlemen yang memakan uang rakyat. Menghabiskan waktu jalan-jalan ke luar negeri bahkan tidak sedikit yang korupsi, tanpa pernah memikirkan rakyat miskin yang membutuhkan. Padahal negara Indonesia terkenal dengan kaya akan rempah-rempah yang menghasilkan cukup banyak uang untuk membantu masyarakat.
Lihat seorang petani padi yang menghasilkan makanan pokok, orang Indonesia di bayar sangat murah, tapi saat di olah mereka jual dengan harga yang melambung tinggi hingga tidak sedikit masyarakat yang tak mampu membeli beras walau hanya seminggu sekali. Begitu pula dengan petani sayur, petani kacang dan lainnya. Mereka hanya dibayar sementara harga sayur di supermaket tiga kali lipat dari harga yang mereka beli dari petani tersebut.
Kacang tanah yang sudah dikemas dengan berbagai varian produk. Mereka memproduk jenis kacang-kacangan yang diasinkan, harganya cukup mahal dengan memasok keberbagai kota seluruh Indonesia. Keuntungan yang cukup banyak dari pembelian yang tak seberapa. Pemerintah yang terlalu sibuk dengan urusan pribadi, tak memikirkan rakyat. Berbeda haknya dengan masa pemerintah Umar bin Khattab yang mementingkan urusan rakyatnya, bahkan setiap malam ia melakukan ronda malam untuk memastikan rakyatnya tidak kepalaran.
Khalifah Umar juga pernah memanggul sendiri gandum dan daging untuk diantarkan ke rumah serorang janda dua anak. Ia tengah kelaparan, hingga anak-anaknya menangis tak bisa tidur menahan lapar. Hingga ibunya harus memasak batu-batu kerikil untuk membohongi anaknya bahwa ia sedang masak. Tidak cukup hanya memanggul gandum saja, Umar sendiri yang memasakkan masakan untuk janda dan kedua anak tersebut.
Sedang di Indonesia, meja pemerintah yang diduduki penguasa, bukan memakmurkan rakyat justru menambah kesulitan bagi rakyatnya. Harga-harga makanan yang melambung tinggi, pajak yang dinaikan dua kali lipat dari sebelumnya. Pemungutan ini dan itu, bahkan e-KTP yang gratis pun harus dipersulit prosesnya. Menunggu bertahun-tahun, padahal indentitas kependudukan sangat diperlukan dalam mengurus banyak hal.
Sebagai seorang rakyat, hanya bisa bersabar dan mendoakan agar saatnya pergantian presiden nanti digantikan oleh pemimpin yang jujur dan mampu memakmurkan rakyatnya. Menyelesaikan segala permasalah yang terjadi di masyarakat tanpa meminta uang rakyat kecil terutama.
Pagi ini, ditengah deras hujan di luar. Furqon asyik bersenda gurau dengan Fahmi dan keluarga, Nurhayati juga berada di sana. Semalam mereka minta dipindahkan agar bisa satu ruangan, sehingga keluarga bisa mengunjungi keduanya. Kondisi keduanya mulai membaik, hanya saja Furqon masih harus melakukan terapi untuk meluruskan tulang-tulang yang patah akibat kecelakaan.
Saat sedang asyik berbicara, dokter Anton datang memeriksa keduanya.
"Assalamu'alikum, selamat pagi semua. Senang rasanya bisa melihat Nurhayati bisa tersenyum dan tertawa seperti ini. Saya akan periksa kondisi kalian terlebih dulu." ucap dokter Anton yang mulai memeriksa kondisi Furqon yang dicatat oleh suster yang mendampinginya. Setelah itu bergantian memeriksa kondisi Nurhayati.
"Kalian sudah boleh pulang hari ini, hanya perlu pemulihan di rumah. Istirahat yang cukup," ucap dokter Anton setelah memastikan keduanya benar-benar sudah lebih baik.
Mendengar itu, keduanya sangat bahagia. Lebih lama di rumah sakit membuat mereka bosan dan tidak bisa beraktivitas dengan leluasa. Setelah menjelaskan banyak hal kepada keluarga, dokter Anton berpamitan meninggalkan ruangan.
"Syukurlah kalau kalian sudah boleh pulang, Ibu senang mendengarnya," ucap Fatimah.
"Bu, di mana Hanum? Aku tidak melihatnya dari kemarin,"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top